Epilog

31 0 0
                                    


"Jadi gimana?" tanya Fardian hati-hati, namun dengan suara yang nampak tenang dan tidak hati-hati.

"Gimana apanya?" Aina menggumam, lebih kepada dirinya sendiri.

Setelah acara menangis tadi, sepertinya jaraknya dengan Fardian kini memiliki arti, atau bisa dibilang mempunyai efek tersembunyi. Karena setiap kali cowok itu berada dekat denganya, Aian merasakan desiran tak masuk akal membombardir tubuhnya, dari kaki sampai puncak kepala. Tetapi kalau dia jauh, kenapa tiba-tiba hatinya merasa kesepian, padahal dia hanya berjarak beberapa meter saja.

Aina mengulum senyum saat menundukkan kepala lantaran malu, memikirkan hal aneh itu. Ada apa dengannya? Apa ini, em, cinta? Ah tidak mungkin. Tetapi, Fardian sudah mengatakan kalau dia harus berani jujur pada dirinya sendiri, toh memang benar, tidak ada gunanya berbohong pada diri sendiri.

Sebuah pertanyaan pub terlintas di pikirannya. namun Aina enggan menanyakan kepada yang bersangkutan. Sebenarnya, kenapa Fardian bisa mengerti hatinya?

"Aina, malah bengong," celetuk Fardian sambil mencolek bahu kanannya.

Seperti ada listrik berkuatan kecil yang menggelitik bahunya. listrik akibat sentuhan laki-laki itu membuat jantungnya berdetak kian benderam. Ini apa sih sesungguhnya? Benarkah ini cinta? Tapi-tidak, tidak. Aku tidak mau berbohong. Aku tahu ini mirip perasaan jatuh cinta, tapi ini belum pasti, karena masih berbentuk bibit, bibit bernama cinta. Hihi. Aina terkekeh tidak kentara.

"Hm, malah cengengesan." Fardian mensejajarkan posisi dirinya di samping Aina. Dari belakang sebelum Fardian maju ke depan, dia belum tahu kalau pipi Aina ternyata sangat merah sekarang. Ah, mungkin karena kulitnya putih, dan terkena sinar matahari, makanya merahnya nampak jelas. Atau mungkin, memang merah karena tersipu?

"Jawab dong, masa dari tadi diam aja." Fardian sambil menoleh ke arah lain. Untuk mengecek dua orang di depan mereka yang berjalan saling berjauhan dengan kepala tertunduk. Dua orang itu sangat aneh. Si cowok berkulit hitam yang biasanya mudah menaklukkan para gadis dengan lelucon dan kepintarannya, kini telah ditaklukkan. Gelagatnya lucu sekali. Ah cowok itu menggaruk kepala lagi, ini sudah yang keempat kalinya setelah mereka turun dari Kora-kora.

"Kamu belum jawab pertanyaan aku, makanya aku belum jawab pertanyaan kamu." Aina tiba-tiba mendongak, memutar kepala dan melempar ekspresi datar-yang Fardian tahu itu dibuat-buat, kelihatan sekali, soalnya.

"Oh, gimana apanya maksudmu?" Fardian kembali bertanya untuk memastikan. Aina mengangguk. "Maksudku, gimana... mau nggak bantuin mereka berdua supaya jadian?"

"Maksudnya?" Aina menelengkan kepala. Tindakan ini sepertinya tidak dia sadari, tetapi menelengkan kepala ketika bingung adalah kebiasaan Aina. Kebiasaan yang sempat dia kekang dan tidak ingin ia tunjukan ke siapa pun. Kata pengurus panti, kebiasaan Aina menelengkan kepala saat bingung itu sangat berbahaya. Karena kebiasaan itu punya magnet kuat yang akan menarik banyak simpati dari lawan bicara.

Ah, dulu sempat Aina akan diadopsi oleh seseorang, alasannya karena Aina kecil sangat lucu ketika menelengkan kepala. Muka polos dan rambut panjang itu mampu membuat wanita di hadapannya-calon ibu angkatnya saat itu-menjerit gemas. Saat itu Aina mendapat cubitan di pipi plus ciuman di pucuk hidung mungilnya, saking gemas dengan tingkah Aina.

Lalu, sepertinya efeknya pun kembali. Diam-diam, walaupun Fardian nampak tenang memandangi wajah Aina saat dia menelengkan kepala seperti sekarang, ternyata Fardian menahan napas.

Fardian berdehem samar, menarik nafas setelah dia kembali ingat caranya. Dengan tenang berkata, "Maksudku kita berdua jadi mak comblang buat mereka, bagaimana?"

Aina diam sejenak sebelum akhirnya mengangguk mantap. Dia ingin membantu Lenia dan Renia, kini.

Lovable (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang