[MIRROR]
.
.
Setetes hujan pertama jatuh tak jauh dari situ. Lalu satu, dua, tiga, rintik-rintik saling menyusul di atas daun yang merah, menitik basah di tanah, atau menerpa bahu manusia.
.
.
"Terima kasih!"
Lalu membungkuklah kedua orang itu di hadapan sang pendeta tua. Baju keduanya menempel basah di badan, rambut lemas oleh air hujan. Walau sudah terlindung di bawah atap kuil Buddha, tetap saja hawa dingin yang melanda membuat Ayumu bersin-bersin seketika.
"Tidak apa-apa." Pendeta Buddha yang menyambut mereka tampak maklum. Bagaimanapun, tak mungkin juga membiarkan dua remaja itu diguyur hujan. Apalagi kuil ini terpencil, letaknya berkilometer dari peradaban. "Kami akan menyiapkan mandi dan pakaian ganti. Apabila hujan semakin deras, bermalamlah di sini."
Setelah mengeringkan diri dengan handuk yang disediakan oleh pendeta lainnya, mereka segera dibawa menuju pemandian. Katanya, air panas akan disiapkan. Kedua tamu tak diundang itu hanya bisa bergantung pada kebaikan hati para pendeta takkala mereka menyusuri interior kuil yang tua dan lembap. Berjalan telanjang kaki di atas lantai kayu berderit, Ayumu melihat suara hujan menembus barisan pintu kertas di koridor. Tak terlihat sekelebat tanda reda dalam cuaca. Hidungnya pun making gatal saja.
Sedari tadi langit memang terbilang mendung, tapi tetap saja ini terasa tiba-tiba. Sepuluh menit lalu, setelah beberapa titik basah pertama, hujan langsung deras begitu saja. 'Bagai ditumpahkan dari ember'—kalau mau meminjam kata-kata prakiraan cuaca. Kurokami dan Ayumu yang terjebak di luar langsung lari ke bangunan terdekat—kuil Buddha itu. Awalnya hanya berniat untuk berteduh, tapi para pendeta yang baik mempersilakan mereka masuk, bahkan sampai ditawarkan mandi dan bermalam.
Lalu apa yang bisa Kurokami dan Ayumu lakukan selain menerima uluran kebaikan? Menempuh lima kilometer menuju halte bis terdekat dalam deraan hujan adalah konyol untuk dipikirkan, apalagi dilakukan.
.
"Handuk kering dan pakaian gantinya saya letakkan di sini."
Setelah menerima ucapan terima kasih yang sepantasnya, pendeta muda itu undur diri dan membiarkan mereka berdua dalam ruangan ganti di sebelah pemandian. Ayumu dan Kurokami sama-sama terdiam beberapa saat, belum sepantasnya menatap setelah berada di bawah atap. Barulah ketika terdengar bunyi baju dilepas, Ayumu meneguhkan diri untuk menanggalkan pakaiannya satu-persatu—gerakannya kaku karena kikuk, dan giginya bergelemetuk.
Mandi dengan Kurokami adalah hal terakhir yang ia rencanakan untuk hari ini. Bukankah di agendanya, jadwal perjalanannya hanya terdiri dari 'pergi ke makam, menaruh buku dan berdoa, lalu pulang'? Tapi tunggu dulu, hari ini kejutan datang bergantian. Bertemu Kurokami, menerima pengakuan mengejutkan, dan dikurung hujan bersama yang bersangkutan. Jika malam ini alien turun ke bumi, rasa-rasanya ia takkan terlalu heran.
Remaja itu melepas semuanya dalam satu sentakan. Jaket, kaus, jeans, boxer kotak-kotak. Dibebatkannya handuk mandi pada pinggang. Dengan rambut yang menempel di dahi dan pipi, fokus Ayumu jatuh pada handband merah tedas di pergelangannya. Sejenak dirinya ragu karena ia tahu benda ini tak mungkin dipakai mandi. Akan tetapi, ketika ban tangan sedikit disingkap, tampak memar di tangan yang tak sedikitpun memudar. Bahkan warnanya jauh lebih gelap. Terbilang agak nyeri, tapi penampilannya lebih parah dari rasa sakitnya.
"Mikami-san."
Ayumu refleks menoleh dan tertegun mendapati suatu maskulinitas pria sejati mewujud sempurna di hadapannya—atau dalam kalimat non-puitis yang lebih jujur, badan Kurokami sangat bagus. Sama seperti Ayumu, rambut Kurokami tak bisa kering sepenuhnya, dan surai yang agak panjang itu mengular di tengkuk. Poni yang biasanya tersisir ke belakang pun berjatuhan di dahi, memberi penampilan berbeda. Tetes-tetes air berpegangan di dekat leher. Beberapa butir jatuh menyusuri landai dada yang bidang, lalu turun ke otot perut yang berkelok, dan berakhir ke ujung handuk kecil yang menutup—
KAMU SEDANG MEMBACA
TOMO [bxb]
HorrorTomo itu sampah. Tomo cuma toilet bersama. Tomo sudah mampus dua tahun lalu, terpapar merah di sekolah. Bisa bunuh diri, bisa dibunuh, tapi siapa peduli pada ulat di bawah kaki? Mikami Ayumu, kelas dua SMA, mantan atlet harapan. Cedera di bahu s...