Suasana muram Ground Zero masih terbawa saat aku dan Archel kembali ke gua. Archel mengeluarkan beberapa botol persediaan Madu Bunga Bicara-nya—ternyata itulah isi teko yang kuminum sebelumnya. Minuman itu membuat kepala jadi ringan, perasaan lebih bahagia, dan nafas lebih wangi, seperti Alexei dalam ceritanya. Aku dan Biru pulang dengan sebotol kecil Madu Bunga Bicara sebagai oleh-oleh, bercanda dan bernyanyi-nyanyi sepanjang perjalanan. Aku meledek selera lagu Biru yang terlalu lawas. Biru balas meledekku karena toh aku ikut bernyanyi bersamanya.
"Aku cuma mengikuti selera Si Amatir! Ini yang sering dia dengarkan, ini juga yang akrab denganku. Dia yang lawas!" teriak Biru membela diri.
"Si Amatir lawas! Si Amatir lawas!" Aku ikut berteriak-teriak.
Biru tertawa-tawa, ikut meneriaki Si Amatir. Lalu dia menggamit tanganku dan kami menyanyikan New York, New York dari Frank Sinatra seolah sedang tampil di panggung Broadway sampai ladang gandum berganti jadi pemukiman. Kami pura-pura bersikap normal, tapi saat kami bertemu pandang, kami tidak bisa menahan tawa. Kegilaan yang baru kami lakukan adalah rahasia kecil yang mengaitkan kami, sesuatu yang kami bagi.
Sekarang, berhari-hari (atau berminggu-minggu? Susah menghitung waktu pada latar yang selalu pagi) kemudian, saat aku menghadapi Biru di teras rumahku tanpa berada di bawah pengaruh Madu Bunga Bicara, rahasia kecil itu terasa sangat memalukan. Aku menoleh ke kiri dan kanan, takut ada tetangga yang mengenali kami sebagai dua orang aneh yang menyanyikan Sinatra pada hari itu, di jalan ladang gandum. Konyol sebenarnya, sebab aku tidak punya tetangga.
Penampilan Biru saat itu tidak biasa. Dia mengenakan kemeja biru lengan pendek bermotif nanas-nanas kecil konyol dan menyisir rambutnya belah pinggir. Mungkin dia minum Madu Bunga Bicara saat memilih baju hari ini. Namun dia pasti tidak cukup banyak meminumnya, karena lidahnya tidak selentur biasanya. Dia malah tampak agak salah tingkah.
"Er...halo?" akhirnya aku menyapa lebih dulu. "Well, surprise, kamu memakai baju yang matching dengan namamu sekarang."
Sapaan itu membangkitkan bakat sinisnya yang melegenda, "Hei, kamu tidak jelek juga."
Aku melirik penampilanku sendiri, yang tidak pernah benar-benar aku perhatikan sepulangnya dari rumah Archel. Kaos buluk bermotif semangka super besar, celana rombeng, dan rambut dikuncir seenaknya. Bukan penampilanku yang terbaik, kuakui, tapi aku memang tidak mengantisipasi akan ada tamu dalam waktu dekat.
"Yeah, right. Mau apa kamu ke sini, Biru?"
"Aku nggak disuruh masuk dulu nih? Ramah banget deh, Tokoh Utama."
Aku tetap bersedekap di ambang pintu.
"Oke, oke. Lagipula aku memang nggak mau masuk. Aku mau pergi ke taman ria. Kamu mau ikut?
Lelucon macam apa ini? Biru datang ke rumahku. Mengenakan kemeja biru motif nanas yang konyol. Menyisir rambut belah pinggir. Mengajakku pergi ke taman ria. Tidak ada yang masuk akal.
"Taman ria?" kata itu terasa sangat tidak wajar di lidahku.
Biru memutar mata, seperti menyabarkan diri karena harus berhadapan dengan orang teridiot abad ini. "Kamu tahu taman ria kan? Taman ria adalah semacam tempat berisi berbagai wahana permainan yang—"
Aku mengangkat tangan, memotong penjelasan yang tidak perlu itu. "Ya, ya. Tapi...kenapa?"
Biru mengedikkan bahu. "Karena aku ingin mengajakmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sebuah Novel yang Belum Selesai
Teen Fiction"Namaku Gaizka dan aku adalah tokoh sebuah novel yang belum selesai." Semua yang tercipta di dunia ini pasti memiliki tujuan. Lalu apa tujuan hidupmu jika kamu adalah seorang tokoh fiksi yang terperangkap dalam kepala penulis amatir yang terlalu ser...