PART 11

5.8K 400 8
                                    

Ellina Trihapsari binti Agung Wibowo
Lahir: 05 Mei 1973
Wafat: 12 April 2017

Digo menatap tulisan dibatu nisan itu dengan mata berkaca-kaca dibalik kacamata hitamnya. Tanah itu masih merah dan basah karena baru 15 menit yang lalu jenazahnya dikebumikan. Sorot matanya tajam, ada kesedihan bercampur dengan emosi saat mengingat kejadian semalam.

"Ibumu sedang sekarat! Dan aku yakin kini adikmu itu itu sedang menangis menjerit memanggil namamu!"

Semisal aku menyingkirkan mu pelan pelan dengan cara menghabisi orang orang terdekatmu, apakah akan berhasil, Digo? Aku hanya ingin mengucapkan bela sungkawa padamu. Jangan lupa ucapkan selamat tinggal pada Ibumu. HAHA.

Setelah mendepat pesan berisikan hal itu, Digo langsung mengumpat dalam hati. Dia mengingat pemilik suara yang menelponnya tadi. Tanpa babibu lagi, Digo membanting setir berbalik arah menuju ke rumahnya tak peduli dengan Sisi yang kaget dan dibuat kebingungan oleh sikapnya.

"Kakak Ganteng mau kemana? Kok puter balik?" Tanya Sisi bingung.

Diam.

Digo tak menggubris pertanyaan Sisi. Dipikirannya hanya ada satu, Ibu dan adiknya. Dia berdoa dalam hati semoga itu hanya sebuah peringatan saja dan hanya ingin menakutinya. Dia tak bisa membayangkan jika sesuatu benar-benar terjadi pada dua wanita berharga dalam hidupnya itu.

Tidak !!

Digo sudah berjanji pada sang Ayah akan menjaga Ibu dan adiknya baik baik. Bahkan Digo rela menukar nyawanya dengan dua wanita berharga itu.

"Astagaaa.." Sisi terkejut saat Digo mendobrak pintu rumahnya dan langsung melihat sesuatu yang sangat mengenaskan di depannya.

Sisi menutup mulutnya tak percaya sambil melirik Digo yang juga terpaku disampingnya.

"Abang...hikss..."

Sisi yang segera sadar duluan langsung mendekat pada Rasti yang sedang menumpu kepala sang Ibu dengan berlumuran darah. Wajah Rasti memucat dan basah dengan airmatanya yang terus keluar. Bahkan disekitar wajah dan lengannya pun terlihat lebam membiru seperti dipukul.

Tapi bukan itu yang membuat Sisi dan Digo bahkan tak bisa berbicara. Melainkan sang Ibu yang tubuhnya sudah kaku dipangkuan Rasti dan darah terus mengucur di perut sang Ibu.

Brukk!!

Seketika kaki Digo melamah dan ambruk di samping tubuh sang Ibu yang sudah memejamkan mata untu selama-lamanya.

"Ibuu..." suara Digo tercekat. Matanya memerah menahan tangis dan luka yang mendalam.

Rasti yang terus terusan hanya bisa menangis langsung di peluk oleh Sisi. Sisi memejamkan mata ikut merasakan apa yang dirasakan oleh Digo dan juga Rasti.

"Mereka membunuh Ibu Kak...mereka membunuh Ibu. Hiks.." tangis Rasti dalam pelukan Sisi. Kini pakaian Sisi ikut terkena darah karena tangan Rasti yang sejak tadi memegangi sang Ibu.

Untuk berbicara pun, susah sekali rasanya bagi Sisi. Dia hanya bisa memeluk Rasti mencoba memberinya kekuatan.

"Ibuu..maafin Digo. Maaf karena Digo tidak bisa menjaga Ibu...Maafin Digo.."

Sisi menatap Digo tak tega, dia yang sering melihat raut wajah Digo yang dingin dan datar tiba-tiba kini ia melihat raut wajah Digo dipenuhi oleh luka dan kesedihan. Jika boleh memilih, ia memilih untuk membiarkan dirinya dibentak terus oleh Digo daripada melihat Digonya seperti ini. Dan Ibu?

Baru saja Sisi merasa sudah dekat sekali dengan keluarga Digo, biasanya Sisi diam-diam mampir untuk menemani Ibu mengobrol dan membantunya memasak makan malam untuk Digo dan Rasti saat pulang. Tapi kini? Ia melihat dengan matanya sendiri, sang Ibu telah meninggal dengan sangat menyedihkan.

Say I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang