Sejak pulang dari perjalanan ke plaza tempo hari, aku banyak melamun. Namun alih-alih memenuhi lamunanku dengan protes dan makian pada Si Amatir seperti sebelumnya, cuma satu kata tanya yang membayang di tiap lamunanku. Kenapa?
Pertanyaan itu tertuju pada Biru.
Kenapa dia bersikap seperti itu? Kenapa dia tiba-tiba dingin dan sinis padaku? Kenapa dia tidak senang mendengar bahwa aku adalah tokoh utama? Kenapa? Kenapa?
Kucoba memikirkan hal lain. Archel. Carnac dan sulap-sulapnya. Pasangan-pasangan yang berdansa dengan iringan musik magis. Lalu pasangan itu...dua pedansa paling payah yang pernah kutemui, bergerak dengan aman ke kiri dan kanan, mengikuti musik pribadi gelembung kecil dunia mereka sendiri. Gadis pedansa itu menyandarkan kepala pada dada pasangannya dan tatapan kami bertemu.
Apakah kamu mau memiliki seseorang untuk bersandar seperti ini?
Aku membekap wajahku dengan bantal. Seharusnya bukan itu yang kupikirkan.
Kucoba memusatkan pikiran pada apa yang ada dalam benak Si Amatir. Dulu hal ini sangat mudah dilakukan, pikiran-pikiran si Amatir seperti ilham yang keluar-masuk otakku tanpa permisi. Tapi sekarang, saat pikiranku sendiri sedang berantakan, perlu lebih konsentrasi untuk melakukannya. Ketika aku berhasil, gelombang kekalutan langsung menghantamku. Nilai fisika Si Amatir jelek lagi. Cowok yang dikecengnya –yang rupanya jenis cowok achievement-oriented— sedang menempeli cewek yang mendapat nilai paling tinggi di kelas. Si Amatir menyumpahi dirinya sendiri karena tidak bisa menjadi lebih pintar. Bukan pengalih perhatian yang menyenangkan, memang, tapi rasanya lebih enak begini. Merasakan penderitaan orang lain lebih baik daripada merasakan penderitaanku sendiri.
Namun begitu aku melihat keluar jendela, perhatianku langsung tersita oleh langit merah lembayung di kejauhan itu. Aneh sekali betapa mudah warna itu tertangkap mataku sekarang. Aku tidak pernah terlalu memperhatikannya sebelumnya. Langit itu berwarna-warni –biru muda di sini, kuning cerah di sana, putih abu di tempat lain— terus kenapa? Tapi perjalananku kemarin memberitahuku bahwa langit itu berwarna-warni karena suatu alasan. Mereka menaungi latar cerita yang berbeda, tokoh-tokoh yang berbeda...
Merah lembayung itu menaungi Biru.
Aku menertawakan kalimat itu. Bukankah itu kedengarannya agak aneh? Aku ingat ekspresi Biru ketika aku bertanya kenapa namanya Biru padahal bajunya merah. Dia tidak tampak marah, hanya bosan, dan caranya memutar mata membuatku ingin tersenyum. Sekarang baru terasa lucu. Dulu aku setengah mati takut membuatnya tersinggung. Yah, dia oke saja mendengar pertanyaan itu, tapi toh akhirnya dia tersinggung juga karena alasan lain...
Ah...Biru lagi. Seakan-akan aku belum cukup memikirkannya akhir-akhir ini. Perubahan ekspresinya, kata-katanya yang sinis, senyumannya yang kaku, semuanya diputar ulang dalam otakku seperti video rusak yang cuma bisa menampilkan satu adegan. Kalau dipikir-pikir, kenapa sih aku harus memikirkan dia? Pertemuan kami kemarin bahkan belum pantas disebut perkenalan. Aku tidak perlu bertemu dia kalau memang tidak mau. Aku bisa buang muka kalau kebetulan kami berpapasan. Tapi...kenapa perasaannya jadi begitu penting buatku?
Mungkin—hanya mungkin—aku tertarik padanya. Bukan tertarik secara romantis karena wajahnya ganteng atau apa (walau dia lumayan juga). Ada sesuatu di matanya yang cokelat dan tajam itu, selain kebencian padaku setelah aku memperkenalkan diri sebagai tokoh utama. Keperihan? Rasa sakit? Aku tidak tahu. Tetapi yang jelas pancaran matanya tidak sama dengan Archel, atau Carnac dan orang-orang lain yang sepertinya tidak memiliki beban hidup. Biru menderita karena sesuatu, dan entah kenapa fakta ini membuatku lega.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Novel yang Belum Selesai
Teen Fiction"Namaku Gaizka dan aku adalah tokoh sebuah novel yang belum selesai." Semua yang tercipta di dunia ini pasti memiliki tujuan. Lalu apa tujuan hidupmu jika kamu adalah seorang tokoh fiksi yang terperangkap dalam kepala penulis amatir yang terlalu ser...