Rasanya seperti baru sekarang mataku terbuka.
Tempat itu dinaungi langit biru muda cerah. Awan bergumpal-gumpal seperti segerombolan biri-biri aromanis. Toko-toko beretalase kaca berderet di sepanjang jalan yang dialasi mosaik batu abu dan zamrud. Berbagai jenis orang, mulai dari muda-mudi berpakaian mode Eropa abad ke-17 sampai cowok-cewek bergaya pemeran sinetron remaja, lalu lalang di sana. Sesekali mereka berhenti untuk mengobrol atau mengamati pajangan di etalase. Suara akordeon memenuhi udara dengan nada-nada manis dari ruang terbuka sebuah café.
Bodoh sekali aku dulu bisa berpikir bahwa aku cuma sendirian.
"Banyak orang di sini ya?" Aku langsung merasa idiot ketika mendengar diriku sendiri mengatakan itu.
Archel tergelak. "Tentu saja. Si Amatir memulai lebih banyak daripada yang bisa dia selesaikan." Dia berbalik menghadapku, dan menambahkan penjelasan, "di sini kami biasa memanggil penulis kita sebagai Si Amatir."
"Cocok," komentarku spontan.
"Kamu nggak akan percaya dulu dia kami panggil dengan nama apa. Sang Brilian." Archel mengucapkan nama itu dengan khidmat, namun sedetik kemudian tawanya meledak. "Tentu saja itu sudah lama sekali. Tokoh-tokoh di sini menjadi lebih sarkastis seiring berjalannya waktu. Itu yang terjadi kalau kamu terlalu lama didiamkan, sampai kamu bisa merasakan kakimu ditumbuhi lumut. Tapi sudahlah, kita tidak mau diam di sini dan menggunjingkan dia sepanjang hari kan?"
Tentu tidak. Aku sudah terlalu lama menghabiskan waktu di kamar itu, memikirkan Si Amatir –betapa menyenangkannya melekatkan nama itu padanya!— dan mengira-ngira kapan dia mau mengangkatku jadi sorotan utama pikirannya lagi. Buat apa sibuk memikirkan orang yang tidak mengingatmu sama sekali, ya kan? Lagi pula wilayah baru di depanku terlalu menggoda untuk dijelajahi, dan Archel sudah maju beberapa langkah...
Archel sepertinya semacam selebriti di sini. Orang-orang menyapanya, dan Archel balas menyapa mereka dengan nama. "Hai, Remi! Halo, Liese!" suaranya mengalun dengan nada yang menanjak di akhir; tangan kirinya sibuk melambai. Tidak lupa dia menyeretku menuju mereka, memperkenalkanku sebagai "Gaizka, anak baru." Bibir mereka tersenyum sopan, tapi alis mereka terangkat dan namaku mereka ulang dengan intonasi tanya. Beberapa yang lebih berani bertanya apakah mereka bisa memanggilku 'Gay'.
"Panggil aku Jazzy, please," kataku untuk yang kira-kira kelima puluh kali. Senyumku mulai berkedut di sudut bibir.
Setelah bersalaman dengan entah-berapa orang yang tidak lagi kuingat namanya, kami tiba di ujung jalan, yang berakhir pada sebuah plaza. Lantai batu sekarang menjadi keramik merah marun, disusun dalam pola yang rumit. Panas matahari lebih menyengat dibandingkan tadi. Sebuah kolam air mancur besar berdiri di tengah-tengah plaza, dihiasi patung Poseidon dan para Nereid, bidadari laut. Air memancar membentuk tirai sejuk di sekeliling patung-patung itu, seakan-akan mengejek orang-orang yang melintasi plaza sambil meneduhi kepala.
Tidak jauh dari air mancur, orang-orang berkerumun. Entah kenapa mereka mau berkumpul di bawah panas terik begini, seperti sengaja mendidihkan otak. Tapi orang-orang itu tidak beranjak. Perhatian mereka tertuju pada pusat kerumunan. Hening sejenak, lalu terdengar gemuruh tepuk tangan.
"Oh!" Archel berseru. Dia menarikku menuju ke kerumunan itu. Aku bergidik membayangkan Archel mengenalkanku pada orang-orang di sana –kira-kira 50 orang tambahan yang harus kusalami, 45 di antaranya akan langsung kulupakan namanya, dan mungkin sekitar 30 akan bertanya apakah mereka boleh memanggilku 'Gay'. Namun Archel tidak mendengar rengekan protesku. "Tenang, Gaizka, kamu akan suka ini," katanya sambil setengah menyeretku, tapi aku malah jadi makin tidak yakin.
Archel berjinjit-jinjit di tepi kerumunan. Orang-orang di sekitar kami tiba-tiba riuh bertepuk tangan. Archel pun makin heboh melompat-lompat, belum juga berhasil melihat apa pun yang ada di tengah. Aku mendesah, lalu kutepuk salah satu cowok jangkung di depan kami dengan tanganku yang tidak sedang diremas Archel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Novel yang Belum Selesai
Novela Juvenil"Namaku Gaizka dan aku adalah tokoh sebuah novel yang belum selesai." Semua yang tercipta di dunia ini pasti memiliki tujuan. Lalu apa tujuan hidupmu jika kamu adalah seorang tokoh fiksi yang terperangkap dalam kepala penulis amatir yang terlalu ser...