The Boy Next Door

15 2 0
                                    

Aku tidak tahu apa yang mau kulakukan ketika sampai di kamar laki-laki itu. Sempat terlintas beberapa kemungkinan: meneriakinya, membanting pemutar kasetnya, menendang tempat tidurnya...pokoknya hal-hal yang menunjukkan padanya bahwa aku tidak menerima kehadirannya. Jodoh atau bukan, aku tidak peduli.

Namun ketika sampai, aku hanya membisu. Dia menatap ambang pintu dengan penuh rindu, seperti telah menanti kemunculanku. Senyum hangatnya menyambutku, mengosongkan benakku, menampar titik lemah di hatiku. Tubuhku bergetar bukan karena marah, bukan sedih, bahkan bukan cinta...hanya sebuah perasaan tak terdefinisikan yang meremas jantungku, seakan memaksanya tetap berdegup.

"Kamu datang," suaranya sejuk mendesir di telingaku. Matanya bergerak ke kursi besi yang ada di dekat tempat tidurnya. Sebuah undangan untuk masuk dan duduk, terdengar jelas walaupun tidak dia katakan keras-keras. Namun kakiku berat, hatiku berat, lidahku berat...aku heran kenapa bumi belum menelanku hidup-hidup.

Laki-laki itu masih saja menatapku dengan lembut hingga bulu kudukku meremang. Dalam sekejap saja aku sadar, membenci laki-laki ini adalah sesuatu yang menyalahi kodrat.

"Apakah kamu akan masuk?" dia bertanya.

Kakiku yang lemah menyahut dengan menggerakkan diri mengikuti arah pandangan laki-laki itu. Otakku yang peragu terlalu bingung untuk mengendalikan anggota tubuh lainnya. Sementara aku pastilah terlihat sangat idiot, sebuah senyum terkembang di bibir laki-laki itu, ekspresinya menggambarkan kebahagiaan yang amat sangat.

Kami berpandangan. Entah untuk berapa lama. Jarum jam berdetak tanpa arti karena waktu tengah berhenti. Lagu lawas yang mengalun dari pemutar kaset di samping ranjang laki-laki itu kini menjadi irama yang melingkupi kami dengan kehangatan. Semuanya begitu alami, seakan memang beginilah seharusnya. Lalu aku ingat, mungkin memang beginilah seharusnya.

Sebelum aku jatuh lebih dalam lagi ke dalam mantra bisu ini, aku memejamkan mata. Suaraku tak lebih dari sebuah desisan lirih, "Siapa kamu?"

Dia seperti telah menduga pertanyaan itu. Sama sekali tidak terdengar kekagetan dalam suaranya ketika dia menjawabku, hanya kesabaran yang tanpa akhir. "Aku Rain," dia menjawab dengan tenang.

Rain. Rain. Rain. Nama itu jatuh menderas, seperti maknanya. Menenggelamkan suara-suara lainnya. Menenggelamkan aku juga.

"Bukan itu maksudku," aku memejamkan mata makin kuat, tapi indraku yang lain seakan berkonspirasi membocorkan citra laki-laki ini ke dalam benakku. Hidungku menghirup aromanya, telingaku memutar ulang suaranya, kulitku meremang karena keberadaannya, seakan udara kosong telah menjadi perantaranya untuk menyentuhku. "Siapa kamu buatku? Tiba-tiba ada di sini, menatapku seperti itu..." memanggil namaku, mengalirkan denyut-denyut aneh di sekujur tubuhku, mengguncang kestabilan duniaku...

Suara tawa. Gelak patah-patah dengan alunan nada yang meninggi. Laki-laki itu menertawakan pertanyaanku. Tapi aku tidak merasa terhina atau malu. Seakan-akan aku sudah bisa memperkirakan reaksinya atas sebuah pertanyaan yang jawabannya sama-sama kami tahu.

Dia menenggakkan kepalanya, matanya berkilau-kilau di bawah cahaya lembut lampu kamarnya.

" Jazzy, itu...kamu yang lebih tahu."

---

Aku pulang dengan gontai. Tenagaku kutinggal di sisi ranjang laki-laki itu. Yang kubawa pulang hanya setengah nyawa yang bahkan kesulitan membuatku tetap berdiri.

Dia tidak seperti keluargaku, yang menjejalkan banyak informasi baru ke otakku. Dia tidak ngotot bahwa dia mengenalku lebih daripada aku sendiri. Dia tidak bertindak seperti aku adalah pasien amnesia yang harus dibangkitkan ingatannya. Dia hanya bilang, aku yang lebih tahu. Masalahnya aku tidak tahu, atau mungkin tidak ingin tahu....

Sebuah Novel yang Belum SelesaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang