Chapter XI - Our Second Meeting

153 9 2
                                    

Between US Chapter 11 – Our Second Meeting

Victoria POV

"Maaf?" kataku lebih keras kepada siapapun di ujung sana, namun suara bip yang menjawab, berarti dia mematikan sambungan telephone kami.

"Sialan," umpatku keras-keras, untung Revan sedang tidak bersamaku.

Aku memejamkan mata untuk menenangkan diri. Baru kemarin, aku bertemu secara tatap muka dengan pria berengsek itu, sekarang ia malah memintaku melakukan hal yang sama. Apa ia tidak sadar? Aku sangat-sangat membenci dirinya dan mencoba menghindar.

Tapi, tentu saja ia tidak sadar, toh ia memang berengsek.

Tiba-tiba hpku berbunyi lagi, ada pesan dari Arkana.

Gedung Pearl Eyes lantai 12, saya di ruangan nomor 2.

Setelah membaca pesan tersebut, dengan muak aku melemparkan hpku ke kursi penumpang dan melajukan kendaraan.

Hanya tuhan yang tau, mau dibawa kemana nasibku oleh pria itu.

Aku mengatur nafas pelan-pelan. Masuk. Keluar. Masuk. Keluar. Aku sudah berdiri di depan pintu yang Akira maksud. Sudah pergi ke sekretarisnya di ujung ruangan dan sekarang aku tinggal membuka kenop pintu dan sudah pasti ada dia di dalamnya dan yang ini akan menjadi pertemuan kedua kita setelah 6 tahun tak berjumpa.

"Masuk." Terdengar suara orang yang tak sabaran dari dalam ruangan. Aku memejamkan mata dan saat aku membukanya kembali, pintu di hadapanku sudah terbuka dan Arkana muncul berdiri di ambang pintu sambil melihatku yang seperti orang gila.

"Apa yang membuatmu menunggu? Kata sekretarisku, kau sudah berada di sini sejak setengah jam yang lalu."

Aku memutar otak untuk mencari alasan. Jangan terlihat bodoh, Victoria. Ucapku dalam hati.

"Tadi aku mencari kunci rumah yang hilang, ternyata terselip di kantung tasku. Baru mau masuk, kau sudah buka pintu."

Arkana tampak tak peduli, ia melebarkan pintu biar aku bisa masuk. Ruangannya sangat besar dan terlihat sangat nyaman, banyak foto-foto proyek yang ia gantung di dinding-dinding ruangan. Mejanya besar, mungkin aku bisa tenggelam saat duduk di belakangnya.

"Terserah duduk dimana aja," ucap Arkana.

Aku memilih duduk di sofa ruangannya yang terlihat empuk dan mahal. Yah, semuanya pasti mahal dan bermerk untuk dia.

Arkana berjalan menuju meja kerjanya dan mengambil beberapa kertas. Lalu, kembali lagi ke arahku sambil menggenggam lembaran kertas yang sepertinya berisi beberapa hal yang ingin dia bicararakan seperti katanya tadi.

Ia duduk dihadapanku dan menaruh kertas-kertas itu di meja antara kami. Ternyata, kertas tersebut berisi rancanganku tentang Gedung X yang dicanangkan selesai 2 tahun lagi. Proses pembuatannya baru lusa dilakukan, sesuai perjanjian kami sejak awal.

"Apa yang salah?" tanyaku sambil memegang kertas-kertas tersebut.

"Tidak ada yang salah. Saya hanya ingin menambah beberapa bangunan di halaman yang masih kosong," ucapnya lalu mencondongkan tubuhnya ke atas meja di antara kami.

Aku melepaskan peganganku terhadap kertas-kertas tadi dan Arkana mengambil alih.

"Di bagian sini, aku ingin menambah lahan parkir, karena nanti akan ada banyak truk-truk besar yang menurunkan bahan produksi." Arkana menjelaskan sambil mencoret kertas tersebut untuk membuat tanda di mana tempat lahan parkir yang ia ingin tambah lagi.

"umm, bisa," ucapku sambil mengangguk.

Arkana meraih kertas berikutnya, yang menampakkan rancangan dalam gedung. "Di lantai kedua, aku ingin dibuat kafetaria untuk karyawanku makan siang, mungkin di daerah sini." Arkana kembali menandai tempat yang ia maksud dengan bolpoinnya. Kafetaria yang ingin ia tambahkan berada di tengah-tengah lantai. Awalnya, memang itu lahan kosong dan dipikiranku adalah untuk membuat taman kecil saja untuk karyawan menghilangkan penat, tapi ternyata pemilik gedung memiliki ide lain.

"Baik, Pak, setelah ini akan saya langsung proses," kataku tidak membuang-buang waktu. "Apa rancangannya boleh saya bawa? Siapa tau saya lupa nanti."

Arkana mengangguk dan kembali menaruh bolpoinnya di dalam saku. "Silahkan."

Aku membereskan kertas-kertas tersebut dan memasukkannya ke dalam tasku. Saat aku hendak beranjak pergi. Arkana memegang pergelanganku dan membuat tubuhku seketika membeku. Sentuhan itu memberikan rasa aneh di sekujur tubuhku.

Aku segera menyentakkan genggamannya. "Ada apa?" tanyaku sedikit ketus. Boda amat, mau dia klien atau bukan, yang jelas ia sudah berani menyentuhku tanpa seizinku pula.

Arkana tersentak, ia menjauh dariku. "Kapan kita bisa bicara?"

"Barusan kita bicara."

"Bukan bicara tentang pekerjaan. Bicara tentang 'kita' yang kumaksud," ucap Arkana membuatku langsung melotot.

"Bicara tentang 'kita' ?" Aku tertawa. "Pembicaraan apa yang kamu maksud? Pembicaraan penuh nostalgia 6 tahun terakhir ini atau kamu mau memohon-mohon minta maaf padaku. Dengar ya, sampai kamu matipun aku tidak akan memaafkan perbuatanmu, Arkana."

Arkana ikut berdiri dan tubuhnya yang tinggi. Membuat nyaliku hampir ciut. "Jaga mulutmu."

"Ya sudah, aku pergi dulu." Aku lalu begegas keluar dari ruangannya, sebelum ia sempat menarikku lagi.

Arkana POV

"Kurang ajar! Sudah berani melawan ternyata dia," aku mengumpat.

Aku menghempaskan tubuh di kursi kerjaku dan membuka laciku. Masih tampak secari kertas usang segenggaman tanganku yang berada di atas tumpukan folder.

"Kamu tumbuh menjadi perempuan yang berbeda rupanya." Aku mengusap foto dirinya dengan ibu jari. Masih terngiang dikepala, bagaimana polosnya dia dulu.

Begitu polos, sampai bisa kusakiti.

Tapi, ya memang itu tujuan hidupku. Yaitu, menyakitinya.

Dan sekarang aku melihat dia kembali lagi dikehidupanku, sehat dan tak kekurangan apa-pun membuat ku kesal setengah mati. Seharusnya wanita itu sudah lenyap 7 tahun silam. Tapi, kenapa dia masih hidup juga.

Aku sudah berpikir matang-matang semalam. Aku akan mengerahkan segala cara untuk menghancurkan wanita itu dan siapapun yang membuatnya tetap hidup sampai sekarang.

Siapapun itu. Termasuk anak lelaki itu.

***

Maaf-maaf. Lama ya updatenya. Lagi hectic sama kehidupan nyata hahaha. Setelah ini, saya janji update rutin.

Seminggu sekali, yes?

Between USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang