8. Sunset

15 3 1
                                    

Rico melambaikan tangannya padaku lalu tersenyum simpul. Aku membalas lambaian tangannya, lalu menepuk-nepuk tempat di sampingku. Ia berlari membawa dua botol air mineral dan satu cup jus alpukat.

"Hey!" Sapanya, dalam sekejap ia sudah duduk di sampingku.
"Itu untuk siapa jus nya?" Aku menatap Rico dengan raut bingung, perasaan tadi aku gak titip jus geh.

"Nih airnya, untuk bule itu" Rico menyerahkan sebotol air mineral lalu menunjuk seorang bule yang sudah paruh baya.
"Ya kali, ngegebet bule kok emak-emak."

Aku menyipitkan mataku melihat bule itu lalu memutar bola mataku jengah.
"Ya kali Vi, nih buat lo ini. Lo suka alpukat kan?" Ia menyerahkan cup berisi jus alpukat padaku.

Setelah mengucapkan terimakasih aku menyedot jus alpukat itu. Tiba-tiba aku menyemburkan jus alpukat pemberian Rico.

"Ih kok gak enak sih Ric. Mau ngeracunin aku ya kamu?" Aku bertanya penuh selidik ke Rico. Bibirku berkedut karena menahan menahan tawa melihat raut cemas Rico.

"Hah? Iya tah? Perasaan jusnya tadi gak di kasih apa-apa kok. Cuma alpukat sama susu aja." Raut wajah bingung Rico membuatku tak bisa menahan tawa lagi.

"Whahaha... mau ya di kerjain" aku tertawa terpingkal-pingkal lalu mencubit hidung Rico gemas.
"Awas lo ya Vi!" Aku segera berdiri lalu berlari di susul Rico yang masih berusaha mengejarku.
"Ah, lelet kamu mah. Tangkep aku kalo bisa." Aku berlari sambil tertawa senang.

Sebenarnya mungkin saja dari tadi Rico sudah menangkapku.
Mengigat Rico cowok apalagi ia pernah ikut lomba sprint jadi dia larinya lebih cepat, tapi ia tak kunjung menangkapku. Mungkin larinya di perlambat.

"Iya ya, awas aja kalo ke tangkep" Rico menggapai-gapai tangannya ke depan lalu terkekeh. Tiba-tiba jemari Rico terasa manarik rambutku.
"Aw.. jangan jambak juga geh, sakit tau." Aku menatap kesal ke arah Rico lalu mengerucutkan bibirku.

"Iya sorry, lagian rambut lo panjang sih jadi enak banget nangkep nya kalo lo lari." Ia memandang ke arah matahari. Lalu duduk di atas pasir, aku mengikutinya. Kakiku tergelitik ombak-ombak kecil yang membawa pasir.

Matahari sudah mulai tenggelam menampilkan semburat jingga kemerahan. Pandangan Rico masih tenang dan terfokus ke arah sunset, heran deh aku aja masih capek gara-gara lari tadi. Tapi kok Rico gak kelihatan capek sama sekali ya?
"Bagus ya Ric," aku memandang bola jingga itu dengan takjub.

"Hemm.." Rico hanya bergumam tidak jelas, membuatku menerka-nerka pikiran Rico.

"Matahari mulai tenggelam di telan oleh gelap. Itu menandakan Tuhan ingin kita beristirahat. Kesedihan cukuplah untuk hari ini, esok terbangunlah dengan harapan"  Rico berujar pelan.

Lalu mengusap-usap rambutku.
Aku hanya mendengarkannya lalu menulis namaku di pasir, menghiasinya dengan kerang.

Rico juga melakukan hal yang sama, is menulis namanya di samping namaku.
Lalu Rico membentuk gambar mata di samping namaku dan namanya.

Aku ingin bertanya apa arti simbol itu tapi aku urungkan niatku.
"Georgeus Rico Pratama -mata- Dervia Fidelica Derasta?" Aku bergumam pelan.

"Hemm, lo tau artinya simbol mata di ukiran ini?" Rico mengangguk, mungkin ia mendengar gumamanku. Ia bertanya padaku dengan raut datar. Dan hanya ku balas dengan gelengan kepala.
Lalu ia melanjutkan,

"Artinya gua akan selalu ada buat lo kaya mata lo yang selalu ada buat lo asalkan lo bisa ngerawat mata itu. Tanpa mata lo hanya akan merasakan gelap dan sepi." Ia menjelaskan dengan tenang.

Sebenarnya apasih yang di fikirkan Rico? Andai aku bisa mendengar apa isi pikiran dan hatinya. Aku mengangguk untuk menanggapi ucapan Rico tanpa ku pahami lebih dalam arti ucapan itu.
"Aku juga mau kok jadi mata kamu Ric." Aku nyengir kuda ke Rico.

Ia terkekeh pelan lalu mengacak rambutku gemas dan berdiri. Ia mengulurkan tangannya padaku membantuku untuk berdiri.

Kadang aku berfikir bagaimana jika Rico meninggalkanku siapa yang akan menjadi sahabatku? Siapa yang akan selalu membantuku? Apakah aku akan mendapatkan sahabat yang sama seperti Rico? Pikiran ini semakin melantur.

"Vi, ayo! Jangan day dreaming mulu" suara Rico menyedotku kembali ke dunia nyata. Aku hanya diam dan membiarkan tangan kokohnya merangkul bahuku, seperti melindungiku. Hangat dan nyaman, terlalu enggan untuk menepis tangan Rico yang mengusap rambutku.

Rico melambaikan tangannya lalu ia masuk ke toilet cowok sedangkan aku ke toilet cewek. Setelah selesai mandi, aku masuk ke bus. Ternyata Tika sudah selesai duluan. Aku melihat Rico masuk, ia membawa dua cup pop mie. Lalu duduk di kursinya, aku mengernyitkan dahiku, oh mungkin untuk Theo.

Saat aku menoleh ke belakang aku menyipitkan mataku, bingung karena Theo juga membawa dua cup pop mi. Huh segitu kelaparannya tah mereka? Aku memalingkan wajah untuk melihat ke jendela bus, Tika sudah terlelap padahal masih sore, mungkin ia kelelahan. Seseorang menepuk pundakku pelan, aku mengalihkan pandanganku untuk melihat siapa orang itu. Rico? Ngapain dia berdiri di sampingku sambil membawa dua cup pop mie. Aku menatapnya dengan pandangan bertanya.

"Nih lo pasti laper" Rico menyodorkanku satu cup pop mie. Mengapa ia seperti selalu tau apa yang sedang ku rasakan?
"Thanks" aku tersenyum tulus dan menerima pop mie itu lalu menyeruputnya pelan.
"Iya sama-sama." Ia tersenyum tipis padaku, Lalu kembali duduk di kursinya.

Saat aku berkata ingin menjadi mata untukmu maka aku akan benar-benar melakukannya, menjauhkanmu dari sepi dan gelap. Tapi ku takut saat ada sinar yang menyilaukan matamu, kau tidak kuat dan memilih untuk melepas matamu. Bukan menutupnya, melindunginya dengan kelopak. Engkau memilih sepi dan gelap.

secretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang