9. Games

11 3 0
                                    

Dinginnya udara pagi di kota Batu, Malang menyeretku untuk bangun dan beraktivitas. Aku turun dari bus, membayangkan mandi dengan udara sedingin ini pasti bisa membuatku flu dalam sekejap. Akhirnya aku memutuskan untuk gosok gigi dan cuci muka saja. Aku menemukan Rico sedang mengantri makanan di meja yang di sediakan, aku menyusulnya untuk mengantri makanan.

Ku ambil teh panas yang mengepul dengan aroma vanila yang manis. Ku gesek-gesekkan telapak tanganku ke celanaku, aku lupa memakai jaket dan untuk kembali ke bus rasanya sangat enggan.

"Nih!" Rico menyodorkanku jaket miliknya. Wangi parfum Rico, hangat. Aku mengucapkan terimakasih yang hanya di balas oleh gumaman.

Eh, tapi aneh banget tuh Rico. Malah ngasih jaket ke aku, dia pasti kedinginan. Aku mengeluarkan syal coklat muda dari tas kecil ku lalu memasangkannya pada Rico, ia terlihat terkejut lalu datar lagi dan melanjutkan makannya tanpa berniat mengucapkan terima kasih.

Aku mendengus malas, untung saja Rico sahabatku kalo tidak? Males banget peduli sama manusia berwajah datar. Apa perlu ku beri hadiah vitamin asupan ekspresi di hari ulang tahunnya, supaya ia bebas berekspresi.

Aku melangkahkan kakiku menyusuri jembatan gantung dengan hiasan bunga-bunga yang cantik.

Jatim Park ini benar-benar luas, aku yakin tak akan sanggup menjelajahinya. Seseorang menepuk pundakku lalu mengambil alih paper bag di tanganku, reflek aku memutar kepalaku untuk memastikan siapa yang mengambil paper bag yang berisi cemilan dan peralatan tulis ku.

Aku mendengus kesal mengetahui siapa yang mengambil barang-barangku.
"Please deh Ric, bisa gak sih gak ngagetin?" Aku berkata ketus lalu menarik alih paper bag ku.

"Gua emang gak ngagetin, tapi ngangenin." Ia terkekeh sebentar lalu menarik kembali paper bag ku.
"Udah biar gua aja yang bawain" sahutnya lembut, emang dasar Rico bilang aja itu alibinya.

"Alah itu alibi kamu untuk ngabisin camilanku kan? Udah minta langsung aja gak usah sok pake bawain paper bag aku." Aku mencibir Rico.

Ia hanya mengernyitkan dahinya lalu memandangku dengan tatapan 'lo gak percaya?' Aku memandangnya lalu mendengus pasrah.

Rico menautkan jarinya di antara jariku, lalu mengeratkan genggamannya. Aku cemberut lalu memajukan bibirku, tanda bahwa aku tak suka.

"Ihh, apaan nih. Gandeng eh? Gimana aku mau punya pacar kalo kaya gini." Aku mendengus kesal.
"Biar lo gak ilang, itu derita lo." Riko berkata datar lalu tersenyum miring.

"Huh, dasar Rico nyebelin." Aku menatap wajah santai Rico dengan kesal. Rico diam saja seperti tak berniat membalas perkataanku, baguslah aku juga sedang tidak berniat untuk berdebat denganya.

Aku berjalan santai di samping Rico yang berjalan sejajar denganku, Rico melambatkan langkahnya, ya aku tahu itu.
Aku benar-benar bersyukur punya sahabat seperti Rico yang selalu tahu isi hatiku.

Aku menatap kagum semua wahana yang tersedia. Rico berdecak bosan, lalu menarik tanganku ke salah satu stand minuman.

Ia memesan satu cup jus alpukat untukku dan satu cup coke untuknya. Ia membayar ke kasir lalu menyerahkan jus itu padaku, aku menerimanya lalu mengucapkan terima kasih.

Ia membalasnya dengan gumaman dan mengacak pelan rambutku. Aku menggerutu padanya,

"Rico tolong hilangkan kebiasaanmu yang satu itu aku tidak suka." Ujarku ketus lalu mengerucutkan bibirku.

"Ngetraktir lo? Oke" Riko berkata santai.
"Ok|eh bukan itu, tapi ngeberantakin rambutku tau." Aku memotong perkataanku dengan cepat, rugi dong aku kalo dia gak neraktir lagi.

"Ogah" dia berkata singkat lalu berjalan meninggalkanku.
"Ya udah" ucapku kesal lalu duduk di bawah salah satu pohon besar. Aku tak mendengar lagi jawabannya, mungkin ia memang tak berniat menjawab perkataanku.

Aku semakin kesal karena sekarang Rico sudah tak terlihat lagi olehku dan ponselku kan di paper bag yang di bawanya. Dasar Riko bego! bawa-bawa paper bag orang, kalo udah gini aku jadi gak bisa ngehubungin Tika dan yang lainnya kan.

Dan sekarang aku di sini, di bangku taman sendirian seperti orang bodoh tanpa ada yang ku kenal dan ponselku, hanya ada sebuah credit card di saku celanaku.

Aku tak yakin jika Rico akan balik lagi, aku juga tak yakin jika credit cardku ini bisa di pakai sekarang. Letak denahnya saja aku tak tahu, dari atas sini aku hanya bisa melihat water park yang sangat ramai dengan anak-anak kecil.

Aku kembali menghebuskan nafasku lelah, oh aku bahkan tidak tahu di mana pintu keluarnya.
Saat aku hendak beranjak pergi untuk mencari teman-temanku, sebuah tangan menepuk pundakku.

Aku membalikkan tubuhku, oh ternyata Rico. Aku menatap Rico kesal, ingatkan aku jika aku masih marah padanya.
"Ngapain lo di sini?" Tanya Rico dengan raut wajah datar seperti biasa.

"Suka-sukalah" aku menjawab cuek, aku melirik dengan ujung mataku. Ia mendesah pelan lalu bergumam,
"Sorry" katanya singkat. Aku tak menjawabnya, enak saja. Ia meninggalkanku sendirian lalu datang dengan seenaknya mengucapkan maaf secara singkat, berharap di maafkan eh?.

Big No!!!
Aku berjalan di sampingnya tetap diam dan cuek. Rico berdecak, lalu menarik tanganku untuk berjalan lebih cepat.

Selalu, Rico selalu seperti ini bertingkah seenaknya saja.

Kapan ia tertawa lepas dan cerewet bersamaku? Tidak pernah, oh bukan tapi belum pernah karena akan ku pastikan ia menjadi cerewet dan tertawa lepas suatu hari nanti, tentu saja bersamaku.

Kita tidak tahu isi hati seseorang, maka jangan menerka sesuka hati dan menyimpulkannya sendiri. Setidaknya tanya meski tak ada yang menjawab.

secretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang