4. Study Tour

38 4 1
                                    

Tak terasa hari-hari berlalu begitu cepat. Mungkin karena aku mempunyai dua orang sahabat yang peduli padaku, mereka adalah Riko dan Tika.

Mempunyai sahabat cowok memang angan-anganku dari kecil, karena cowok itu bisa melindungi lagi pula sudut pandang terhadap masalah antara cowok dan cewek berbeda, setidaknya cowok ahli dalam memainkan logika tidak seperti cewek yang terlalu berlarut-larut dalam hati dan perasaan.

Besok pagi adalah jadwal keberangkatan study tour sekolahku. Barang-barang yang ku butuhkan sudah tersusun rapih di koperku. Aku juga menyiapkan tas tangan untuk menaruh barang-barang penting seperti power bank, ponsel, charger, obat, minyak angin, ikat rambut, dan tentunya uang.

TING!!!

Notif pesan terlihat di layar ponselku, siapa yang tengah malam begini mengirimi pesan? Oh ternyata Rico,

Rico : Via kopernya di chek lagi ya, jangan lupa bawa tas kecil, jangan lupa bawa obat. Perhatiin ada ketinggalan gak?! Oh iya bawa alat mandi dan gak usah bawa baju berlebihan. ;-)

Aduh dia ini, mengapa cerewet sekali sih. Lagi pula aku termasuk orang yang lumayan teliti kok walaupun sikap pelupaku tidak bisa hilang. Akhirya aku hanya membalas singkat.

Me. : Iya Ric udah kok. Bye mau bobok, udah ngantuk.
Rico : bye, nice a dream ya Vi.

Aku hanya membacanya sekilas tanpa ada niat untuk membalas. Dan aku terlelap dalam mimpi.

Alarm berdering nyaring, ku kucek kelopak mataku untuk memperjelas penglihatanku. Ku ambil jam beker berbentuk gitar itu lalu ku matikan, oh ternyata masih jam tiga subuh. Aku kembali berbaring, baru saja aku memejamkan mataku. Tiba-tiba aku teringat sesuatu, ya ampun pagi ini kan study tour.

Dengan cepat aku mandi dan berdandan serapih mungkin. Aku geret koperku dan ternyata cukup berat juga, aku menyelempangkan tas tangan ke pundakku. Aku berjalan keluar gerbang hanya berdua dengan Vina kakak kelasku. Yah anak asrama putri memutuskan untuk berangkat dari rumah masing-masing termasuk Tika, alasannya sih simpel katanya ingin meminta restu dari orang tua dan sanak saudaranya. Ck, dasar sudah seperti nikahan saja. Jadilah hanya kami berdua di depan gerbang ini, jarak dari asrama putri ke asrama putra lumayan jauh.

Masa iya sih mau jalan kaki? Encok-encok dah, karena om satpam asrama putri peka melihat muka kusutku dan kak Vina, kami di antar sampai asrama putra.

Sebelum berangkat aku dan yang lainnya berdoa dulu. Jam keberangkatan di tunda selama dua jam lebih, karena ada salah satu cowok yang telat. Dasar, jam karet kemaren kata penanggung jawab study tour kalo ada yang telat bakalan di tinggal, eh mana nyatanya? Sia-sia deh bangun subuh.
"Vi! Bengong mulu, kesambet setan tau rasa" seseorang menepuk pundakku lalu mengacak rambutku gemas.
"Ish, apasih Rico? Jahil banget" aku mengalihkan pandanganku ke arah jendela bus. Yah aku duduknya tetanggaan sama Rico, karena setiap tempat duduk tidak boleh cowok-cewek, jadi aku dengan Tika, sedangkan Rico dengan Theo.

Tika duduk di samping jendela bus, sewaktu aku meminta ingin duduk di situ Tika melarang dengan alasan tak masuk akal.
"Tik aku duduk situ sih?" Aku menunjukkan muka kasihanku.
"Gak, gak boleh. Udah sih Vi duduk situ aja" Tika menjawab degan judes.
"Tapi dari sini gak bisa ngelihat pemandangan luar tau, emang kenapa sih?" Aku sudah sangat sebal. Masa duduk di dekat jendela saja tidak boleh, kan hanya sebentar.

"Kata-" barusan saja Tika mau ngejawab Rico dengan seenaknya motong pembicaraan.
"Via lo itu duduk di sini aja, lebih aman di sebelah gue" Rico tersenyum miring, lagi pula kalo aku tidak di sebelah dia kenapa? Bakal ada rampok? Pembunuh? Atau? Ah entahlah.
"Lagi pula Tika sama lo itu sama-sama gampang sakit. Kalo lo ada di samping gua kan gampang mantaunya" ia berkata dengan sangat lembut, dasar sok perhatian. Baru saja aku membuka mulut hendak protes, tapi dia menyela.
"Udah gak usah batu jadi cewek" lalu ia berdiri dan mengacak pelan rambutku.

Aku hanya bisa cemberut, mungkin karena ekspresiku konyol ia tertawa.
"Ngapain lo Co, ketawa-tawa kaya pengidap skizrofenia" kata Tika heran.
"Biasa Tik virus ABG" kata Theo sambil tersenyum mengejek.
Aku yang tidak mengerti hanya melihat Rico, sepertinya ia pun sama sepertiku tidak mengerti arah pembicaraan ini karena ekspresinya benar-benar datar.
Aku yang tak mau ambil pusing pun membaca novelku dari ponsel. Tak terasa aku sudah terlelap dalam mimpiku, ketika aku hendak terbangun aku menyadari seseorang berdiri di sebelahku.

Ku urungkan niat untuk membuka mata, aku hanya mengintip dari celah-celah bulu mataku yang lebat. Oh ternyata sudah malam, ku lihat orang berdiri di sampingku itu memakai jaket, aku tak tahu itu siapa karena keadaan bus yang cukup gelap dan sangat hening? Apa yang lainnya sudah tidur. Samar-samar ku lihat lihat ia melepaskan jaket yang membungkus tubuhnya lalu beralih menatapku, reflek aku memejamkan mataku menunggu apa yang selanjutnya di lakukan orang itu.

Aku merasakan kulitku seperti tersentuh benda, lembut dan hangat. Apa ini jaket tadi? Ku dengar ia memanggil namaku dengan sangat lembut dan pelan.
"Vi? Via? Oh lo udah tidur ya" aku hanya diam saja tak menjawab panggilannya dan pura-pura terlelap. Tapi mengapa suaranya mirip Rico? Ah suara Rico tak selembut ini kok. Tangannya ku rasakan mengelus pelan rambutku menimbulkan rasa nyaman yang membuatku benar-benar lelap tertidur.

"Bandel ya lo, udah tau dingin bukannya pake jaket. Kalo sakit ntar nyusahin gua tau, jangan sakit ya. Kalo lo mau sakit pindahin aja ke gua, biar gua aja yang ngerasain sakit. Nice a dream Vi" hanya itu yang ku dengar sebelum aku benar-benar terlelap.

Kadang perasaan terlalu ambigu untuk membedakan mana rasa nyaman karena sekedar sahabat yang di sayangi dan rasa nyaman karena pilihan hati yang di sayangi. Hanya perlu peka untuk mengetahuinya.

secretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang