A New Day Has Come

29 2 1
                                    



Setelah hari itu di taman ria, berinteraksi dengan Biru jadi lebih mudah bagiku. Ya, mulutnya masih tambang sarkasme paling produktif di dunia, tapi sikapnya secara keseluruhan jadi lebih baik.

Lapangan Biru jadi tempat hang out rutinku. Kadang-kadang dia meladeniku bermain basket one-on-one. Kadang-kadang kami duduk mengobrol. Di lain waktu, saat kami kehabisan bahan untuk dibicarakan, dia akan mengeluarkan harmonikanya. Aku mengajukan request lagu kekinian, tapi andalan Biru selalu lagu-lagu Sinatra. Awalnya kecenderungan Biru pada lagu-lagu lawas itu jadi bahan ejekan, tapi sekarang aku sudah belajar untuk menikmatinya saja.

Pada waktu-waktu tertentu, teman-teman Biru datang mengunjungi lapangan itu. Kata Niki, dalam cerita mereka, lapangan itu memang tempat latihan rutin mereka. Asyik sih kalau ada mereka. Aku bisa main three-on-three bersama para cowok, dan mereka tidak pernah mengalah cuma gara-gara aku cewek. Namun saat mereka menunjukkan kemesraan kecil dengan pasangan masing-masing —misalnya saat Ayunda menyeka keringat Tommy, atau saat Cissy ber-high-five dengan Aria sehabis cowok itu melakukan slam dunkaku masih merasa lebih baik memalingkan muka. Lalu tatapan penuh makna mereka saat aku dan Biru berinteraksi...apa-apaan sih? Terutama cewek-cewek itu. Melihat aku berpapasan dengan Biru saja membuat mereka memekik-mekik tertahan. Aneh.

Walaupun aku lebih suka kalau mereka tidak sering-sering ada di lapangan itu, aku penasaran juga kenapa mereka jarang ke sana. Padahal lapangan itu adalah latar mereka yang terhitung penting, ya kan? Cowok-cowok itu anggota tim basket, pasti saat-saat latihan mereka sering diceritakan dong. Tapi Biru mencibir mendengar pertanyaanku.

"Si Amatir itu nggak tahu-tahu amat soal basket. Jadi walaupun dia menulis cerita yang berkutat di sekitar tim basket, kami jarang diceritakan latihan atau bertanding. Dia lebih mementingkan percintaan. Sedikit-sedikit kencan lah, candle light dinner lah...," Biru berdecak.

"Kenapa, kamu nggak suka kencan? Candle light dinner?"

"Ya nggak juga. Hanya saja...aku bukan bagian dari kehidupan cinta mereka. Ceritaku kan berkutat pada cinta segi empat antara Bintang, Niki, Viola, dan Kak Reno. Kalau mereka berempat mau petuah bijak, mereka akan mencari Ayunda dan Tommy. Untuk saran-saran yang agak edan, ada Aria dan Cissy. Aku di antara mereka cuma semacam maniak basket yang tidak peduli sama hal-hal lain. Makanya mereka beredar di berbagai latar sementara rumah sejatiku di sini."

"Beratap langiiit, berlantai aspaaal," sahutku, menirukan gaya Cissy.

Biru tertawa. Dia mengacak-acak rambutku. "Heh! Nggak pantes."

Aku senang melihat Biru tertawa, tapi masih kulihat bayang-bayang kesedihan itu di wajahnya. Benar saja, lengkung bibirnya dengan cepat kembali menjadi garis lurus. Aku menghiburnya lagi. "Well, kita lihat sisi positifnya saja. Mereka bisa aja datang lebih sering ke sini dan pamer kemesraan. Payah kan kalau begitu."

Biru mengernyit. "Ini beneran Gaizka? Nggak tertukar sama Archel?"

Aku menonjok lengan cowok itu. "Kemampuan berpikir positifku makin oke kan? Bukannya itu bagus?"

"Iya. Sayangnya, kamu bergaul denganku. Aku bakal menyeretmu jadi muram lagi."

"Atau...aku bakal menyeretmu jadi ceria juga."

Biru mencibir. "Kayaknya nggak deh. Taruhan, pengaruhku padamu lebih besar. Buktinya, kamu yang terus-terusan datang ke latarku, bukan sebaliknya."

"Bukti macam apa itu!" Nada suaraku lebih sengit daripada yang kuinginkan. Pipiku memanas. Mungkin wajahku memerah juga, tapi untungnya di bawah langit lembayung latar Biru, perubahan itu tidak akan terlalu kentara.

Sebuah Novel yang Belum SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang