16. Annoying

12 3 1
                                    

Nathan menatapku dengan senyuman miringnya, ia mengangkat tangannya bermaksud merangkul bahuku. Aku tersenyum sinis dan menghindar dari tangannya.
"Yah... biasa aja, kenapa Nath?" Aku berusaha untuk tersenyum tulus.
"Ooh.. gak apa-apa sih." Nathan mengangkat ke dua bahunya acuh.

"Vi| Via!" Baru saja Nathan mau berbica Rico sudah memotongnya dengan suara baritonnya itu. Spontan aku dan Nathan memutar kepalaku ke arah suara tersebut. Bisa ku dengar Nathan berdecak kesal.
Ku lihat dengan jelas Rico yang berjalan ke arahku dengan raut wajah datar sambil membawa spidol hitam yang tutupnya sudah terbuka. Aku yang menyadari suatu hal langsung panik.
Aku melambaikan tangan ke Nathan lalu berlari untuk menghindari ke usilan Rico.

"Via awas lo kalo ke tangkep!" Ucap Rico sambil terus mengejarku.
Aku terus berlari tanpa melihatnya.
Tiba-tiba ada seseorang yang mencekal pergelangan tanganku.
Aku berhenti lalu menunduk dengan nafas yang terengah-engah.
"Iya.. iya.. ampun Ric." Aku memelas ke Rico. Ia melepaskan cekalannya di tanganku, aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku segera berlari, ternyata di depanku jalan buntu.

Hanya terdapat tembok yang di dominasi oleh batu. Aku melihat ke samping kanan dan kiriku, tidak ada celah untukku kabur. Rico sudah berdiri di depanku ia memiringkan kepalanya lalu tersenyum evil, ia memajukan langkahnya mendekati tubuhku. Aku mundur untuk menghindarinya, kali ini Rico benar-benar terlihat menyeramkan.

Dukk...

Punggungku menabrak tembok di belakangku,Rico semakin maju ke arahku dan jaraknya hanya sekitar tiga puluh centi dari ku. Aku memejamkan mataku takut, kedua tanganku kukatupkan di depan wajahnya.
"Lo udah nyangkutin sepatu gua di genteng SD Vi. Gak usah ngelak, waktu gua lagi di lapangan basket tadi gua liat." Rico berucap dengan nada tajam padaku. Sepertinya ia benar-benar marah padaku, bagaimana ini? Aku memutuskan untuk meminta maaf,

"Iya.. iya.. Ric sorry. Kali ini beneran deh. Please forgive me?" Aku masih memejamkan mataku.
Hening....
Tidak ada suara apapun yang menanggapi ucapanku, termasuk Rico. Kenapa Rico diam saja? Apa ia benar-benar marah padaku? Bagaimana ini? Pikiranku benar-benar cemas saat ini.
Lalu aku mendengar suara tawa yang sangat keras, mengapa Rico tertawa? Apa yang ia tertawakan, memang ada yang lucu? Karena penasaran aku membuka mataku untuk melihat hal yang Rico tertawakan.

Bukannya apa-apa sih, tapi moment Rico tertawa itu hal yang langka. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku menyesuaikannya dengan cahaya sekitar. Ku arahkan pandanganku ke sekelilingku tapi aku tak menemukan siapapun di sini kecuali Rico yang sedang berjongkok sambil memegangi perutnya dengan tawa yang masih terdengar. Aku mengernyitkan dahiku lalu berdehem.
Rico mengangkat wajahnya menatapku lalu berdiri sambil menatapku dengan tersenyum geli. Aku membuka mulutku, bermaksud untuk bertanya, namun suara Rico lebih dulu menjawab apa yang ada di otakku.

"Ekspresi lo Vi, lucu." Ia tersenyum geli. Aku mencibir pelan, namun tiba-tiba senyum geli itu berubah menjadi datar lagi.
"Ambilin sepatu gua!" Ucap Rico
"Tapi gua gak nyampe lah" aku membalas sewot.
"Nyangkutin bisa. Giliran di suruh ambil gak bisa" ucap Rico datar,
"Itu kan beda" aku menggerutu pelan.
"Sama" ucapnya singkat.
Aku berjalan lesu ke belakang tubuhnya untuk mengambil sebuah kayu, Rico menatapku dengan bingung.

Seakan bertanya 'ngapain lo kesana? Gak berniat kabur kan' tapi aku mengacuhkannya lalu mengambil kayu yang ternyata lumayan panjang itu.

Aku berjalan dengan kesal dan Rico yang mengikutiku. Aku melompat untuk mengetahui dimana keberadaan sepatu Rico, aku mengambil kayu yang tadi ku letakkan di samping kakiku. Ku balikkan tubuhku ke belakang bermaksud meminta tolong pada Rico, tapi Rico malah asik mengobrol dengan empat sekawan.
Aku mendengus lalu melompat-lompat dan mengarahkan kayu ke sepatu Rico berharap agar sepatu Rico dapat terjatuh.

Tapi bukannya terjatuh sepatu itu malah semakin jauh, aku berdecak. Lalu menundukkan kepalaku lelah, aku mendengus pasrah. Ku angkat kepalaku, ku arahkan netraku ke seluruh bagian genteng. Aku mengernyitkan dahi, sepatu Rico HILANG.
"Huftt mampus gua, sepatunya hilang." Aku berdecak kesal,
Tiba-tiba seseorang menarik tanganku, reflek aku membalikkan tubuhku.

Aku memejamkan mataku, dalam hati aku merapalkan doa agar Rico tidak memarahi atau membentakku. Perlahan ku buka mata, ku kerjapkan mataku berkali-kali karena tak percaya dengan apa yang ada di depanku.
"Nath... Nathan? Lo kok-?" Tanya ku tergagap. Reflek aku melepaskan pergelangan tanganku yang di pegang oleh Nathan,

"Oh sorry, nih sepatunya." Ucapnya dengan nada bersalah. Ia memberikan sepatu Rico padaku.
"Thanks, ya gak apa-apa Nath. Santai aja, ngapain di sini?" Aku tergagap lalu tersenyum kikuk. Tumben sekali Nathan mau menolongku. Care me, huh?
"Mau latihan story tell, trus liat elo deh." Nathan tersenyum jenaka padaku. Aku mengangguk-anggukkan kepalaku tanpa mengerti.
"Ya udah deh gua latihan story tell dulu. Bye Via." Nathan tersenyum sambil melambaikan tangannya padaku. Aku mengangguk lalu tersenyum tulus, bisa ku rasakan tatapan seseorang yang terus memperhatikanku.

Ku arahkan mataku padanya, beberapa saat mata kami bertemu aku terdiam begitu juga dengannya. Sampai ia berdehem lalu memasang wajah datar,
"Sepatu gua!" Sahutnya datar
"Iya.. iya.. nih! Dasar Rico bawel" aku menjawab dengan ketus, lalu menyerahkan sepatu itu kepada Rico sambil menggerutu. Setelah memakai sepatunya, Rico berdecak.
"Ck, udah jangan ngegerutu mulu. Ntar gua traktir es krim deh." Ucap Rico lembut,
"Beneran?" Aku langsung tersenyum dan mataku berbinar. Akhirnya Rico menraktir ku.
"Gak, bohongan" ia berkata datar lalu duduk di bawah salah satu pohon besar.

"Ishh, ya udah. Gak pengen juga di traktir." Aku mendengus lalu berjalan ke kelas untuk mengambil bukuku.
Dasar Rico bego, berani-beraninya dia bohongin aku. Awas aja nanti!
Aku terus menggerutu dan berdecak kesal.
"Sini," Rico mengambil buku yang ada di tanganku tanpa menunggu persetujuan dariku. Aku hanya diam saja dan terus berjalan cepat, Rico tetap berjalan di sampingku.

Sesekali ia mengucapkan 'gua duluan ya' pada beberapa orang yang di jumpainya, mungkin temannya Rico.
"Gua tadi becanda Vi, baper ah lo." Ia berucap padaku. Aku tetap diam, tak berniat membalas ucapannya.
"Beneran gak mau maafin gua nih?" Ia bertanya padaku. Maaf? Memangnya kapan Rico minta maaf padaku? Sepertinya tidak pernah.
Rico terdiam begitupun denganku, kami masih jalan beriringan. Sebenarnya aku penasaran, apa Rico masih suka padaku semenjak adanya insiden itu. Apa Rico tidak di marahi pacarnya?

Saat sedang asik melamun, suara Rico mengintrupsiku.
"Ya udah kalo gak mau maafin" ucapnya datar ia meletakkan bukuku di trotoar jalanan lalu ia membalikkan tubuhnya dan berlari.
Aku yang melihatnya hanya terdiam lalu berjalan lagi.

Sepertinya Rico memang sudah sudah berubah, ia jauh lebih dingin dan datar. Lalu, apakah aku masih berhak untuk mengharapnya kembali?
Lagipula sekarang ia sudah punya pacar. Tuhan bantu aku,

Seseorang tidak akan pernah sama seiring berjalannya waktu, karena keadaan pun tidak pernah sama. Jadi, jangan salahkan jika ia telah berubah, karena kau sendirilah yang telah merubah keadaan.

secretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang