Tokoh Tanpa Cerita

210 8 6
                                    



Namaku Gaizka dan aku adalah tokoh sebuah novel yang belum selesai.

Jangan tanya dari mana nama itu berasal. Bahkan jika kamu bertanya pada penciptaku —seorang penulis amatir yang kelebihan imajinasi dan kekurangan rasa percaya diri— dia cuma akan mengedikkan bahu. Nama itu muncul begitu saja beberapa saat setelah biografi J.K. Rowling membuatnya terobsesi membuat karya spektakuler. Dia menganggapnya pertanda baik, jadi dia mengembangkan nama itu menjadi seorang tokoh.

Voila! Jadilah aku.

Aku ditakdirkan untuk jadi tokoh utama novel pertamanya yang dipajang di rak buku laris, begitu tekadnya pada awal kemunculanku. Karena itu, aku tidak boleh menjadi tokoh biasa-biasa saja dengan cerita biasa-biasa saja. Aku harus unik dan meninggalkan kesan mendalam pada pembaca. Jadi, cerita apa yang cocok bagi seorang tokoh yang akan melegenda seperti Harry Potter yang tersohor itu? Cinta segitiga? Tidak, tema itu sudah terlalu pasaran. Lalu apa? Intrik politik? Penyakit berbahaya? Makhluk-makhluk mistik? Perang kolosal?

Tidak ada yang tahu. Bahkan ketika aku pelan-pelan tersisih dari siraman lampu sorot panggung pikirannya, aku masih seorang tokoh utama tanpa cerita.

Kadang-kadang, saat bosan meratap, aku merenungkan hal-hal yang kumiliki. Aku punya rumah dua lantai, dengan kamar manis yang akan disukai gadis-gadis pada umumnya. Di luar jendelaku berdiri lingkungan perumahan kelas menengah yang bersih, dengan taman-taman kecil yang tertata rapi. Semuanya sempurna, seperti idaman penulisku. Tapi aku tidak punya cerita, hal paling esensial dalam kehidupan seorang tokoh. Karena aku tidak punya cerita, otomatis aku tidak punya tokoh teman, keluarga, romantic interest...tidak ada sama sekali.

Aku tercipta sendirian. Kesepian. Entah sampai kapan.

Mungkin mempunyai cerita cinta segitiga yang cheesy masih lebih baik daripada hidup seperti ini.

"Dasar penulis amatir bodoh. Selesaikan apa yang sudah kamu mulai!" aku memaki langit yang berwarna-warni, berharap teriakanku bisa menyeruak di lautan pikiran penulisku yang semrawut.

Ting...tong...!

Suara bel itu seperti menjawab teriakanku. Ia terdengar dekat, sangat dekat. Suara pertama yang kudengar sejak tersuruk ke dunia ini, selain teriakan dan makianku sendiri. Otot-ototku tegang, seakan mempersiapkan diri untuk suatu reaksi, tapi aku tidak yakin harus kegirangan, kaget, atau apa.

Ting...tong...!

Terdengar lagi! Aku bersorak. Tenyata dunia ini tidak semonoton yang aku kira. Pasti ada seseorang –atau sesuatu- yang membuat bebunyian itu. Aku tidak sendirian! Rasanya tidak pernah aku sesemangat ini sebelumnya.

Aku melongok ke luar jendela, dan melihatnya bertepatan dengan bunyi bel ketiga. Seorang gadis bergaun lembayung lembut, berambut keemasan menyilaukan, berdiri anggun di teras rumahku. Dia melambaikan tangan padaku, lalu menekan bel di dekat pintu sekali lagi, seakan menjawab pertanyaanku tentang dari mana bunyi bel itu berasal.

Ternyata rumahku punya bel, pikirku takjub ketika aku berlari turun untuk membukakan pintu. Kenapa aku tidak pernah memeriksanya? Coba aku tahu dari dulu, aku bakal menekan bel itu terus-terusan, sekadar untuk mengusir sepi.

Dari dekat, gadis itu tampak seperti baru melompat keluar dari buku dongeng tentang puteri raja di masa lalu. Bulir embun masih berkilau di mahkotanya yang dibuat dari roncean bunga-bunga merah muda. Matanya yang hijau jernih seperti kelereng menatapku dengan keceriaan yang tidak kupahami. Saat kusambut uluran tangannya, kulitnya sehalus porselen Cina.

"Hai tetangga baru. Aku Archel."

Apa dulu kata penulisku yang amatir? Dia ingin AKU menjadi tokoh yang sempurna? Kalau begitu, dia seharusnya tidak menciptakan Archel. Bahkan namanya saja terdengar cantik. Dengan enggan, aku balas menyebut namaku, yang rasanya jadi berjuta-juta kali lebih payah.

"Gaizka?" Suara Archel sejernih genta angin . "Nama yang menarik. Aku harus memanggilmu apa? Gay?" Sebuah tawa kecil lolos dari bibirnya.

"Panggil aku Jazzy," Penulisku yang amatir sudah memikirkannya. Dia tidak akan mengizinkan 'tokoh sempurna'-nya dipanggil 'Gay', tapi dia terlanjur jatuh cinta pada nama Gaizka yang dianggapnya membawa hoki itu. Jadi dia memilihkan nama panggilan 'Jazzy' yang agak keren, walaupun nama  itu tidak berakar dari 'Gaizka'.

"Oke, Jazzy," Archel mengucapkannya seakan-akan dia sedang berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu memanggilku dengan nama itu. "Aku tinggal di sana," katanya sambil menunjuk pada sebidang langit biru yang lebih cerah daripada sekelilingnya. "Datanglah kalau kamu ada waktu,"

Kalau ada waktu, katanya? Kalau benar waktu adalah uang, pasti aku sudah kaya raya. Jadi aku berkata padanya, "Pasti! Apa...err...kamu mau masuk dulu?" Aku tidak tahu apa yang mau kusuguhkan padanya kalau dia menjawab mau, tapi rasanya tidak sopan membiarkan Archel berdiri di terasku terus.

"Oh, lain kali, mungkin. Aku cuma lewat dan aku pikir, aku belum pernah menyapamu," jawab Archel sambil menoleh ke kiri. Aku mengikuti arah pandangnya, namun tidak ada hal menarik yang kulihat di sana. Cuma jalan aspal di depan rumahku, berujung pada pertigaan. Rumah-rumah kelas menengah lain berdiri di kedua cabang jalan itu. Ke mana kedua jalan itu menuju, aku tidak tahu.

"Oke, Jazzy. Sampai ketemu lagi." Archel memelukku hangat, seakan-akan kami sudah saling mengenal seumur hidup. Dia melempar senyum manis sebelum melenggang anggun melewati pagar rumahku.

"Archel!" aku memanggilnya sebelum dia terlalu jauh. Dia menoleh, senyum yang sama masih menghiasi bibirnya.

"Kamu mau pergi ke mana?"

"Jalan-jalan. Mengobrol dengan orang-orang. Selama beberapa hari ini aku cuma ngobrol dengan bunga-bunga di padang. Mendengarkan curhat tumbuh-tumbuhan yang sedang melewati musim ulat bulu bisa membuat depresi. Akan lebih bagus kalau ulat-ulat itu cepat menjadi kupu-kupu," jawab Archel sambil terkekeh.

Aku tertegun sejenak. "Jadi masih ada orang-orang? Bunga-bunga yang bisa bicara?" Terus apa? Kuda sembrani? Naga dan pangeran? Imajinasi si penulis amatir itu ternyata lebih kaya daripada yang kupikir sebelumnya.

Pupil kelereng Archel melebar. " Ya, tentu saja! Astaga, memangnya kamu tidak pernah keluar?"

Aku menggeleng. Keluar kamar saja baru tadi.

Dia meraih tanganku, lalu menunjuk langit yang berwarna-warni. "Pernah bertanya-tanya kenapa langit punya bermacam-macam warna? Itu karena mereka menaungi latar yang berbeda-beda! Cerita yang berbeda, tokoh-tokoh yang berbeda pula. Jadi ya, tentu saja ada orang-orang dan masih banyak lagi! Ikutlah berjalan-jalan denganku, jadi kamu bisa melihat semuanya." Archel menatapku dengan sorot mata memohon. Seakan-akan dia siap melompat di jurang terdekat kalau aku menolak tawaran baik hatinya.

"Mmm," aku ragu-ragu. Sebenarnya jawabanku sudah pasti, tapi susah sekali satu kata sederhana itu keluar dari mulutku. "Oke..."

Archel melonjak kegirangan. "Nah! Kalau begitu, ayo!"

Archel berjalan beberapa langkah di depanku. Aku mengikutinya, semangatku tidak kalah membuncah. Bedanya, semangat Archel membuatnya tampak bersinar, sementara aku kelihatan seperti orang lumpuh yang baru bisa berjalan setelah lima puluh tahun duduk di kursi roda.

Tapi tidak apa-apa. Untuk pertama kalinya aku memiliki secercah harapan dalam hidupku yang statis dan tanpa kisah...

Sebuah Novel yang Belum SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang