[GANDHI]
.
.
Tak lama kemudian, Kurokami keluar. Senter yang tadi ia nyalakan sudah kembali mati. Pemuda tinggi itu langsung berbalik ke kiri dan menuruni tangga, tak awas akan sepasang mata yang mengintip dari balik tiang penyangga gedung.
.
.
Ayumu melihatnya. Semuanya.
Ia tak tahu harus berkata apa, atau berpendapat apa terhadap Kurokami yang menjilati meja di mana mayat pernah tersaji. Yang jelas, ada sesuatu dalam dirinya yang tak pernah sama lagi. Ia merasa bagaikan saksi polos yang terlanjur dinodai peristiwa tak senonoh. Apa ia menyesal membuntuti? Tentu. Kalau bisa, ia ingin kembali lagi ke waktu sepuluh menit yang lalu, ketika ia masih menikmati kegiatan uji keberanian ini tanpa prasangka. Rasanya mual, reaksi wajar kala melihat suatu kemesuman yang memuakkan.
Meski begitu, tak ayal waktu yang berlalu mengembalikan lagi ketenangannya, nasi yang menjadi bubur tak akan menunggu. Merasa butuh suatu petunjuk untuk merasionalkan perilaku aneh Kurokami, Ayumu masuk ke gudang di mana meja itu berada.
Cahaya senternya menerangi meja yang penuh burik luka. Cela dan noda di sana bercerita, seperti apa kehidupan yang dialami Kurahashi Tomo setiap hari kala ia duduk di mejanya, entah termenung atau menangis. Bodoh atau gila, kenapa ia mau saja diperlakukan bagai bukan manusia, menumpuk derita yang akan membentuk kehidupan sekolahnya?
Ayumu menatap meja, permukaan kayu yang pernah tersentuh bangkai manusia dan lidah Kurokami, menyerap darah dan ludah. Menelan rasa mual yang naik ke tenggorokan, ia periksa laci meja itu, mengharapkan sesuatu.
Ada.
.
.
Dengan sikap yang jauh lebih pendiam, Ayumu mengikuti kegiatan Escher Club sampai akhir. Kala ditanya ada apa, ia memang menjawab ceria bahwa semuanya baik-baik saja, hanya sedikit sakit perut, tapi sikap riangnya itu tampak plastik dan dibuat-buat. Semua bisa lihat bahwa ada sesuatu yang membuat pemuda SMA itu menutup diri, terutama Natsuki.
Dari perjalanan dengan kereta malam terakhir sampai depan rumah Natsuki, gadis itu tak menyerah juga untuk menanyakan penyebab kemurungan Ayumu—apa yang terjadi, kemana senyum bodohmu itu? Awalnya ia bertanya dengan galak, lalu suaranya melembut jadi bujukan. Barulah di penghujung kebersamaan mereka, Natsuki jadi benar-benar khawatir melihat Ayumu yang berkeras jadi teka-teki, menyimpan taksa tanpa mau berbagi.
"Ayumu-kun." Sungguh-sungguh, gadis itu mengulang pertanyaannya di depan pintu rumah, "Apa kau baik-baik saja?"
Senyum Ayumu manis. Itu senjatanya sedari dulu, kala dihadapkan pada hal-hal tak menyenangkan. Dan sekarang—saat ini, Ayumu melakukannya lagi, menutup sesuatu dengan taburan gula. Senyumannya mengembang dan manis, bagai adonan kue. "Tidak ada apa-apa, Nacchan! Sungguh!"
Bohong! Ingin ia menyela, tapi keduanya sama lelah, sehingga Natsuki pun menyerah. "Baiklah, kalau memang begitu... Ayumu-kun, selamat malam."
"Malam."
"Kalau ada apa-apa, hubungi aku, ya?"
"Tentu, sayangku."
Dengan bercanda, Ayumu cium punggung tangan Natsuki, tapi si tuan putri enggan bereaksi—tidak memaki, tidak tersipu, tidak jatuh pada tipuan itu. Tanpa bicara lagi Natsuki masuk dan menutup pintu, dan dengan itu, jarak di antara mereka menebal. Pada malam sesepi ini, suara pintu yang ditutup pelan terdengar jauh lebih keras dari yang seharusnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
TOMO [bxb]
HorrorTomo itu sampah. Tomo cuma toilet bersama. Tomo sudah mampus dua tahun lalu, terpapar merah di sekolah. Bisa bunuh diri, bisa dibunuh, tapi siapa peduli pada ulat di bawah kaki? Mikami Ayumu, kelas dua SMA, mantan atlet harapan. Cedera di bahu s...