11. Confused

14 2 0
                                    

Rico membuka pintu kayu itu, lalu menggandengku untuk keluar dari rumah pipa.
Kakiku yang lelah ku paksakan untuk menelusuri wahana lainnya.

Bum bum car?
Aku menarik lengan Rico untuk menaiki salah satu mobil hitam dan aku mobil biru. Tapi sayangnya Rico menolak mentah-mentah semua bujuk rayuku.
"Kayak anak kecil Via, tuh liat pada anak SD semua gitu yang main." Kata Rico saat aku memintanya untuk menjadi partnerku.

Jadi aku memutuskan untuk main sendiri, Rico menunggu di lantai atas jadi ia bisa melihat ke bawah. Beberapa kali mobilku menumbur tiang dan anak-anak kecil hanya karena aku yang tidak bisa mengemudikannya.
Setelah waktu bermainnya habis,
"Ric lagi ya!?" Aku berseru dengan semangat ke Rico. Rico hanya diam dan menggelengkan kepalanya. Tapi tetap saja aku turun ke arena tempat mobil-mobil berada. Setelah tiga kali bermain game ini aku masih belum puas, ku putuskan untuk main sekali lagi.

"Ric satu lagi, trus udah deh!" Aku berteriak ke Rico dengan semangat.
Riko memelototi ku,
"Vi udah, kasian yang antri di luar." Rico tidak mengijinkanku, ya sudah.
Aku langsung mengubah ekspresi bersemangat menjadi lesu, lalu aku menganggukkan kepala, tanda bahwa aku mengerti perkataan Rico.

Rico mengajakku menaiki wahana Tornado. Aku yang melihat bagaimana orang-orang di atas sana di ayunkan seperti komedi putar tapi ini pada ketinggian puluhan meter. Aku bergidik ngeri, mendengar orang yang berteriak-teriak.
"Vi naik ini yuk," Rico meminta persetujuanku.
"Gak ah, takut." Kali ini aku tidak mau menjadi sok berani, karena wahana ini benar-benar ekstrim. Takut, itulah yang ada di benakku.

"Ayolah Vi, gak seburuk pemikiran lo kok nih Tornado." Rico mulai membujukku, kasihan juga sebenarnya Rico, karena tadi ia menungguku selesai bermain game.
"Gak mau Rico, Takut" aku menggelengkan kepalaku lalu melihat ke arah tornado yang berputar turun.
"Lo duduk di samping gua dah" ia memasang wajah memelasnya. Aku yang tidak tega untuk menolak Rico menganggukkan kepalaku lamban. Rico menarik tanganku ke sepasang tempat duduk di tornado ini. Ia memasangkan ku alat pengaman, setelah kira-kira aku aman.

Rico memasang pengaman pada dirinya sendiri, ia tersenyum tipis.
"Kalo lo takut pejemin aja mata lo vi." Rico berkata dengan lembut. Aku hanya menganggukkan kepalaku dan memejamkan mataku karena tornadonya sudah mulai bergerak untuk membawa naik orang-orang yang duduk sama denganku. Aku merasakan jemari Rico mengusap puncak kepalaku pelan, ia terkekeh kecil.
"Vi buka mata lo sekarang!" Rico berteriak berusaha mengalahkan angin yang kencang. Aku membuka mataku perlahan, kami ternyata sudah berada di puncak tornado.

Wow! Ini indah sekali, semuanya terlihat dari atas sini kecil seperti semut.
Aku menolehkan kepalaku kepada Rico lalu menyengir senang.
"Huuuuuu! Rico thanks!" Aku berteriak senang. Ia mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum miring.
"With my pleasure princess," ia terkekeh pelan dengan tangan di dadanya dan badan yang sedikit di bungkukkan.
"The brave prince," aku terkikik geli. Tanganku ku rentangkan lebar dan aku tertawa-tawa tanpa penyebab. Rico mengernyitkan dahinya melihat tingkahku,

"Lo gila Vi," Rico berkata padaku dan jelas itu bukan pertanyaan tapi pernyataan. Dasar Rico, siapa juga yang gila? Ngaca dong.
"Enggak," aku membalas dengan cuek lalu kembali tertawa.
Lalu Rico tiba-tiba tertawa juga.
"Kenapa?" Aku berhenti tertawa lalu melihatnya dengan raut bingung.
"Hahaha... gua ngasih tau Vi. Kalo lo itu gila, buka nanya lo gila apa kagak. Hahaha.... dasar telmi," Rico memegangi perutnya yang sakit karena terlalu banyak tertawa.
"Bukannya yang telat mikir itu kamu ya." Aku berkata ketus pada Rico lalu menjambak rambutnya kuat. Ia meringis,

"Aduh sakit Vi, shrr.. sorry deh." Rico meminta maaf padaku dengan dua jarinya yang membentuk tanda peace.
"Oke maaf di terima." Aku tersenyum puas lalu melepaskan rambut Rico dari cekalan tanganku.
Tak terasa kami sudah sampai di bawah, aku dan Rico turun dengan semangat. Ia menggandeng tanganku, kami berkeliling sebentar.
"Aduh capek" aku langsung duduk di salah satu bangku taman berwarna putih tepat di depan panggung pertunjukan hallowen yang akan di adakan nanti malam, sayang aku tidak bisa menontonnya padahal hallowen hanya sekali dalam setahun.

Hal itu karena bus yang ku kendarai berangkat sore ini.
Saat sedang asik melamun tiba-tiba ada yang menarik tanganku, aku tersentak kaget karena rasa dingin yang menjalar melalui telapak tangan dan jemariku. Aku tersenyum tulus,
"Thanks," ucapku ke Rico yang sudah meminum jusnya duluan.
Ia hanya menganggukan kepalanya lalu bergumam pelan.

Aku teringat mamaku yang belum ku kabari hari ini, aku melirik Rico yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Aku meraih paper bag ku yang terletak di samping Rico lalu mencari pondelku. Ah, ketemu! Aku mengecek apakah ada notifikasi penting yang masuk atau tidak.

KLUNG!! KLUNG!!

Bunyi baterai lemah terdengar cukup nyaring dari ponselku,

Rico menoleh ke arahku lalu menaikkan sebelah alisnya seakan bertanya 'apa yang terjadi?'.
Aku tersenyum masam ke arahnya, lalu menyerahkan ponselku agar ia bisa melihat sendiri jika baterai ponselku lemah. Rico mengambil cashger di paper bag ku,
"Bentar ya, Jangan ke mana-mana!" Kata Rico kepadaku. Ia lalu berlari meninggalkanku sendirian di sini.

Lima menit....
Sepuluh menit....
Dua puluh menit....
Dua puluh lima menit....
Tiga puluh menit....

Rico lama sekali sih, aku sudah kesal lalu berniat mencarinya. Kalau tidak ketemu ya aku kembali saja ke bus.
Baru saja aku hendak berjalan, pundakku di tepuk seseorang membuatku terkejut dan reflek menoleh ke arah belakang. Tidak ada siapapun di belakangku, aku mencari-cari orang yang menepuk pundakku di antara orang-orang yang berlalu lalang di belakangku yang kira-kira mempunyai lagat mencurigakan. Karena tidak menemukan siapa orang itu, aku menoleh ke depan dan mendapati Rico sedang nyengir kuda di hadapanku sambil membawa sepiring mie goreng dengan ayam bakar.

Aku yang berniat mengomelinya jadi tidak tega ketika ia menyerahkan ponselku dengan baterai penuh. Aku tersenyum lembut,

"Ngapa lo senyum-senyum Vi?" Tanya Rico padaku.
"Thanks ya udah ngecashin hp aku," aku tersenyum ke Rico. Aku fikir Rico akan tersenyum juga dan membalas ucapan terima kasihku, tapi di luar dugaan ku ia malah menautkan kedua alisnya dan mengernyitkan dahinya.
"Hah ngecash? Orang dari tadi gua di sini kok Vi makanin pringless," ia berkata dengan nada heran.

Aku yang menyadari ke anehan ini langsung melihat ke layar ponselku dan ternyata sudah mati total. Aku tersenyum kikuk lalu nyengir ke arah Rico. Rico yang mungkin menyadari kebodohanku langsung tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya.
"Jadi lo ngelamun Vi? Kalo gua ngecashin hp lo? Hahaha.... Via, Via kebanyakan baca fiksi sih lo nya." Rico mengacak rambutku gemas lalu meminjamkan ponselnya untuk mengabari mamaku.

Apa benar yang tadi itu hanya hayalanku saja? Tapi kenapa terasa sangat nyata? Ah bodoh! Lagi pula mana mungkin Rico mau ribet dengan urusan seperti itu. Pake ngecashin ponselku segala.

Karena lelah aku tertidur di bus dengan tangan menggenggam ponselku yang mati. Pagi harinya ketika aku mengecek ponselku, ternyata baterainya terisi 75% dengan tulisan di memo ponselku

'good morning! Maaf, sudah kupakai 25% kemarin tanpa ijinmu. Thanks ;-)'

Aku mengernyitkan dahiku.

Kasih tak perlu di umbar, cukup dengan caramu sendiri saja untuk menunjukankan kasih kepada yang kau kasihi. Karena Tuhan menciptakan manusia dengan cara yang berbeda dan terdapat ke unikan yang berbeda pula.

secretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang