Isyarat dan Rahasia

32 4 4
                                    

Life goes on. Langit masih menampakkan warna yang sama pada latar tertentu, dan berganti-ganti pada latar lainnya. Angin masih bertiup, burung masih berkicau. Orang-orang menghidupi kisahnya masing-masing. Hidup berjalan dengan begitu normalnya.

Normal. Sekarang, rasanya aku bisa memahami apa itu. Normal adalah hal-hal rutin yang kamu jumpai setiap hari, yang kamu lakukan tanpa banyak debat. Normal adalah menjalani apa yang tertulis untukmu dan mengerutkan kening ketika ada yang bertanya, kenapa kamu melakukannya. Jawabannya begitu jelas sampai rasanya melontarkan pertanyaan itu cuma buang-buang tenaga.

Karena memang begitulah seharusnya. Titik.

Dan kini –akhirnya, setelah sekian lama –aku menjalani hidup normalku.

Apakah aku senang? Jelas tidak. Sedih? Tidak juga. Marah? Tidak, aku tidak punya tenaga untuk itu. Rasanya seperti ada lapisan tipis yang membatasi kesadaranku, sehingga segala yang bersentuhan denganku tidak kurasakan sepenuhnya. Separuh hidup, separuh mati rasa.

Satu-satunya waktu di mana aku bisa menjadi diriku sendiri lagi adalah saat aku berada di dalam kamar yang mengalunkan lagu lawas, di samping tempat tidur seorang laki-laki berwajah oriental yang diciptakan sebagai romantic interest-ku. Bagaimana cara dia melakukannya, itu bukan sesuatu yang bisa kujabarkan. Yang jelas, saat-saat berada di sampingnya menjadi satu-satunya yang kutunggu di antara jadwalku yang itu-itu saja.

Jangan salah paham, aku masih memikirkan Biru. Bagaimana mungkin tidak? Dia menempati porsi yang besar dalam hatiku, sekarang pun masih begitu. Sebagian diriku tumbuh, mencari kebahagiaan, dan mengalami kenangan manis bersamanya. Secuil otakku yang paling gila masih menyuruhku berlari padanya, menjelaskan semua permasalahan, dan menyerahkan nasib hubungan kami pada masa depan. Pasti ada cara, begitulah dia tidak pernah lelah berkata. Pasti ada cara untuk tetap membuatnya menjadi bagian hidupmu. Kamu tidak mau kehilangan dia, kan?

Tentu tidak. Tapi buat dia mungkin tidak apa-apa kalau aku tidak ada. Lihat saja, dia tidak pernah mencari aku kan? Tidak pernah menemui aku, kan? Padahal aku ada di sini-sini saja, tidak pernah ke mana-mana.

Mungkin saat ini dia juga memikirkan hal yang sama. Kenapa kamu tidak pernah menemuinya. Mungkin dia pikir tidak apa-apa kalau dia tidak ada di hidupmu juga. Lagipula...sebenarnya siapa sih yang salah di sini? Kamu yang punya rahasia. Kamu yang tidak mau terbuka.

Aku membekap suara itu. Kebenaran yang mengalir darinya terlalu menyakitkan.

Begitu aku berhasil membungkam suara-suara dalam otakku, suara-suara dari dunia nyata langsung menyergapku.

"—bingung gimana aku ngehadapinnya Jazzy. Menurut kamu, penulis kita bakal masangin aku sama Kak Aro nggak ya? Habisnya, kalau dilihat dari perilaku dia, seakan ngasih harapan tapi nggak ngasih harapan. Ribet sih, tapi kamu ngerti kan ya, Jazz, ya? Maksud aku, kamu kan sobat aku dan dia kakak kamu, jadi—"

Entah mana yang membuatku lebih tertekan, suara-suara di dalam atau di luar otakku. Apalagi yang satu ini : rentetan curhat Milan tentang Gennaro. Rasanya menyebalkan mendengar sobatmu menceritakan ulang gerak-gerik kakakmu yang brengsek seakan perilakunya adalah teladan umat manusia. Ini ditambah lagi dengan konsultasi apakah dia punya peluang jadi kakak iparmu atau tidak. Maka ketika aku bisa melihat tujuanku –pintu kayu putih yang membocorkan alunan lagu lawas dari sela-selanya— aku mempercepat langkahku, seakan-akan pintu itu tidak akan tergapai kalau aku tidak cukup cepat.

"Well, Milan, good luck with that. I wish you all the best. Kamu masuk aja dan ngobrol sama Gennaro, oke? See you later."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 19, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sebuah Novel yang Belum SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang