13. Silent and Relationship

9 3 1
                                    

Beberapa hari ini aku menghindar dari Rico, aku tidak nyaman dengan adanya gosip aneh itu.

Rico : Vi?
Rico : Via!
Rico : lo lagi apa?

Semua pesan dari Rico tak ku hiraukan. Saat di sekolah pun jika ia menyapaku, aku hanya menampilkan senyum ramahku.
Semua berlalu begitu cepat. Rico yang terus-menerus merecokiku melalui pesan-pesan tak pentingnya dan aku yang terus-menerus mengabaikannya dan bersikap dingin padanya.

Aku tak tahu mengapa aku melakukan ini tapi yang pasti sekarang yang hatiku rasakan adalah takut.

Kelasku dan Rico memang bersebelahan, tapi hal itu tak menutup kemungkinan jika aku selalu menghindarinya. Aku lewat jalan di mana tidak ada Rico. Aku juga tidak ikut bergabung dengan perbincangan teman-temanku jika di sana ada Rico. Ketika mau ke kantin aku memilih memutar jalan yang lebih jauh dari pada berpapasan dengan Rico.

Dan Rico?
Tentu saja ia masih terus mengirimiku pesan-pesan tak pentingnya. Sekedar menyapa dan menanyakan apa yang ku lakukan atau sudah makan atau belum, dan semua pesannya hanya ku baca sekilas lalu ku hapus tanpa berniat membalasnya. Di sekolah juga ia masih tersenyum tipis padaku juga sesekali menyapaku dan aku?

Tentu saja tetap tidak menghiraukannya, menganggapnya temanku biasa bukan sahabatku. Karena aku tak pernah berteman akrab dengan cowok, karena Rico satu-satunya sahabat cowok yang ku miliki. Hal itu yang membuatku dingin dan acuh padanya sekarang, karena aku tak ingin kehilangannya.

"Vi, kamu sama Rico marahan?" Tanya Tika padaku.
"Gak kok, lah kenapa memang Tik." Aku menjawab pertanyaan Tika dengan jujur. Jujur karena aku dan Rico memang tidak marahan.
"Tapi kamu kayak diemin Rico gitu. Kalo ada masalah selesaian aja Vi," Tika menasihatiku sedangkan aku hanya tersenyum padanya. Seandainya, seandainya Tik, bila semudah itu persoalannya.

Rico : hay Vi! Lagi apa?
Me : hay juga, lagi makan.
Rico : Tumben di bales Vi,

JLEBB!,

Ngena banget waktu Rico jawab pesanku yang nyoba ramah lagi ke dia. Aku lupa satu hal tentang Rico, dia itu pendiam tetapi jika sudah berbicara ngena banget di hati.

Sudah enam bulan aku dan Rico dan tak bertegur sapa. Ia juga tak lagi mengirimiku pesan-pesan tak pentingnya. Tentu saja hal itu sangat ku rindukan, tanpa sadar aku sering menanyakan kabarnya lewat teman asramaku, Gita. Yang saat ini beralih profesi dari teman menjadi sahabat Rico, meskipun aku melihatnya tak seperti sahabat sih.

"Vi, Rico online tau! Aku lagi chatting sama dia!" Tika berteriak padaku.
"Terus?" Aku membalasnya dengan dengan wajah datar.
"Iih, masa tadi kan aku tanya Rico gini." Tika berceloteh padaku. Aku pura-pura memasang wajah tak tertarik pada ceritanya.

Tapi telingaku ku pasang tajam untuk mendengarkan celotehannya tentang sahabatku Rico.
"Rik kamu udah gak suka Via lagi? Dia jawab apa coba Vi? Masa dia jawab gini coba. Ngapain mikirin cewek lain kalo kita sendiri udah punya cewek. Ya ampun Vi sakit hati aku mah" Tika memegang dada kirinya tempat jantungnya berada lalu dengan dramatis ia memukul-mukul nya. Dasar Tika memangnya tidak kasihan apa dengan jantungnya.

Sudah sepuluh bulan aku dan Rico diam.
Sepulang sekolah aku berjalan sendirian di bawah teriknya matahari siang. Suara Gita yang memanggilku tak ku hiraukan, tapi suaranya makin ia kecangkankan. Spontan aku menoleh ke arahnya lalu berhenti menunggu ia berjalan dan sampai di sampingku.

"Vi, Rico back street tau," Gita memberitahuku dengan bisik-bisik. Aku tetap mempertahankan ekspresi datarku.
"Iya tah?" Aku bertanya dengan nada tak tertarik. Please Git, jangan ngasih tau aku.
"Iya, dia back street sama Dewi tau. Tadi di kelas mereka duduk berdua mulu masa Vi." Gita berbicara dengan semangat.
"Ooh, ya bagus dong. Akhirnya punya pacar juga." Aku tersenyum tenang ke Gita.

Tapi Gita malah membalas senyumanku dengan tatapan menyelidik.
"Gak cemburu Vi?" Kata Gita
"Haha.. ya gak lah. Ngapain cemburu," aku tertawa lalu Gita juga ikut tertawa.
"Iya juga ya, lagian lo juga bukan siapa-siapa Rico. Kalo sahabat? Kalian aja cuek-cuek gini."

Gita tertawa lepas tanpa menyadari aku telah meneteskan air mataku sambil tertawa miris. Ĺihat sekarang siapa yang mendiamkan dan bersikap acuh duluan? Dan siapa orang pertama yang menyesal? Jawabannya hanya satu yaitu AKU.

Aku yang berfikir bahwa dengan mendiamkan Rico, bisa merubah perasaan Rico yang lebih dari seorang sahabat padaku. Dan sekarang aku berhasil, seharusnya aku bahagia dan bersyukur hal itu terjadi. Tapi bukan ini yang ku harapkan, sebuah keadaan di mana aku dan Rico berada di waktu dan ruang yang sama tapi terasa sangat jauh, saling diam dan acuh.

Bersikap layaknya orang asing yang tak pernah mengenal.
Padahal rasa hangat genggaman tangan Rico sepuluh bulan yang lalu masih terasa jelas di tanganku, seperti meninggalkan bekas.

Seseorang akan merasa membutuhkan setelah ia kehilangan.

Aku mengalaminya, dan sekarang aku ingin menyapa Rico dan berbalik ramah padanya tapi ego ku mengalahkan ke inginanku. Aku hanya bisa memilih terdiam dan tersenyum tulus di temani kenangan-kenangan bersama Rico.
Nyatanya itu hanya gosip, Rico tak pernah suka padaku. Ia hanya menganggapku adiknya karena umurku yang setahun lebih muda darinya.

Nyatanya aku yang menaruh hati pada Rico. Bukan Rico!
Dan kenyataan itu, membuatku harus menerimanya walau menyakitkan.

Seandainya aku tak mudah terpengaruh oleh gosip, pasti persahabatanku dengan Rico akan baik-baik saja.
Mungkin saat itu Rico hampir menyukaiku sepenuh hatinya.

But, remember! Almost is never enough. Right?

secretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang