Cerita Archel

33 3 0
                                    



"Oke, kita sampai."

Itu kata Biru saat membantuku melewati anak tangga terakhir —yang sebenarnya terlalu terjal untuk menjadi anak tangga. Aku mendesah lega, tapi ketika aku benar-benar bisa menjejak tanah rata dan melihat apa yang ada di hadapanku, aku meragukan kata-kata Biru.

"Sampai di mana?"

Biru menatapku seakan-akan aku orang paling tolol yang pernah dia temui. "Rumah Archel, jelas. Memangnya dari tadi kita mau ke mana?"

Lapangan terbuka di hadapan kami bentuknya hampir setengah lingkaran. Jurang menganga di sepanjang sisinya yang melengkung, sementara sebuah tebing curam membatasi sisi lain yang hampir datar. Lautan hijau ilalang setinggi lutut menyelimuti lapangan itu. Bunga-bunga gomphrena seperti lolipop ungu yang bersembulan dari buluh-buluh ilalang. Aku tidak heran kalau tiba-tiba ada sesosok peri mungil muncul dari baliknya. Sungguh cocok untuk jadi halaman rumah seseorang seperti Archel.

Namun satu-satunya yang bisa disebut rumah di sana sama sekali tidak sesuai dengan bayanganku tentang Archel. Bukan kastil, bukan pondok kayu, bahkan sama sekali bukan bangunan; hanya sebuah gua menganga di dinding tebing. Stalagmit –atau stalaktit, aku tidak yakin—bertonjolan di gerbangnya. Sesuatu berpendar kemerahan dari dalam. Aku bergidik membayangkan Archel –lengkap dengan gaun dan mahkota roncean bunganya— berjongkok di sudut gua, menggesek-gesek batu api di sebelah seekor rusa yang sudah dikuliti.

"Nggak mungkin," aku menggeleng, mengusir bayangan Archel yang memotong-motong rusa dengan kapak batu.

"Yep, mungkin," sahut Biru sambil memutar mata. "Buat apa takut sih, di dalam nggak ada binatang buas yang bakal makan kamu atau apa."

Setelah menempuh perjalanan tadi, susah untuk mempercayai itu.

"Well, I'm not going there..."

Biru mendengus. Dia memasukkan tangan ke saku, lalu berjalan menuju mulut gua itu sambil bersiul-siul.

"Biru, kamu ngapain?" Kakiku gemetar. Rasanya seperti Biru berjalan ke mulut buaya dan aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkannya.

Biru sudah beberapa langkah di dalam gua. Bayangan dinding gua menelannya, dan bulu kudukku berdiri saat membayangkan dalam beberapa detik dia akan menjadi gelap itu sendiri. Namun dia tidak berbagi kekhawatiranku. Dia malah menyeringai. "Sebagai tokoh utama, kamu ini penakut ya? Tokoh utama yang cupu, biasanya bukunya nggak laku."

"What...," aku kehilangan kata-kata. Tidak sopan, kurang ajar, otak udang! Makian–makian tertahan di balik gigiku yang kugertakkan kuat-kuat. Kalau tidak ingat barusan dia sudah menyelamatkanku, aku pasti sudah mengutukinya. Kepribadian ganda, lidah silet, rambut cacing...

Biru berjalan dengan langkah lebar, tidak menghiraukan aku yang menyusulnya dengan nafas memburu. Kulitnya menyala di bawah pendaran cahaya obor yang dipasang di sepanjang lorong. "Kalau aku mau mencelakakan kamu, aku tinggal mengumpankan kamu pada zombie-zombie tadi kan. Tidak perlu repot-repot sampai ke sini," katanya tanpa menoleh padaku saat aku sudah dapat mengimbangi langkahnya. "Percayalah padaku sedikit."

Aku menggumamkan kata maaf. Biru tidak menanggapi.

Biru bersiul-siul dengan nada sebuah lagu lawas yang aku tidak tahu judulnya. Nada ceria siulannya tidak cocok dengan lorong gua yang lebar, berlangit-langit tinggi, dan sedikit menanjak ini. Terdengar suara aliran air menabrak batu-batu —mungkin ada sungai bawah tanah di balik dinding gua ini. Semakin jauh berjalan, tercium wewangian manis yang tidak kukenal. Untuk pertama kalinya kupikir mungkin saja Archel memang tinggal di dalam sana.

Sebuah Novel yang Belum SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang