.
.
Hate the sin, not the sinner.
Tomo membacanya sekali, dua kali, berkali-kali matanya menyapu pada kalimat itu, kata-kata paling kuat dan polos yang pernah ia ketahui. Buku di pangkuannya bersampul tapi lecek, sama remuk dengan tangan kiri yang berperban. Sakit dari tangan kiri itu menjalar tanpa tepi, tapi kelebihan manusia adalah bisa terbiasa.
Trek, pintu di seberang telah terbuka. Flop, buku itu dilempar begitu saja melewati pagar atap sekolah, lantas terjun bebas ke bawah.
Si pemuda, Tomo, menyambut orang itu yang termangu di depan pintu. Senyumannya menyembul di antara plester dan perban. Mata kanan tertutup penutup mata, mata kiri tertutup senyum. Di belakangnya pagar atap sekolah membingkai fajar.
Orang itu, yang tengah berada di hadapannya pernah bilang,--Oh Tomo kau cocok sekali dengan warna-warna pastel. Kalau begitu, apakah saat ini, ketika sosok Tomo ini terciprat warna-warna pagi dilatari kota yang bangun bersamaan dengan matahari, dia terlihat cantik di mata orang itu? Biru pudar dan kuning lembut pada rambut, sedikit putih dari salju yang belum cair. Lengket dalam pandangan, licin di tenggorokan, lelehan gula dalam telapak tangan.
Saat ini Tomo cantik. Ia bersih serta wangi dan oh, tak ada satupun sobekan di seragam yang luput dijahit. Rambut di ubun-ubun kepala memang mencuat tak beraturan, tapi toh, sudah berusaha disisir. Luka dan lebam ditutup rapat-rapat. Tiap cacat di tubuh diselotip. Belum pernah ia sebegini berusaha membetulkan penampilannya, jadi sudikah orang itu memuji sedikit saja?
Apakah saat ini aku cantik? Tomo jadi ingin bertanya. Tomo ingin mendengar orang itu menjawab, lebih yakin dari apapun, Oh Tomo, betapa cantiknya dirimu.
"Selamat pagi." Tomo, menyapa. Tak ada jawaban dari orang itu yang termangu di seberang sana.
Terima kasih sudah datang, wahai kekasih, karena hari ini...karena hari ini, tepat pada hari ini, pada tanggal yang sudah dilingkari bentuk hati dengan spidol merah di kalender murah, Tomo akan mengakhiri hidupnya yang menyedihkan.
.
.
.
.
Setengah jam berselang, murid-murid yang datang paling awal akan menemukan ceceran seorang siswa bernama Kurahashi Tomo; tangannya mengais masuk jamban di toilet wanita, jeroannya ada di loker sepatu, kakinya dijejal ke tong sampah.
Sisa tubuhnya dapat ditemukan di salah satu meja kelas 3-B, mejanya sendiri, segar tersaji seperti potongan sushi.
Kepalanya—oh di mana kepala Kurahashi Tomo yang malang? Benda jorok itu ada di depan gerbang, menyapa di atas salju.
.
.
.
.
Hari itu Tomo mengakhiri hidupnya yang menyedihkan—hari itu, hari yang dilingkari dengan gambar hati, hari paling damai dalam diri Tomo.
KAMU SEDANG MEMBACA
TOMO [bxb]
HorrorTomo itu sampah. Tomo cuma toilet bersama. Tomo sudah mampus dua tahun lalu, terpapar merah di sekolah. Bisa bunuh diri, bisa dibunuh, tapi siapa peduli pada ulat di bawah kaki? Mikami Ayumu, kelas dua SMA, mantan atlet harapan. Cedera di bahu s...