BASEBALL

2.2K 307 34
                                    



[BASEBALL]

.

.

Priiiiiiiiit.

Gerbong yang kosong berderak takkala kereta bergerak. Mikami Ayumu, sang Ace No.4, Clean Up Hitter, menopang dagunya dengan tangan di lutut. Seragam baseball berwarna putih laksana armor yang lusuh dan kotor, tongkat kayu bergemeretak di lantai oleh tremor. Rumput dan lumpur mengering di bawah kaki. Wajah tercoreng matahari, kecuali bagian yang tertutup topi.

Ini mimpi. Ayumu tahu itu, senatural ia tahu cara bernapas.

Dunia di balik jendela kereta bergerak dan susah ditangkap. Apa Ayumu punya tujuan? Entah. Kereta berhenti sekali, dua kali. Ayumu melongok jendela, dan menemukan stasiun-stasiun tanpa nama. Tulisan di papan penanda dihapus dengan cat warna pekat.

Ayumu kembali menunggu dan waktu hampir jadi keabadian ketika pemberhentian kereta membawa penumpang baru. Tomo masuk dengan penampilannya yang seperti biasa—lusuh dan tersiksa, bergurat dan luka. Gakuran hitamnya sama kotor dengan seragam putih Ayumu, dan ketika mereka duduk bersisian dengan bahu bersentuhan, ada suatu perasaan senasib yang membuat Ayumu terharu. Penderitaan dan kesepian dibagi dua seperti roti.

"Papan-papan stasiun ini sengaja dicat, " Tomo menjelaskan suatu pertanyaan yang bahkan belum diutarakan, "agar musuh yang menyusup bisa tersesat."

Ah ya. Ayumu teringat sesuatu fakta yang pernah ia baca. Pada jaman PD II di negara Inggris, papan-papan penanda dan nama stasiun sengaja dihilangkan untuk menyesatkan mata-mata musuh. Para penduduk sipil dalam kereta hanya bisa turun berbekal ingatan akan stasiun tujuan, atau mengandalkan bantuan dari orang-orang senasib. Saling membantu, bahu-membahu, tapi bagaimana bila dalam kereta itu hanya ada dua orang yang tak tahu kemana harus menuju?

Kereta masih berjalan. Ayumu samar mengingat bahwa dua stasiun lagi, ia akan mencapai daerah tempat Tomodachi Park berada. Apa ia harus turun di situ? Mungkin Natsuki ada di sana, berdiri berlatarkan kembang api. Atau mungkin—persetan dengan Natsuki. Dia hanya ingin mempunyai tujuan yang pasti. Apa gunanya seorang atlet yang sudah hilang impian tanpa sempat jadi pahlawan? Apa gunanya menjadi laki-laki seperti itu?

"Sebentar lagi mungkin aku akan turun."

Tomo memandangnya dengan wajah yang lebih mirip marmer daripada daging dan kulit.

"Bukankah Koshien masih jauh?"

"Aku akan turun sebentar lagi."

"Mengapa?"

Mengapa? Pertanyaan itu berlipat dan menusuknya. Jawaban mungkin ada Natsuki di sana membuat Ayumu malu. Rasanya seperti mengakui kelemahan hati.

.

.

.

.

Ctak! Kepala Ayumu disambit penggaris guru. Satu kelas tertawa terbahak-bahak.

.

Sejak mengalami mimpi tadi siang, ia tak bisa biarkan dirinya merenung sedikit saja.

Istirahat hari ini dilalui Ayumu dengan keceriaan yang tak padam, seperti menutupi kegelisahan tak terkatakan. Kalimat dari mulutnya keluar sambung-menyambung, celaan dan becandaan bersama teman-teman menyulam bergantian. Ayumu tidak bisa berhenti berbicara—jika berhenti, ia akan berpikir akan mimpi itu, dan berpikir membuat kepalanya pusing.

Pada jam pulang, Ayumu sudah berpisah dengan sekawanan temannya ketika pandangannya tak sengaja terbuang keluar jendela. Ia melihat kuncir kuda Natsuki melambai-lambai di bawah pohon berdaun warna senja. Bersandar di pohon dengan sikap santai adalah pria itu. Wajah yang ia lihat mengambang di hari Sabtu. Pria yang bersama Natsuki di depan toko jam—hati Ayumu dihantam godam.

TOMO [bxb]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang