Chapter X - Arkana Luthor

133 3 0
                                    

Arkana

Victoria masih membelalakkan matanya di hadapanku. Di hadapan semua orang. Ia meremas tas yang ia bawa dan tak dapat mengalihkan perhatiannya dari diriku.

"Apa yang kau lakukan, Victoria? Cepat mulai presentasinya!" ucap salah satu atasannya dengan nada tegas dan mendesak.

"Iya, Pak," jawab Victoria, lalu perempuan itu berjalan menuju meja di depan ruangan dan memulai presentasinya tanpa berani menatapku.

"Perkenalkan nama saya Victoria Elizabeth Mahendra. Saya mohon maaf atas keterlambatan saya tadi. Mmm. Saya akan membahas tentang rancangan Gedung XII, jika dari pihak Xafier ada yang ingin bertanya atau berkomentar bisa langsung katakan pada saya."

Victoria diam, menatapku dengan matanya yang tampa ekspresi, menunggu diriku untuk menyuruhnya lanjut.

Aku mengangguk menanggapinya. Kemudian, ia mulai menampilkan gambar 3D rancangan Gedung XII yang sangat detail dan setelah kutekuni cukup bagus dan memuaskan.

"Jadi, sesuai permintaan anda, saya membuat rancangan 3 lantai dengan dua lift di setiap lantai. Tempat produksi utama terletak di lantai dua, di lantai satu adalah urusan marketingnya, sedangkan untuk lantai tiga adalah ruangan tempat petinggi dan untuk pengawasan jalannya kantor. Apa sampai disini ada yang mau berkomentar?"

Aku mengangkat tangan dan Victoria dengan enggan mempersilahkanku.

"Dimana ruangan saya?"

"Disini, Pak." Victoria menunjukkan sebuah ruangan dengan bentuk persegi di lantai tiga dan ruangan terluas dari yang lainnya, terdapat balkon dan sebuah kamar kecil pribadi.

Aku menyuruhnya untuk lanjut.

"Bangunannya terdiri dari besi, tembaga, dan baja, juga dilapisi bahan anti api, sesuai kemauan bapak. Juga terdapat banyak master point jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Ini adalah emergency exit yang ada disetiap lantai dan langsung menuju halaman terbuka di belakang gedung. Untuk ukiran-ukiran rumit yang dipesan oleh perusahaan, setelah bangunan jadi 50% akan kami konsultasikan lagi," Victoria menjelaskan sambil menunjuk bagian-bagian gedung dengan ahlinya.

"Bagaimana, Pak. Apa Bapak setuju?" tanya pria yang meneriaki Victoria tadi.

"Saya setuju untuk rancangan awal ini, tapi mungkin kalau saya berubah pikiran atau ada yang ingin saya tambahkan, saya akan beritahu. Tapi, supaya dapat langsung diproses, saya bisa langsung hubungi siapa ya?" tanyaku dengan maksud terselubung.

Pria yang meneriaki Victoria itupun menunjuk Victoria dengan senyuman ramah yang dibuat-buatnya. "Silahkan langsung hubungi pihak arsiteknya, Pak. Nanti Victoria bisa langsung beri nomor Hpmu kepada Pak Arkana."

"Baik, Pak," jawan Victoria masih tak menatapku atau memberiku senyuman ramah.

"Baiklah, kalau begitu saya masih ada pekerjaan lain. Saya undur diri. Terima Kasih." Aku bangun dan bersalaman dengan karyawan LexCorp. Dan saat aku berhenti di depan Victoria, tubuh perempuan itu enggan untuk menjabat tanganku, tapi dengan gerakan kikuknya ia menerima uluran tanganku dan langsung menariknya cepat-cepat.

Setelah menandatangani surat resminya, aku keluar dari ruangan itu dan bergegas menuju mobilku.

Ternyata selama ini dugaanku salah.

***

"Apa, Bos? Tumben memanggilku mendadak," Baron datang dan menghempaskan tubuhnya di sofa ruangan kerjaku. Tanpa sopan santun seperti biasanya.

Tanganku menekan sandaran tangan kursi, masih terbayang wajah perempuan itu yang tampak sejahtera dan bahagia? Dia seharusnya hidup melarat atau yang terburuk ia seharusnya sudah mati saat kutinggalkan tanpa sepeserpun uang hari itu.

Between USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang