Chapter I - Just My Baby

404 11 0
                                    

Between US Chapter 1 - Just My Baby

Victoria POV

Aku mengerang sakit saat bayiku kembali menendang-nendang perutku, mencari jalan keluar. Sudah selama 20 menit peluhku terus bertetesan bersamaan dengan erangan sakit yang keluar dari mulutku. Terakhir kali diperiksa, aku harus menunggu sekitar 1 jam lagi. Jika 1 jam lagi kondisiku belum siap untuk melahirkan, terpaksa aku harus melakukan operasi sesar.

Sejak masuk bulan ke-7 posisi bayiku berubah melintang di perut, dokter sudah mewanti-wanti jika nanti saat proses bersalin, aku harus melakukan sesar. Tapi, aku tetap bersikeras ingin persalinan normal, aku ingin merasakan menjadi Ibu yang sesungguhnya, merasakan bagaimana Ibuku berjuang untuk melahirkanku ke dunia ini. Namun, kalau memang bayiku masih mempertahankan posisinya, tidak ada cara lain, aku harus disesar.

Seiring dengan bergeraknya waktu. Rasa sakit yang kurasakan tidak bisa ditahan lagi. Suster dan dokter menyerbu masuk, beberapa suster melihat bagian bawahku, sedangkan dokter memeriksa perutku dengan USG. Aku tak sanggup memikirkan hal lain lagi, yang dapat kupikirkan hanyalah bayi yang kukandung dan keselamatannya.

"Bayinya sudah berubah posisi. Persalinan normal bisa kami lakukan," ucap dokter, kemudian mengelap gel lengket dari perut buncitku.

"Pembukaannya sudah masuk 10, dok," sambung suster yang memeriksaku. Dokter kandungan itu mengangguk dan memasang sarung karet steril, mengambil posisinya di depanku.

Suster-suster membenarkan posisi tempat tidurku, agar aku bisa merasa lebih nyaman saat proses persalinan. Sakitnya tidak bisa kuungkapkan, menjalar dari perutku, menuju ke seluruh tubuhku, terlebih lagi rasa sakit di vaginaku yang merenggang.

"Ahhh," erangku.

Dua suster memegang dua tanganku, memberi dukungan mental.

"Saat saya hitung sampai 3, langsung dorong sekuat tenaga ya," ucap si dokter. Aku mengangguk. Peluh dan air mata mengaburkan pandanganku, namun aku masih dapat melihat gurat kelelahan di wajah dokter kandunganku.

"Siap, 1, 2, 3! - ayo dorong!"

Aku mendorong sekuat tenagaku, perenggangan yang kurasakan membuat mataku perih dan tangisankupun pecah.

"Bagus bu, ayo sekali lagi 1, 2, 3!" Lagi-lagi perenggangan itu membuatku kesakitan. Aku dapat merasakannya, suara bayiku yang samar-samar kudengar, karena telingaku berdengung sehabis aku memberikan dorongan.

Nafasku tersenggal, tubuhku lemas seketika, mataku hampir tertutup, namun tiba-tiba aku ingat akan bayiku yang masih mencari jalan keluarnya menuju dunia ini. Aku mengerang lagi, kemudian mendorong bayiku dengan sisa tenaga yang aku punya.

Punggungku yang lemas terjatuh ke tempat tidur, aku tersenyum mendengar suara tangisan bayiku yang begitu kuat dan keras, membawa senyuman di bibirku, sebelum aku jatuh tak sadarkan diri.

***

7 years later.

Album foto itu meninggalkan jejak debu di jariku. Mataku berair mengingat masa-masa sulitku dulu, masa sulit yang harus kutanggung sendiri, tanpa siapapun yang bersedia membantuku. Orang yang sangat kuharapkan pada waktu itu adalah orang tuaku yang sudah lama meninggal akibat kecelakaan di daerah bandung saat aku kelas 3 SMA. Belum selesai kesedihanku akibat kepergian orang tuaku, kabar bahwa aku sedang mengandung kudapatkan seminggu setelah hari kelulusanku.

Kalau diingat-ingat lagi, kehidupanku sebagai remaja yang seharusnya masuk ke perguruan tinggi, malah harus bekerja pontang-panting untuk menghidupi diriku sendiri dan bayi yang sedang kukandung.

Selama 9 bulan pekerjaan menjadi pelayan restoran siang dan malam harus membuat diriku dan bayiku kuat dalam menjalani hidup di dunia yang keras ini. Awalnya memang tak mudah, aku harus menyewa kos-kosan di tempat yang kotor dan berfasilitas sangat minim dan penuh dengan banyak hama. Wajar saja, aku mendapatkannya juga dengan uang yang sangat pas-pasan.

Keluargaku termasuk orang terpandang dulunya, ayahku adalah pengusahan batu bara dan Ibuku seorang Travel Agency, namun saat mereka berdua meninggal dunia, seluruh kekayaan keluargaku berpindah ke lain tangan yang sama sekali tidak kutahui siapa. Aku awalnya mau memproses dengan jalur hukum, tapi apa daya, uangku yang tersisa hanya beberapa saja dan tidak mungkin cukup untuk membayar pengacara.

Aku hidup dalam kesendirian, merawat anakku yang untungnya mengerti dengan kondisiku yang kesusahan, ia tak pernah rewel atau meminta ini itu, kecuali jika aku memang ingin membelikannya dan ada rejeki untuk itu.

Anakku, Revan Aditya adalah segalanya bagiku. Walaupun ia tumbuh besar hanya dengan satu kasih sayang dari Ibunya dan tidak memiliki keluarga yang lengkap seperti teman-temannya yang lain, ia menjadi anak yang tetap ceria dan pintar seperti yang aku harapkan. Aku tak mau karena kesedihanku, anakku menjadi korbannya.

Jangan pernah mengharapkan ayahnya yang mau memberikan kasih sayang terhadap Revan, bahkan aku ragu dia peduli. Aku sungguh membenci ayah biologis Revan, ia yang membuat aku menderita seperti ini. Walaupun terkadang aku sering melihat sebagian dari si brengsek itu di dalam anakku, misalnya jika dia sedang tersenyum, sesuatu yang terlihat di matanya itu sangat persis dengan ayahnya.

Sampai kapanpun, aku tak akan pernah membiarkan si brengsek itu mengenal anakku.

Maafkan Mama Revan, tapi ini satu-satunya cara untuk melindungimu.

***

Cerita baru nih, Maaf kalau jelek dan kurang dapet feelnya. Author memang baru di dunia Wattpad ini, tapi dalam hal menulis author sudah lumayan berpengalaman, tapi tetap masih menerima saran kalian tentang gaya tulis author atau cerita author ini.

Tolong berikan jejak kalian kepada cerita ini :D

#donotcopast

Between USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang