[LOVE, UNREQUITED]
.
.
[Gelap. Membuka mata ataupun tidak, nihil bedanya.
Digerakkan tak bisa. Dilihat apalagi. Sesuatu yang tak terlihat memaku tangan dan kakinya dalam posisi duduk, karena ia tak merasa berbaring.
Awalnya Ayumu tak mau menyerah. Tapi lama-kelamaan, setelah lama berjuang untuk menggerakan badan, ia pun pasrah oleh lelah. Dibiarkan saja dirinya duduk di situ, dipagut hitam yang senyap. Apa ini lucid dream, kesadaran yang mengembara dalam mimpi? Mungkin saja. Ayumu memang sadar ini tak nyata, tetapi—tetapi Ayumu tidak bisa meraja dalam mimpi miliknya. Bukankah salah satu esensi dari lucid dream adalah membentuk mimpi yang dipunya, sesukanya?
Ia terpenjara kegelapan ini. Tak bisa menggerakan tangan maupun kaki, kaku seperti orang mati. Tak bisa berteriak tak bisa menolak. Sejenak, ia merasa tengah menunggu hukuman—perasaan yang kerap dituai dalam ladang kesendirian.
Tetapi yang merengkuhnya adalah sentuhan penuh belas kasihan. Sebentuk tangan dingin mengelus Ayumu dari bahu hingga jemari, membebaskannya dari lumpuh tak berkesudahan. Rantai-rantai pengikat lepas dituntas suatu cahaya— apa yang menutup matanya telah hilang.
Ayumu menoleh ke arah sentuhan, refleks saat bisa bergerak lagi. Entah kenapa ia tak heran bahwa di sampingnya ada Tomo. Kontras dengan sentuhan lembutnya di tangan Ayumu, wajah itu luar biasa beku, lebih palsu dari patung yang bisu. Tomo bahkan tak repot-repot bernapas, atau berkedip, atau berpura-pura bahwa nyawanya masih ada. Kulitnya abu-abu karena tak dialiri darah.
Tapi Ayumu tak peduli. Ia menggengam tangan Tomo, tak ingin melepaskannya lagi.
Mereka duduk bersisian di atas dua meja di tengah kelas—kelas 1-3 yang suram dan berdebu seperti diingat Ayumu. Jendela-jendela berpapan dan kertas bekas berserakan. Di lantai tampak berguling suatu toples berisi bintang-bintang kertas. Di sini Tomo pernah mati, tapi Ayumu tak takut sama sekali.
Tomo mengalihkan tatapan ke depan dan Ayumu mengikuti. Papan tulis di depan hanya bertuliskan satu huruf kanji, garisnya setajam pisau: CINTA.
.
Membacanya, Ayumu mendapat imaji satu peristiwa:
Ia melihat dua orang pemuda berseragam berbeda saling berpapasan di suatu jalan. Itu Kurokami dan Tomo. Tapi hanya Kurokami yang menengok untuk kedua kali.
.
"Tadi itu..."
"Cinta, ya." jawab Tomo.]
.
.
.
.
.
Dulu ada cerita, seseorang bernama Wallace berkunjung ke suatu negara di Asia Tenggara. Entah sial atau beruntung, di sana ia terkena demam berkepanjangan. Di tengah kondisi delirium yang amat sangat, Tuhan memberinya suatu ilham, dan dari ilham itu terciptalah Garis Wallace—garis hipotesis yang membelah suatu negara berdasarkan fauna, diajarkan di kelas-kelas sains.
Tapi itu seseorang yang bernama Wallace. Kalau seseorang yang ini, yang bernama Mikami Ayumu, ketika baru saja tersadar dari demamnya hanya bisa bertanya linglung: Aku di mana? Sekarang hari apa? Kenapa aku berbaring? Pertanyaan demi pertanyaan timbul berantai hingga mencapai masalah yang paling krusial: Terbaring tanpa selimut, ia tak memakai sehelai benang pun. Tubuh Ayumu meremang.
Err—memang tadi malam aku tidak pakai celana—tapi tidak telanjang juga—KEMANA BAJUKU?
"Oh, sudah sadar?" suatu suara yang sangat familiar terdengar dari belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
TOMO [bxb]
HorrorTomo itu sampah. Tomo cuma toilet bersama. Tomo sudah mampus dua tahun lalu, terpapar merah di sekolah. Bisa bunuh diri, bisa dibunuh, tapi siapa peduli pada ulat di bawah kaki? Mikami Ayumu, kelas dua SMA, mantan atlet harapan. Cedera di bahu s...