[GRAVE]
.
.
Hari itu, dua lembar Fukuzawa Yukichi hadiah ulang tahunnya dipakai untuk berpetualang.
Mengandalkan selembar peta dan kebaikan hati polisi dari suatu koban, Ayumu menyusuri distrik asing menuju kuil tempat Kurahashi Tomo dimakamkan. Menaiki bus, pemuda itu memboyong diri menjauhi kota menuju daerah pegunungan yang asing. Jalanan lain dilalui, pengalaman baru dirasakan, pemandangan di luar jendela bus semakin lama semakin sepi dan asri. Ia membayangkan seperti inikah perasaan pendeta yang berziarah jauh menuju tempat suci, di suatu tempat yang tak pernah ia lalui.
Ya, tapi ini kan ziarah modern naik alat transportasi—dan jelas-jelas ia bukan pendeta, hanya siswa pembolos biasa. Entah apa kata teman-temannya ketika melihat kursi Ayumu kosong tak terisi? Mungkin handphone yang sengaja ditinggalkan di meja belajarnya itu sudah penuh pesan dan miscall—sebagian khawatir, sisanya penasaran. Memikirkan ini sendiri membuat Ayumu geli, walau agak teriris mengingat kejadian bersama Natsuki. Ulang tahun yang tidak menyenangkan dan percintaan yang menyedihkan.
Sesuai dengan petunjuk polisi baik hati, Ayumu turun di pemberhentian yang sudah ditentukan. Setelah meregangkan badan yang pegal karena dipak dalam bus pengap, ia siap untuk berjalan kaki.
Tujuannya berada pada taman pemakaman di sebuah kuil Buddha, lima kilometer jalan kaki dari pemberhentian bus terdekat. Untunglah pemandangannya cantik dan cuacanya bagus.
Kala memusatkan atma pada keindahan alam, Ayumu bisa menganggap perjalanan ini menyenangkan. Pada bulan Oktober, dedaunan dari pohon yang berbaris kiri-kanan berwarna musim gugur. Merah, kuning, hijau, disertai gradasi ketiga warna. Angin dingin, terbawa dari Pacific Typhoon Season, menyusup masuk dari celah jaket hitam. Ayumu membetulkan topinya seraya menatap ke atas. Langit biru terbentang tak utuh di antara merah dan kuning pepohonan. Seekor burung melintas, terbang bebas.
Kenapa Kurahashi Tomo harus dimakamkan begitu jauh dari tempatnya tinggal? Sederhana saja: makamnya sengaja dipindahkan ke tempat yang tersembunyi. Awalnya ia dimakamkan di kuil yang terletak satu distrik dengan SMA Nisshin, bersama sang ibu dalam sepetak makam keluarga. Akan tetapi, tak sampai sebulan setelah Pemuda Kamelia menjadi viral, makam itu diobrak-abrik oleh seseorang, dua orang, banyak orang, guci abunya terbuka dan nisannya dirompeli. Akhirnya suatu pihak (dikabarkan sebagai orang dalam dari SMA Nisshin) berinsiatif untuk memindahkan makamnya ke daerah lain. Lokasinya tentu dirahasiakan pada umum. Ayumu hanya tahu di mana letaknya setelah bersusah payah. Malam kemarin ia sampai memohon-mohon pada Hiro-C alias Hirose-san, salah satu dari sedikit sekali orang luar yang tahu.
Ia beri dirinya alibi, malam itu di chatroom Escher Club yang sepi. 'Aku melakukan perbuatan tak sopan di SMA Nisshin dan jiwaku menemui ruh Kurahashi Tomo karena perasaan bersalah. Aku mau bersujud meminta maaf di depan nisan Kurahashi Tomo.' – atau begitulah sinopsis dari curahan hati super panjang yang dikarang Ayumu demi meluluhkan hati Hirose. Ia bahkan sudah menyiapkan rekaman suara jeritan nan pilu kalau-kalau Hirose butuh bukti nyata.
Kuncinya adalah memberikan sedikit romantisme misteri, yang dikombinasikan dengan kebaikan hati Hirose. Dengan akting yang tepat, alamat pun ia dapat.
(Yah, dari kejadian Natsuki beberapa hari yang lalu, bukankah mudah ditebak kalau Hirose bukanlah pria berhati seteguh karang? Cocok dengan pacarnya yang manis tapi semaunya.)
Ketika dedaunan merah mulai membuatnya jenuh, Ayumu sampai juga di kuil yang dimaksud. Ayumu segera masuk, agak berdebar-debar. Setelah mengucapkan salam dan membicarakan maksudnya berziarah pada seorang pendeta tua yang tengah menyapu di situ, ia segera menuju gerbang taman pemakaman.
KAMU SEDANG MEMBACA
TOMO [bxb]
HorrorTomo itu sampah. Tomo cuma toilet bersama. Tomo sudah mampus dua tahun lalu, terpapar merah di sekolah. Bisa bunuh diri, bisa dibunuh, tapi siapa peduli pada ulat di bawah kaki? Mikami Ayumu, kelas dua SMA, mantan atlet harapan. Cedera di bahu s...