.
Sumpah serapah!
Kau itu sampah!
.
.
.
Selesai bertukar nama, Maxwell Tate sang seniman karbitan mengajaknya makan. Lebih ke arah menculik, karena tak ada orang beretika yang mengajak sengotot ini.
Sopan Ayumu menolak, tetapi yang bersangkutan seakan tak mengerti ia ditolak. Agak semena-mena ditariknya si pemuda SMA ke warung udon terdekat.
Kau tahu bahwa di dunia ini, ada satu jenis manusia yang hidup dengan ritmenya sendiri? Yang bisa begitu acuh kala orang berkata. Manusia berkacamata kuda. Yah, Maxwell Tate ini spesimen unggul untuk jenis tersebut. Pria itu duduk dengannya di counter kedai, saling bersisian, Sanuki Udon di atas nampan.
Sebagai bentuk protesnya, Ayumu tadinya tak mau makan. Tapi wangi udon bikin perut keroncongan. Warung ini kecil dan berisi enam kursi, bukan kedai mahal, namun luar biasa besar peletnya!
Uap hangat berbau dashi. Kecap dan kerang menguar di atas mangkok, lemon dipadu daikon. Ayumu mengalah dan memesan makanan yag sama.
Apa bisa disebut pembicaraan jika berlangsung satu arah? Maxwell Tate luar biasa ceriwis; mulutnya adalah machine gun berpeluru kata. Riang celotehnya, tidak patah dengan reaksi Ayumu yang hanya mengangguk, kadang bergumam. Jangankan berbincang, menyela saja sulit.
Dari pembicaraan (monolog) di hadapannya, Ayumu jadi tahu bahwa Maxwell Tate adalah seorang Pemuda Amerika. Mahasiswa seni melarat yang hidup dari uang beasiswa. Apartemen 1LDK dan patut dicurigai saking murahnya. Tempat pertama mereka berjumpa itu, pameran lukisan yang membosankan, adalah gelaran komunitas tetangga-- dengan sebagian besar anggota terdiri dari bapak-ibu, kakek-nenek, orang-orang tua yang melukis untuk menghabiskan waktu.
Keberadaan Maxwell di situ adalah undangan semata, dan ia digelari Tamu Kehormatan, yang terbilang cuma kedok untuk memeras tenaga muda.
"Tetapi sebentar lagi akan ada pameran universitas," ceritanya antusias. "Dan tentu ini akan berbeda. Mahakarya para mahasiswa terbaik, dan berani sumpah, jauh lebih menarik dibanding bunga dan buah!"
Dari dekat Ayumu memperhatikan gerak-geriknya, rupanya, caranya berbicara, hobinya mengerling. Rambut terang itu jelas asli karena sama warna hingga ke akar, di bawah kelopak mata ada iris biru tua. Pada kemeja hawai yang dikenakan ada beberapa noda cat, paduan kardu, lila, dan merah karat . Tangannya kasar khas seniman.
Ada sedikit persamaan dengan Kurokami Shiro, mungkin karena sesama gaijin? Padahal dibilang mirip juga tidak.
"Halo? Haloo? Mikami-san?"
"Ah, ya, ada apa?" Ayumu salah tingkah, terlampau asyik mengamati.
"Apa ketampananku bikin kau terbaui?"
Tidak lagi salah tingkah, Ayumu jijik. Maxwell tidak menyadari hal itu, atau mungkin tidak memedulikannya.
Dua mangkuk kosong tergeletak di meja.
"Oh iya, aku meminta bantuanmu." Dari dalam tasnya Maxwell mengeluarkan buku ketsa. Bentuknya segi empat dengan ring kawat. "Untuk pameran mahasiswa itu, aku punya beberapa konsep. Apa Mikami-san bisa memberikan masukan?"
"Eh? Tapi aku kan orang awam--"
Buku itu disodorkan, atau lebih tepatnya disodokkan ke batang hidung.
"Seenaknya saja!"
Dengan terpaksa, Ayumu membalik halamannya satu-persatu.
Perlahan rasa kesalnya menguap, dan selang beberapa waktu, ditatapnya gambar-gambar tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
TOMO [bxb]
HorrorTomo itu sampah. Tomo cuma toilet bersama. Tomo sudah mampus dua tahun lalu, terpapar merah di sekolah. Bisa bunuh diri, bisa dibunuh, tapi siapa peduli pada ulat di bawah kaki? Mikami Ayumu, kelas dua SMA, mantan atlet harapan. Cedera di bahu s...