"Lenia, temui aku di belakang sekolah," kata Fardian sembari berjalan dengan posel tertempel di telinga kiri.
"Aku nggak bisa, Far. Aku ada urusan sekarang," balas gadis di seberang sana.
"Ayolah Len, sudah seminggu terus kamu nggak bisa diajak ketemuan. Kalau kakakmu bisa diandalkan, pasti aku bakal ke kakakmu saja."
"Tapi aku ada urusan." Guju adis itu langsung menutup teleponnya.
Tidak ada pilihan. Pikir Fardian. Dia tahu di mana gadis berambut keriting itu berada. Fardian tidak mau terkambat, dia bergegas menuju perpustakaan. Melewati lorong sekolah yang berlekok mirip bangsal rumah sakit ini dengan kayuhan kaki secepat ia bisa. Setiap langkahnya diiringi tatapan sejumlah murid, yang memang mengenalnya. Lagipula siapa yang tidak kenal Fardian? Semua murid mengenalnya, karena lah pembentuk Lovable.
Fardian sampai di sana, di surga ilmu. Dia menggeser pintu perpustakaan. Masuk dengan cepat tanpa menimbulkan suara. Mencari di bagian buku politik, nah itu dia di sana. Fardian melangkah mantap, kemudian setelah dekat dia langsung menggadeng tangan Lenia.
"Ada yang mau aku tanyakan." Fardian menatap lenia dengan kode harus keluar ruangan.
"Tugasku belum selesai, besok saja kita omongin," bisik Lenia tidak mau menggangu yang lain.
Tetapi sepertinya Fardian tidak bisa diajak berkomplot, dia tetap menarik paksa Lenia keluar dari perpustakaan sampai membuat beberapa pasang mata memandang penuh tanya. Memang ini baru pertama kalinya ada adegan seperti ini. sebeumnya, Fardian nyaris tidak pernah keluar kelas, baru ini. Ditambah dia sedang memaksa seorang gadis mengikutinya, hmmm, ada apa?
Fardian melewati lorong lagi, dia terus memegang tangan lenia yang seakan berontak tapi tidak kentara. Lenia juga merasa risih diperlakukan seperti ini sebenarnya.
"Baiklah, baiklah, lepasin tanganku. Malu tau," desis Lenia. Sambil satu tangannya mencoba meloloskan cengkraman Fardian.
"Gak, kamu ini suka lari kalau dilepasin. Seminggu itu cukup buat aku kenal seperti apa kamu." Setelah mendengar Fardian bicara seperti itu, mau tak mau Lenia pun diam. Terus mengekor dengan tangan digenggam oleh pemuda ini.
Beberapa saat, Lenia coba menengok ke kanan dan kiri mereka, membalas satu per satu pandangan para siswa di sana, dia memberikan isyarat kalau adegan ini tidaklah seperti bayangan mereka. Ini hanya masalah bisnis. Namun sayangnya, tepat ketika dia melewati mading sekolah, seorang gadis menatap tangan Lenia dan Fardian yang saling menaut itu-sebetulnya Fardian yang menggenggam-dengan raut muka lesu. Dari mata gadis itu tersirat kesedihan. Itu mata gadis berambut pirang, gadis yang dijumpai Lenia dulu, juga di depan Mading sekolah.
Mereka sampai di belakang gedung sekolah.
"Katakan sekarang, apapun mengenai gadis itu." Fardian langsung menghujam sebuah pertanyaan.
Sambil mengelus pergelangan tangan yang panas dan mulai memerah, Lenia pun mendesis malas. "Sejak awal aku udah bilang kalau Aina itu susah didekati." Lenia berkacak pinggang selanjutnya.
"Kenapa malah bergaya seperti itu sekarang?" kaget. Fardian melototi Lenia.
"Aku nggak suka kamu narik-narik tangan seperti itu."
Fardian mendesah. "Oke, maaf kalau tadi itu kasar. Aku bingung aja harus bagaimana, setidaknya kalau kamu bisa bantu sedikit saja hari ini. mungkin aku tidak akan terlalu pusing."
"Kenapa kamu pusing cuma gara-gara masalah ini? Bukankah pertama kali aku ke kelasmu, kamu bilang ini tidak akan susah."
Fardian mengusap kening yang berpeluh. "Bukan cuma masalah ini saja. Ada masalah lain yang makin buat aku pusing. Masalah misi ketua Osis, masalah anak-anak yang sekarang malah sama sekali nggak mau gerak, cuma nangis bisanya. Masalah kakak kamu sama Kenan, terus masalah kamu yang nggak ada waktu. Itu semua lah yang membuatku seperti ini." Fardian mendesah panjang. Dia lalu duduk lesehan di lantai kotor itu. Terlalu lelah untuk peduli tempat ini berdebu.
Lenia mengerucut bibir. Dirinya merasa bersalah juga. "Baik, maafin aku juga kalau begitu." Lenia berjalan mencari sebuah kardus atau apa saja, lalu dia menggunakannya sebagai alas untuk duduk.
"Yang mau kamu tanyain itu masalah Aina kan? Kalau begitu aku akan cerita, apa yang membuat teman-temanmu sampai seperti itu," Fardian mengangguk. Lenia mengambil nafas sebelum bersuara.
"Aina... dia itu yatim piatu. Tinggal di sebuah panti, yang pengurusnya tak pernah mau peduli sama keadaan Aina. Dia dapat satu wasiat dari ibundanya sebelum beliau meninggal, yaitu meneruskan cita-cita ibunda sebagai wanita karir yang menuntut dia harus pintar. Makanya Aina selalu belajar keras.
"Karena dia tidak diurus sama panti, dia cari uang sendiri. Sepulang sekolah, dia pasti pergi kerja, pulangnya selalu larut malam. Kadang kalau dia tidak punya uang, dia sama sekali tidak makan. Kehidupannya yang keras memaksa masa remajanya untuk direlakan. Dia tidak mau berteman, dia tidak mau bermusuh, dia tak mau punya cinta. Karena itu semua akan menghambat pelajaran dia." Aina mendesah. Kemudian tangannya tergerak untuk menutupi matanya yang berkedip ingin menangis.
"Aku sama Kakak sebetulnya bukan teman dekat Aina. Aku malah sering menjahati dia dulu. Setelah aku bosan, karena dia tidak pernah merespon kejahilanku, aku memutuskan untuk menguntitnya. Aku tahu dia keluar dari rumah sakit dengan muka kusut dan selembar kertas, aku pun masuk dan mencari dokter yang menangani dia. Dari sana aku dapat info kalau Aina tak punya banyak waktu lagi." Mata Lenia tak mampu membendung curah airmata. Sembari terisak gadis itu memaksakan diri untuk terus bercerita.
"Terus, aku sama Kakak bertekad membuatnya bahagia. Sebentar saja, dia harus merasakan namanya cinta. Kata orang jatuh cinta bisa membuat umur lebih panjang, setidaknya kalau dia tidak berumur panjang, dia bisa mengubah akhir hidupnya yang, aku yakin dia merasa masa sekarang adalah masa terkelam sepanjang hidupnya, menjadi lebih berwarna. Sebulan, dua bulan, tiga bulan, aku dan Kakak berusaha mendekatinya. Awalnya susah, bahkan pernah Aian sampai melempar penghapu papan tulis ke muka Kakak. Dia merasa kehadiran kami mengganggu
"sampai akhirnya, entah kapan, aku dan Kakak mulai bisa berteman dengannya. Tidak bisa disebut teman juga, karena aku dan Kakak tidak pernah mendengar dia bercakap panjang. Selalu saja menjawab singkat, membuat kami bingung dan menyerah.
"Terakhir, aku sangat yakin inilah yang membuat anak-anak di kelasmu menangis. Ayah Aina dulu ketika masih hidup...," jeda sejenak. Lenia tak sanggup mengucapkannya. Ini sungguh pilu. "Ayahnya... pernah melakukan tindak asusila kepadanya."
Sudah. Habis sudah semua energi dalam tubuh Lenia. Tak sanggup lagi dia bercerita, kini semua kekuatan yang tersisa hanya untuk menahan kucuran kristal bening bak tsunami itu, agar tidak terlihat terlihat memalukan tersedu di depan Fardian.
Entah kenapa hati laki-laki itu tergugah. Ini masalah baru. Dia menyingkirkan semua persepsi tentang Aina untuk sekarang. yang ia lakukan kini ialah mendekati Lenia, menepuk juga mengusap puncak kepalanya lembut, menyalurkan ketegaran miliknya untuk gadis manis itu.
"Maaf sudah membuatmu cerita, maaf sudah membuatmu seperti ini." Fardian berucap lirih, dia menyembunyikan setetes airmatanya, yang telah lama tak meluncur bebas sedari kecil dengan berkata, "Kau tahu, kalau aku jadi dia, aku akan sangat bersyukur telah memiliki sahabat seperti kalian."
Fardian menepuk pundak Lenia pelan. "Sekarang berhenti menangis, kita akan selesaikan ini segera. Hubungi aku kalau kamu sedang senggang, rencana akan kita jalankan setelah kamu siap."
Isak tangis Lenia masih saja terdengar. Ingin sekali Fardian memeluk gadis itu, menyingkap getaran getir di pundak gadis itu, namun tidak. Dia tidak ingin merusak ini semua, biarlah gadis itu sepuasnya menangis supaya dia tahu dulu, betapa besar sayangnya terhadap sahabatnya. Maka dia akan tahu, betapa besar harapannya. Lalu dia pun akan menyadari betapa besar kuasa Tuhan yang bisa mengubah takdir karena kalah dengan harapan yang lebih kuat.
"Aku pergi dulu, jangan lupa hubungi aku." Tepukan di bahu gadis itu adalah tepukan semangat yang terakhir dari Fardian, sebelum dia pergi meninggalkannya sendiri.
Dalam hati Fardian, gemuruh semangat itu membabi buta. Memompa bara tekad untuk menyelamatkan satu orang dengan harapan yang semakin membumbung tinggi, mengalahkan mulianya kehendak Tuhan. Kini dengan besar hati, Fardian berniat mengubah hidup Aina dan kedua sahabatnya.
"Saatnya beraksi." Fardian melangkah mantap menuju medan perang di depan mata.
Ky;
KAMU SEDANG MEMBACA
Lovable (END)
RandomTiga pemuda ini jagonya masalah cinta. Tiga pemuda ini ahlinya menyatukan hati. Tiga pemuda ini Eyang Comblang sejati. Tetapi, ketika gadis itu datang dan pemintaannya ia utarakan. Entah rencana seperti apa yang bakal Tiga Pemuda ini pakai. "Tolong...