Stockholm Syndrome

86 2 2
                                    



Halo, aku rasa kita perlu berkenalan sekali lagi.

Namaku Gaizka Adriana, tapi tolong panggil aku Jazzy saja. Usiaku 16 tahun lebih sedikit. Aku masih bersekolah di kelas dua sebuah SMA negeri ternama. I'm a typical schoolgirl; tidak terlalu populer tapi juga tidak kuper, tidak terlalu pintar tapi juga tidak bodoh. Aku bintang biologi dan olahraga, tapi payah dalam seni rupa dan sejarah. Suaraku cukup bagus untuk ikut ekskul paduan suara, tapi aku tidak bisa memainkan alat musik apa-apa.

Fakta lain tentang diriku? Aku benci sambal, tapi aku akan makan apa pun yang diolesi kecap. Aku tidak suka film horror. Aku tidak suka melakukan pekerjaan rumah tangga. Aku terobsesi dengan wewangian, kecuali minyak angin. Sampai usia tujuh tahun, cita-citaku adalah bergabung dengan Power Rangers.

Setidaknya begitulah yang dikatakan orang-orang itu padaku.

Ayahku meninggal empat tahun yang lalu, tapi aku masih punya ibu, kakak laki-laki, dan adik perempuan. Aku punya sahabat. Aku punya guru. Aku punya teman sekolah dan tetangga. Hanya satu masalahnya: aku tidak mengenal mereka. Seperti juga aku tidak mengenal diriku sendiri.

Jadi, dari paparan di atas, apakah kamu kira kamu sudah mengenalku?

Sama. Aku juga belum.

---

Saat aku terbangun pagi itu, kepalaku pening. Setiap jengkal badanku pegal karena posisi tidur yang meringkuk. Sinar matahari yang masih redup menyusup melalui tirai yang tidak sepenuhnya tertutup. Aku tidak pernah menutup tirai kamar sebelumnya. Aku tidak pernah butuh tidur juga. Aneh sekali.

"Gaizka!"

Teriakan dan gedoran di pintu menyadarkanku apa yang telah terjadi.

Namaku Gaizka Adriana dan aku sekarang punya cerita...

Pintu terbuka, menampakkan seorang wanita paruh baya. Tubuh kurusnya dibalut blazer cokelat dan rok span semi formal. Rambutnya yang sudah dihiasi garis-garis perak digelung rapi. Ibuku.

"Kamu mau sekolah nggak sih?" dia bertanya, setengah membentak.

Aku mengubur diri di bawah selimut. "Nggak."

Wanita itu mendesah. Dia mendekat dan menyibakkan selimutku. Aku memejamkan mata kuat-kuat, menolak menatapnya. Dia mendesah lagi. Kata-katanya lebih lembut kali ini, tapi tetap bernada memerintah. "Bangun. Kamu harus sekolah."

Wanita itu menutup pintu. Aku meringkuk, merapatkan hidung pada lutut, berharap semua tiba-tiba menghilang.

---

Aku mengenakan seragam putih-abu yang selama ini kubiarkan menggantung berdebu di lemari. Kutatap bayangan gadis di cermin setelah aku mengenakan semua atributnya. Rambut lurus yang sama. Mata yang sama. Hidung yang sama. Bibir yang sama. Tapi bukan gadis yang sama.

Namaku Gaizka Adriana, dan aku adalah...

Entah kenapa biar aku mengulang-ulang perkenalan diri itu berapa kali pun, aku merasa seperti memperkenalkan orang lain.

Dunia seperti kapal yang oleng dihantam badai. Aku berjalan menyusuri tembok lorong, telingaku berdenging memusingkan.

Seorang menubruk bahuku dari belakang, membuatku jatuh berlutut. "Minggir, Siput," laki-laki yang menabrakku itu berkata dingin. Dia melirikku selewat lalu berjalan tak acuh. Dia bahkan tidak membantuku berdiri. Gennaro. Kakakku.

Tadi pagi, karena aku berendam terlalu lama, Giovane—adikku— menggedor pintu kamar mandi dan memakiku 'kecoak'.

Ya, dulu aku ingin punya keluarga. Tapi tidak ada yang bilang kalau punya keluarga artinya tidak bisa menikmati hidup tenang seperti yang kumiliki sebelumnya.

Sebuah Novel yang Belum SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang