Chapter VIII - Math

166 8 1
                                    

Between US Chapter 8 – Math

Victoria

"Memangnya sehebat apa sih perusahaan Xafier itu?" tanyaku kepada Diandra saat kami sedang bersantai di sofa hitam ruanganku.

"Sehebat apa? Lebih dari sangat hebat," kata Diandra sambil mengetikkan sesuatu di tabletnya. Aku mengintip dan melihat ia mengetik "Perusahaan Xafier" dan sambil menunggu internetnya loading, ia beralih menatapku.

"Apa sebelum ini kamu belum pernah dengar tentang Xafier?"

"Pernahlah, tapi hanya saja aku belum begitu mengenalnya."

"Ohh begitu. Nah ini dia." Diandra mendorong tabletnya yang menyala kepadaku dan aku langsung meraihnya.

"Xafier..." Aku membaca berita-berita terbaru tentang Xafier, mengenai perusahaannya yang akan membuka pabrik di Indonesia, pabrik suku cadang kendaraan yang sudah diperkirakan akan memenuhi pasar dunia. Pabrik yang gedungnya kukerjakan tiap hari.

Aku membuka di halaman gambar dan bermunculan foto-foto karya Xafier, mulai dari kendaraan, alat teknologi, dan lain-lain. Aku tak menyangka ternyata beberapa barang yang kupakai ternyata berlambangkan X di salah satu sisinya, tapi aku tak pernah sadar.

"Keren kan," ucap Diandra. Aku mengabaikan, terus melihat-lihat foto di google, sampai tiba-tiba tanganku membeku seketika melihat sosok yang sepintas kukenal. Ada laki-laki yang sedang melakukan presentasi tentang mesin-entahlah- dan tubuhnya miring, sehingga hanya bagian tubuh sebelah kirinya saja yang terlihat, tapi bentuk rahang dan alisnya, mengingatkan aku tentang seseorang.

Aku bergegas mencari siapa pemilik dari Xafier ini. Bersamaan dengan degup jantungku yang berpacu, detik-detik halaman yang kucari termuat, tiba-tiba tablet Diandra berkedip dan mati, membiarkanku menatap hitamnya layar.

"Hehe, baterainya habis, ya?"

Aku memberikan kembali tabnya. "iya nih."

Diandra mengambil tabnya dan menaruhnya kembali ke tas. "Ini masih 2 jam lagi, sebelum rapat sama Xafier. Kamu mau di sini atau mau keluar dulu?"

"Kayaknya aku mau antar Revan kerumah dulu, baru nanti balik lagi. Kasihan soalnya Bi Ningsih kalau harus jemput naik taxi," kataku sambil berdiri yang diikuti oleh Diandra.

"Oh yasudah, awalnya mau ngajakin minum teh di café sebelah, tapi urusan anak pasti lebih penting."

"Iya. Aku duluan ya," kataku, lalu memeluknya sebelum pergi.

Aku sudah memberitahu Diandra tentang Revan, tapi tidak menceritakan tentang aku hamil diluar nikah tentu saja. Aku hanya menjelaskan bahwa aku dan ayah Revan dijodohkan, lalu ia meninggal saat usia Revan dua bulan dalam kandungan. Itu adalah semua cerita yang selalu kuberitahu kepada semua orang yang bertanya tentang ayah Revan.

Sesaat meninggalkan kantor, aku berpapasan dengan salah satu petinggi LexCorp yang nantinya ikut rapat dengan pihak Xafier. Aku tersenyum ramah saat Bu Vera melihatku.

"Saya nanti langsung ke tempat rapat saja ya, Bu. Soalnya anak saya harus saya antar pulang dulu."

Bu Vera mengecek jam dipergelangan tangannya. "mmm, boleh, tapi jangan sampai telat."

"Terima Kasih, Bu."

"Iya, silahkan."

Akupun bergegas menjemput Revan.

***

"Ma, nanti pulang jam berapa?" tanya Revan saat aku mengantarkan ia menuju apartemen kami di lantai 3.

Between USTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang