Victoria
Klaksonku tak henti-hentinya berbunyi. Kendaraan dihadapanku tak kunjung bergerak. Waktu tinggal 15 menit lagi dan jarakku ke kantor masih jauh, kalau tidak buru-buru, hancurlah karirku. Seharusnya, aku ingat tentang macetnya Jakarta kalau jam makan siang seperti ini. Tapi, karena terlanjur kasihan dengan Bi Ningsih, akhirnya aku lupa tentang keadaan kota asalku ini.
Kendaraan di depan dan di belakangku saling membunyikan klakson tanpa henti, membuat telingaku berdengung. Suara ramah radio yang kupasangpun tidak dapat menghibur moodku.
Macet di daerah lampu merah, membuatku tertahan hampir satu jam-an, selang beberapa menit kami bergerak, kemudian berhenti lagi. Seandainya mobil bisa terbang, aku sudah akan sampai di kantor 20 menit yang lalu.
Menunggu dan terus menunggu dengan pikiran yang sudah berada di ruang rapat dan tubuh masih di sini, aku gagal fokus. Saat harusnya aku jalan, aku hanya menatap jalur kosong di depanku, dan dihadiahi klaksonan dari rentetan kedaraan di belakangku.
Saat sudah sadar, aku menginjak gas dalam dan memacu mobil untuk mengejar waktu. Untunglah, selepas dari lampu merah dan belok kanan, kendaraan mulai renggang, aku dapat menyelip beberapa kendaraan, walaupun lagi-lagi diberi klakson atau peringatan yang tak kupedulikan oleh polisi, karena berkendara ugal-ugalan, tapi sebelum polisi menghentikanku, aku tetap nekat.
Ketika mobilku sudah memasuki parkiran kantor. Mobil hitam panjang sudah berjejer di depan pintu masuk. Pintu kaca kantor sudah dibuka yang berarti Xafier sudah datang. Sambil membawa tas selempang dan menggunakan high heels aku berlari menuju ruang rapat.
Aku yang akan mengisi rapat sepenuhnya, karena memang itu tugasku sebagai orang yang mendesign bangunannya dan memang hari ini kami akan membahas apakan pihak Xafier setuju atau tidak dengan rancangan buatanku.
"Apa sudah datang?" tanyaku kepada resepsionis di depan saat aku mengeluarkan kartu identitas untuk dipindai.
"Sudah sekitar 10 menit yang lalu, Bu."
"Mati aku."
"Ini kartu identitasnya." Resepsionis memberikan kembali kartu pengenalku, sambil berlari dengan hati-hati, aku naik lift dan berdoa kepada tuhan, semoga karirku masih selamat.
Lift berhenti di lantai 4 dan aku bergegas menuju ruang rapat. Pintunya tertutup dan lampu utama dinyalakan, terlihat dari cahaya lampu yang hangat menguar dari celah-celah kaca buram dan pintu.
Aku mengetuk pintu tiga kali dan suara di dalam ruangan rapat menjadi hening. Aku berdoa semoga semuanya belum dimulai.
Saat aku masuk, semua tatapan menusuk ke arah diriku bagaikan laser mematikan yang memotong tubuhku jadi dua.
"Maaf saya telat," ucapku pelan, namun dapat didengar oleh 6 orang di dalam ruangan tersebut.
"Saya tidak suka orang yang tidak disiplin," ucap sebuah suara dengan nada baritonnya.
"Maaf-" ucapku, tapi terpotong, karena tatapan kami bertemu. Hitam dan abu-abu melebur menjadi tatapan yang susah diartikan.
Akhirnya ia menemukanku.
***
"Selamat datang di perusahaan kami, Pak."
"Terima kasih," jawabku sambil membenarkan jas biru lautku yang agak berantakkan saat duduk tadi. Aku mengamati gedung perusahaan LexCorp dihadapanku ini. Sangat arsitektur dan amat rumit dibandingkan bangunan-bangunan perusahaan lain yang hanya datar, polos, dan monoton.
Sama halnya dengan gedung-gedung perusahaanku, semuanya polos dan memiliki ciri khas yang sama setiap gedung, terkadang bosan juga mengunjung gedung yang bentuknya sama-sama saja disetiap negara, jadi aku memutuskan untuk membuat yang berbeda di Indonesia. Walaupun butuh biaya besar, tapi aku rela demi bagusnya bangunanaku.
"Silahkan saya antar ke ruang rapat, Pak." Seorang karyawan perempuan dengan kemeja putih dan rok hitam sepaha tersenyum manis padaku. Ia memegang map berwarna biru di tangannya.
Aku mengangguk, lalu diikuti asistenku di belakang.
***
Ruangan rapat terletak di lantai 3 gedung. Sambil melihat-lihat gedung, aku juga lumayan senang dengan fasilitas kantor yang memadai dan bersih, tidak ada sampah di lantai dan karyawannya juga ramah-ramah.
Perempuan di depanku membuka sebuah pintu abu-abu dan mempersilahkanku masuk. Di dalam ruangan terdapat jejeran kursi yang mengelilingi meja berbentuk oval. Di dalam sudah ada sekitar 3 orang yang kutebak adalah orang yang mengurusi gedungku.
"Selamat Siang, Pak."
"Selamat Siang."
Aku duduk di salah satu kursi di samping seorang wanita paruh baya yang bernama Vera. Walaupun sudah tua, ia tetap berlagak genit di sampingku. Tidak tahu usia kami terpaut jauh.
"Apa yang kalian tunggu?" tanyaku tak sabaran. Sejak aku duduk, mereka hanya bergeming dan saling melirik satu sama lain.
"Mana contoh gedungnya? Saya kesini untuk membahas itu," kataku tajam. Ketiga orang dari LexCorp itupun kembali saling lirik, mungkin memutuskan siapa yang akhirnya akan bicara.
Seorang pria dengan kepala setengah plontos yang duduk dihadapanku berdeham dan akhirnya membuka mulut. "Maaf Pak, tapi rekan kami belum hadir. Dia yang bertugas untuk membahas rancangan gedung bapak."
Aku mendengus. Telat. Malas sekali menunggui orang yang sukanya ingkar janji, mereka yang seperti itu tidak akan pernah bisa sukses.
"Saya tunggu 5 menit lagi."
"Ba-ik, Pak. Kami akan coba hubungi dia."
Aku tak menjawab dan malah membuka tabletku dan menyelesaikan pekerjaanku yang tertunda karena masalah rapat ini. Rupanya mereka malah tak menghargai waktu yang sudahku sisakan untuk pembahasan ini.
Mereka berkasak-kusuk di depanku, jelas tidak tenang dengan ultimatum waktuku yang sangat singkat, dimanapun rekan mereka, pasti sedang tidak ada dikantor.
"Hubungi lagi dia."
"Tidak diangkat."
"Mungkin Victoria masih dijalan, katanya tadi dia minta izin keluar jam 11 tadi," jelas Vera yang berada disampingku.
"Dasar, baru dipindahkan saja, Victoria itu sudah berani bikin ulah," desis seseorang entah siapa namanya.
Setelah itu, percakapan mereka tidak membuatku tertarik. Yang ada dipikiranku hanya sebuah nama.
Victoria.
Seharusnya aku tak memikirkannya lagi. Victoria yang itu pasti sudah tidak ada lagi dimuka bumi ini. Ya, nama Victoria bukan hanya milik perempuan itu.
Namun, pintu terbuka dan hawa ruangan berubah, seseorang masuk sambil menghembuskan nafasnya yang memburu. "Maaf saya telat."
"Saya tidak suka orang yang telat," kataku sambil memberikan tablet kembali ke asistenku dan memandang sosok dipintu itu.
Oh, ternyata aku salah.
Victoria yang mereka maksud, adalah perempuan itu dan ia kini berdiri dihadapanku dengan raut kagetnya.
Aku tak mungkin salah, walaupun sudah bertahun-tahun tidak melihatnya, ia masih terlihat sama, dengan mata cokelat dan rambut hitam yang selalu dibiarkan panjang.
Aku tersenyum. Aku menemukanmu, Victoria.
KAMU SEDANG MEMBACA
Between US
RomanceVictoria kabur dari masa lalunya, pergi mencari tempat yang tak akan ada orang yang mengenalnya. Pergi ke Amerika adalah salah satunya jalan, dengan uang yang sangat pas-pasan dan keahliannya dibidang menggambar, membawa Victoria pada pekerjaan yan...