Final

25 0 0
                                    


Maafkan aku sebelumnya. Cerita ini asal jadi. Hihi, buat endingnya nggak sekeren cerita lainnya. dan masih banyak Plot Hole di sana-sini, typo pun berserakan seperti daun gugur di musim kemarau.Oke, yang penting aku sudah posting cerita ASAL JADI ini. mencoba melatih kepenulisanku.

Makasih buat semua yang sudah mampir tetapi aku kecewakan. Maaf ya. Mungkin bakal ada sequel cerita ini. Lagian memang cerita ini masih mentah.

____

Mata Aina membulat lebar. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Mungkinkan telinganya sedang tersumbat, atau memang pendengarannya tadi benar? Masa dia dengar kalau Reksa suka sama Lenia? Kalau memang iya, sejak kapan? Setahu Aina, Lenia itu memang dekat dengan para anak laki-laki, tapi apa kedekatannya dengan Reksa bukan kedekatan biasa? Ah tidak!

Aina menggeleng kepala. Mengusir semua pemikiran gilanya. Bahkan dilihat dari mana pun, Lenia itu lebih dekat sama Fardian ketimbang Reksa. Lalu kenapa Reksa punya perasaan buat Lenia? Ah, mungkin meman kuping Aina saja yang salah menangkap suara.

Ngomong-ngomong soal Fardian, laki-laki itu sekarang ada di samping Aina. Sedang terdiam sejak tadi, tanpa mengeluarkan teriakan seperti penikmat Kora-kora yang lain. Apa mungkin, Fardian agak cemburu melihat Lenia duduk dengan Reksa? Pasalnya mereka itu sangat dekat-minggu-minggu ini.

Aina kemudian menoleh ke samping kiri, dia memandang wajah tampan Fardian. Mulutnya nyaris terbuka saat ini juga, jantungnya tiba-tiba saja mendesirkan darah ke ubun-ubun kepala dengan kecepatan tidak biasa. Pipinya juga mulai memanas. "A-ada apa?" celetuk Aina terbata. Dipandangi sepasang mata elang itu sejak kapan? Lalu, dilempari senyuman tentram itu juga sejak kapan?

Aina tak kuasa memperihatkan pipinya yang-ia tahu pasti berubah merah. Bodoh! Jnagan terjebak sama laki-laki ini, Aina. Dia cuma mau menjinakkan kamu, meluluhkan kamu, sama seperti teman-temannya beberapa hari yang lalu. Lagipula kamu tidak pantas mendapat perhatian seperti ini. Sebentar lagi kamu bakal tiada, tidak boleh membuat orang lain mengharapkan sesuatu yang jelas-jelas tidak bisa kamu berikan. Jangan macam-macam, atau kepergianmu akan jadi tangis bagi mereka. jangan, Aina.

Aina menarik napas panjang. Sebelum akhirnya benar-benar siap menoleh kembali dan melontarkan tatapan datar, tanpa sedikit pun adanya antusiasme. Ingat, tanpa sedikit pun adanya antusias.

"Apa?" Aina berhasil. Dia mengulang kembali pertanyaan yang belum dijawab Fardian itu.

Fardian hanya menurunkan sedikit ujung bibirnya, menampakkan senyum samar. "Kamu dengar nggak tadi?" tanya balik laki-laki itu.

Aina akan membuka mulutnya, namun tertutup kembali karena Fardian lebih dulu menunjuk ke arah dua orang yang saling tertunduk dengan muka merah di seberang sana mnggunakan dagu. "Aku dengar. Kenapa memangnya?" sahutnya.

"Lucu ya mereka. Hihi." Fardian sungguh memamerkan deretan gigi putihnya kepada Aina sekarang ini. "Aku kepingin mereka bersama," imbuh Fardian bersuara bisik.

Aina sontak melebarkan matanya lebih lebar dari yang tadi. "Berarti, kamu nggak cemburu?" tanpa sadar mulutnya menanyakan hal itu.

Fardian mengerutkan kening sejenak setelah mendengar kalimat Aina, lalu laki-laki itu terkekeh. "Kenapa kamu pikir aku cemburu? Kalau aku cemburu sama Lenia, kamu cemburu sama aku?"

Ih Apaan sih?! Ini cowok kepedean atau narsis? Kenapa dia pikir aku cemburu? Tetapi-

"Nggak, buat apa? Orang cuma nanya." Aina meluruskan pandangannya kembali ke depan. Mengalihkan muka dari wajah Fardian yang kini memasang senyum jahil.

Tetapi kenapa ada sesuatu di dalam dada-yang sepertinya datang tiba-tiba, menyentak keras, dan membuatku merinding saat mendengar kata 'cemburu' dari mulut laki-laki itu? Aku tak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Namun aku bisa pastikan kalau ini bukan perasaan cemburu atau apa pun namanya. Ini hanya keterkejutan semata.

"Iya, aku nggak cemburu. Aku sama Lenia selama ini kan dekat karena kamu. Kamu pasti tahu lah kalau semua orang di kelasku selama ini ingin mendekatimu. Dengan tujuan yang pasti sudah kamu tahu." Fardian dengan nada tenang.

Sekejap, Aina merasa dunia ini nampak putih. Perubahan juga terasa dari sendi-sendi badan, yang kini tidak lagi merasakan seperti apa rasanya diayun di atas perahu besar Kora-kora. Pandangan mata mengabur, semuanya menghilang. Aura seluruh manusia sirna, hanya ada aura dirinya sendiri dan laki-laki bernama Fardian. Suara keheningan mengambil alih pendengaran. Ini aneh, namun sangat nyata.

Suara bariton Fardian terngiang jelas di kuping Aina. Kalimat yang baru saja laki-laki itu ucapkan mampu menusuk hingga relung hati. Nampak kejadian itu baru tadi pagi terjadi, saat Aina menolak secara halus puluhan laki-laki yang mendekatinya, dengan cara menceritakan masa kecilnya yang kelam.

"Kalau aku boleh beri saran, pasti kamu pun tidak akan mendengar. Kamu sudah mendengarnya dari sahabatmu, bukan?" Suara Fardian sangat jelas. "Kamu juga tahu, dua orang sahabatmu ingin kamu merasakan indahnya hidup. Mereka ingin kamu pergi tanpa punya hal yang menghantuimu. Maka mereka ingin kamu jatuh cinta, mereka ingin kamu merasakan indahnya dunia, melihat warna-warni dunia, mendengar nyanyian malaikat-malaikat asmara."

Aina perlahan menoleh ke arah Fardian. Terlihat latar putih di balik sungging senyum laki-laki tampan itu. Membuatnya seperti siluet yang menenangkan jiwa dan pikiran.

"Kalau kamu merasa berteman tidak ada gunanya, kamu salah besar. Berteman itu sungguh suatu karunia Tuhan yang diberikan secara cuma-cuma. Semua dalam kehidupan ini memiliki warna saling bertolak belakang, ada hitam, ada putih. Sebenarnya kamu takut mendapati sisi hitam teman-temanmu, kamu takut sisi hitam mereka membebanimu di masa sekaratmu. Makanya kamu berdalih, lebih baik tidak berteman agar membuat mereka tak menangisi kepulanganmu. Kamu mengerti kan maksudku?" Fardian mendongakkan kepala, menatap langit serba putih di atas sana. Bukan awan, hanya warna putih yang selama ini orang-orang bilang biru.

"Jika kamu jujur pada dirimu sendiri, maka dirimu yang asli akan mengungkapkan ketakutannya selama ini. Kamu akan tahu, ternyata kamu ingin kepergianmu jadi tangis bagi mereka. Bukan sebaliknya," ujar Fardian tenang. Aina hanya diam, mencoba mencerna setiap kata. "Dan setelah aku tahu hal itu, di sini aku tidak lagi bermaksud menjelaskan bahwa kepergianmu bakal jadi tangis bagi mereka. Aku di sini bermaksud, membantumu."

Fardian tiba-tiba menoleh, memandang Aina tepat di mata. "Aku ingin memperlihatkanmu, betapa sedihnya mereka ketika kehilanganmu."

Mata mereka saling beradu untuk beberapa detik. Dalam jangka waktu sesingkat itu, Aina dapat menemukan ketulusan ucapan Fardian. Hatinya mencelos, tombak kemunafikan terlihat menancap di hatinya. Selama ini dia berbohong pada dirinya sendiri, Aina mengetahui itu, tetapi baru sekarang dia berani mengakuinya. Semua yang Fardian katakan benar. Bibirnya meringis diikuti isak tangis, airmata keluar dari pelupuk mata.

Dunia ini kembali berjalan seperti sedia kala. Teriakan para manusia yang berbahagia terdengar menyamarkan senguk pedih tangisan gadis itu.

"Menangis sepuasmu, tidak akan ada yang mendengarkan. Bahkan aku pun akan menulikan telingaku demi kamu." -setelah itu, tersenyumlah.

@@@

Fardian menjauhkan diri sejenak, membiarkan gadis itu merenungi kesalahannya, kebohongannya. Di tengah goncangan wahana Kora-kora, mau tak mau Fardian tetap harus melaksanakan misinya. Dia merogoh kantong celana susah payah, lalu mengambil ponsel dan menelpon salah seorang teman. Semenit setelah Fardian mampu mengetik nomornya, dia menempelkan ponsel di telinga kiri, membuat ruang sekaligus penghalang, supaya suaranya tak terdengar orang lain kecuali si penerima panggilan.

"Reza, aku butuh tambahan waktu di Kora-kora."

"Oke, Bos!"

Panggilan terputus, dan pemandu ceria di bawah sana mengatakan "Cuaca cukup cerah, secerah raut wajah para pelayar di atas Kora-kora, kami berbaik hati akan mengajak para pelayar pemberani ini untuk mengarungi lautan satu putaran lagi" dengan suara lantang. Perahu Kora-kora pun berlayar satu putaran lagi. Memberi Aina waktu untuk menguras airmata.

Lovable (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang