Entah apa memang ada pengaruhnya, tapi setelah Biru datang, kakiku sembuh lebih cepat. Sebenarnya aku sudah boleh pulang sejak beberapa waktu lalu, tapi aku terus menunda. Tidak seperti di dunia nyata, di rumah sakit dunia fiksi ini tidak ada waiting list pasien yang akan dirawat. Tidak perlu pusing memikirkan biaya. Tidak ada yang dirugikan kalau aku tinggal di sini...kecuali mungkin keluargaku, yang menyuruh-nyuruh aku pulang terus. Tapi apa untungnya pulang kalau itu artinya aku bakal serumah lagi dengan Gennaro si biang ribut?
Karena aku ogah pulang terus, keluargaku ganti strategi. Kalau biasanya mereka merecokiku sampai aku muak, sekarang mereka berhenti mengunjungiku sama sekali. Mungkin mereka pikir saat mereka tidak ada, aku akan kangen dan menyadari betapa aku butuh mereka, kemudian aku akan pulang. Mimpi saja deh. Aku justru makin senang, bisa bertemu Biru tanpa khawatir diganggu Gennaro.
Hanya Milan yang masih mengunjungiku, walau frekuensinya semakin jarang. Hari ini pun dia datang, masih dengan seragam sekolahnya. Setelah menyapaku dengan malas-malasan, dia menaruh sandwich dan kopi instan yang dibelinya dari kantin rumah sakit di pangkuanku—seiring dengan makin sembuhnya aku, oleh-oleh yang dibawakannya terasa semakin nggak niat.
"Masih betah di sini, Jazz? Kapan pulang?" dia bertanya saat aku masih sibuk dengan kemasan sandwich-ku.
Aku mendelik. "Kamu dibayar berapa sama keluargaku buat nanyain itu?"
Milan tidak menghiraukanku. "Padahal makanan di sini rasanya kayak kardus."
"Tinggal nggak usah dimakan aja, kok susah amat sih. Toh kita nggak akan mati juga kan kalau nggak makan." Aku menggigit sandwich-ku dalam potongan besar.
Aku harap ini tidak kelihatan dari ekspresiku, tapi rasanya memang kayak kardus.
Milan berjalan mengelilingi kamarku sambil mencela semua yang disentuhnya. Sofanya kurang empuk. Channel TV-nya tidak lengkap. Air panasnya baru keluar setelah menunggu sepuluh menit. Wangi sabun cairnya kayak obat batuk. "Dan ini baju macam apa, nggak fashionable," katanya sambil menjepit lengan piyama hijau yang kupakai, ekspresinya seakan-akan itu adalah puncak dari semua yang tidak beres di dalam ruangan ini.
"Biarin aja, ini kan bukan Paris Fashion Week," sahutku, antara tersinggung dan geli melihat kelakuannya.
Milan menyipitkan mata padaku, tapi tidak menyahut balik. Dia berjalan menuju jendela dan memandang keluar, mungkin sedang mencari ide apa lagi yang bisa dikeluhkan.
Seakan sengaja mengompori Milan, alunan saksofon mulai terdengar dari kamar sebelah. Tak lama kemudian suara Frank Sinatra melengkapi musik itu.
Everybody loves somebody sometimes
Everybody falls in love somehow
Something in your kiss just told me
My sometimes is now..."Mana dindingnya tipis lagi," Milan melanjutkan keluhannya. "Frank Sinatra. Huh. Apa nggak ada yang lebih lawas lagi."
"Kadang-kadang dia memutar lagu yang lebih lawas juga kok."
Milan menyipitkan mata lagi. "Tetangga kamu itu aneh banget! Ini kan rumah sakit, kok dia nyetel lagu bocor ke mana-mana gitu sih? Ganggu ketertiban aja."
"Tapi aku nggak merasa terganggu kok," sahutku, kemudian ikut menyenandungkan nada lagu yang jadi kuhafal karena sering kudengar beberapa hari ini. Tepatnya, sejak kamar di sebelah itu mulai berpenghuni.
Milan kelihatan makin jengkel. "AKU yang terganggu," geramnya sambil menjatuhkan diri ke sofa dengan dramatis.
"Yah, untunglah yang tinggal di sini aku, bukan kamu, kan?" godaku, menikmati ketidaksukaan Milan yang berlebihan pada lagu lawas. Entahlah apa yang Si Amatir mau saat menciptakan Milan; perasaan dia suka sekali lagu lawas, kenapa dia malah menciptakan tokoh yang benci lagu-lagu lawas? Apa dia ingin Milan menderita seumur-umur?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Novel yang Belum Selesai
Teen Fiction"Namaku Gaizka dan aku adalah tokoh sebuah novel yang belum selesai." Semua yang tercipta di dunia ini pasti memiliki tujuan. Lalu apa tujuan hidupmu jika kamu adalah seorang tokoh fiksi yang terperangkap dalam kepala penulis amatir yang terlalu ser...