10. Afraid

7 3 1
                                    

Aku masih diam begitupun dengan Rico, ia tidak peka atau bagaimana sih jika aku sedang marah padanya. Ia berdecak kesal lalu menatapku,
"Tadi gua nemuin tempat bagus" ia berkata dengan datar pada ku, memang kenapa? Apa urusanya denganku?
"Hemm" aku berdehem malas, padahal sebenarnya aku sangat tertarik dan penasaran tempat apa itu. Rico berdecak kesal karena aku terlihat tak tertarik dengan ucapannya. Ia menarik tanganku dan berlari, sesekali ia melihat ke arahku, mungkin untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja.

Aku tetap diam dan tak protes sedikit pun, biar saja.
"Vi? Lo kok diem mulu sih dari tadi?" Tanya Rico padaku. Kami berjalan pelan menuju sebuah antrian yang cukup panjang. Aku tetap diam, sesekali aku melihat ke layar ponselku.
"Vi? Lo dengerin gak sih?" Rico berkata lembut padaku. Huh, memangnya aku seorang anak kecil apa? Sok berbicara lembut lagi.
"Iya, denger" kataku ketus, Rico menghela nafas lega.

"Sorry Via. Please forgive me," Rico meminta maaf padaku dengan wajah memelas.
"Iya" aku berkata jutek. Ia mengacak pelan rambutku, lalu membuka satu bungkus pringless rasa pedas.
"Mau?" Rico menyodorkanku pringless yang di pegangnya lalu duduk di salah satu kursi taman. Aku melihatnya dengan bingung,
"Kok duduk?" Aku bertanya padanya. Ia mengangkat sebelah alisnya lalu menepuk-nepuk tempat di sampingnya memintaku untuk duduk.
Aku duduk di sampingnya dan mengambil pringless dari tangannya.
"Nunggu antrian." Ia berkata singkat, lalu terdiam lagi matanya mengarah pada antrian yang semakin sedikit.

"Tika sama yang lain di mana? Kayaknya kita gak sekelompok kan? Awas aja kamu ngambil bahan pembelajaran kelompok aku." Aku berkata dengan penuh selidik, mataku memincing menunggu jawabannya.
"Cerewet," ia berkata singkat lalu mengacak rambutku gemas. Aku mengerucutkan bibirku,
"Ish gak di jawab, nyebelin." Aku mengambil satu bungkus pringless yang ada di tangan Rico, lalu memakannya cepat. Rico menatapku dengan bingung,

"Lo laper? Pelan-pelan makannya." Rico bertanya padaku, kakinya di hentak-hentakan ke tanah sesekali ia menendang batu yang ada di dekat kakinya. Aku menggeleng dan melanjutkan memakan pringlessku. Rico mengernyitkan dahinya lalu menganggukkan kepalanya.
"Antriannya udah abis, yuk!" Riko berjalan ke sebuah pintu coklat yang terbuat dari kayu jati, aku mengikutinya dari belakang. Ia berhenti sebentar menunggu agar aku bisa jalan di sampingnya. Rico membuka pintu itu dan terlihatlah sebuah ruangan berdinding cermin. Aku terperangah sebentar lalu menyadari bahwa Rico sudah berjalan duluan.

Aku mengikutinya, karena semuanya di batasi oleh cermin aku bingung dan menabrak dinding di depanku.
"Aduh!" Aku meringis menyentuh dahiku, pasti akan memar.
"Astaga Vi, lo kenapa?" Rico bertanya dengan nada panik padaku, ia meniup-niup memar di dahiku. Hei apakah ia tidak sadar semua ekspresinya itu bisa ku lihat melalui cermin. Aku terkikik geli melihat raut wajah khawatir berlebihannya itu, sesekali ia mengusap-usap dan meniup dahiku.
"Hei kenapa tertawa?" Rico berkata ketus padaku, bukannya merasa bersalah aku malah tertawa terbahak-bahak.

"Kamu lucu banget," aku masih tertawa. Rico memalingkan wajahnya dariku, ia berwajah datar.
"Lo gandeng gua!" Rico berkata singkat lalu menarikku berdiri, aku berjalan mengikutinya yang meraba-raba jalan di depannya seperti orang buta.
Aku menggenggan erat tangannya, takut terbentur cermin dan tertinggal di labirin cermin.

Ah, syukurlah labirin berdinding cermin sudah berhasil di lewati, tiba-tiba Rico berhenti membuatku menabrak tubuhnya.
"Ish Rico! Kok berhenti sih." Aku berkata kesal. Rico menoleh ke arahku,
"Gua tau kalo lo takut buaya." Ia berbicara ke padaku, aku mengernyitkan dahiku.
"Lah? Apa hubungannya?" Aku bertanya dengan bingung.
"Di depan ada jembatan gantung dan di bawahnya ada buaya." Ia berkata dengan datar. Aku melangkah lebih maju darinya untuk melihat jembatan gantung itu, aku bergidik ngeri. Bagaimana jika talinya putus?

"Takut?" Rico menaikkan sebelah alisnya padaku, nada bicaranya terdengar mengejek. Enak saja Rico meremehkan aku, aku harus berjalan lebih dulu untuk membuktikan bahwa aku berani.
"Eh?" Rico membawaku ke alam sadar.
"Gak lah, nih ya aku jalan duluan!" Aku berjalan mendahului Rico ke jembatan gantung, ternyata tidak seburuk yang aku kira. Sampai tiba-tiba jembatan gantung itu bergoyang-goyang dengan sangat kuat. Aku ketakutan, aku hanya bisa berpegangan pada tali tambang di sampingku. Aku tak lagi memikirkan Rico karena aku yakin ia bisa menyelamatkan dirinya sendiri, yang aku pikirkan adalah bagaimana caranya aku menyelamatkan diriku karena aku berada tepat di tengah-tengah jembatan gantung itu, apakah aku harus berjalan maju? Atau harus berbalik dan berjalan ke labirin berdinding cermin tadi.

Ahh, otakku benar-benar buntu saat ini. Eh, siapa yang mengelus puncak kepalaku? Aku mengedipkan mataku beberapa kali, lalu terlihat Rico yang mendekapku erat. Sedangkan aku hanya berdiri kaku tanpa membalas pelukannya, aku masih terlalu terkejut dengan insiden tadi.
"Udah gak apa-apa vi" Rico melepas dekapannya lalu mengelus lembut puncak kepalaku.
"Iya Ric" mungkin wajahku pucat saat ini, ini tidak baik bagi kesehatan jantungku. Jembatan gantung ini membuatku punya penyakit jantung.

"Sok sih lo" Rico menyentil keningku,
"Biarin" aku menjawab dengan ketus.
"Sini ayok ikutin gua!" Ia menggandeng tanganku lalu membawaku berjalan di sampingnya.
Setelah insiden jembatan gantung Rico dan aku memasuki rute selanjutnya yaitu Forbiden Forest, Rico merangkul pundakku. Ada beberapa riddle yang harus di jawab untuk ke rute selanjutnya dan semuanya itu di jawab oleh Rico, kalo aku? Aku yang menulis jawaban Rico di kertas khusus dan di taruh di kotak surat yang ada di Forest tersebut.

"Abis ini kita basah-basahan Vi," Rico berkata singkat padaku.
"Hah?" Aku hanya melongo tak mengerti maksud perkataan Rico. Maksudnya nanti ke water park gitu?
"Iya, Rainy Forest." Baru saja Rico selesai berbicara adà air yang muncrat dan membasahi bajuku dan Rico. Aku lari duluan dari pada Rico, aku tidak mau basah-basahan. Setelah sampai di depan sebuah pintu kayu berwarna coklat, aku merasa kakiku seperti aneh. Rico melihat ke kakiku, tiba-tiba ia kembali ke tempat di mana banyak air yang muncrat tadi. Aku bingung dengan kelakuan Rico,

"Ric! Ngapain?" Aku berteriak.
"Sandal lo pinter!" Ia berlari ke arahku sambil membawa sebuah sandal berwarna putih. Ia meletakkan sandal itu di dekat kakiku, aku segera memakainya.
"Woahh, baik deh. Thanks ya Ric" aku nyengir ke arahnya.
"Memang, iya" kata Rico dengan percaya dirinya.
"Gak jadi deh baiknya." Sahutku kesal, PD sekali dia itu. Ia mengacak pelan rambutku.

Cinta tahu di mana tempatnya berlabuh dan menambatkan tali, tanpa harus bertanya dan tersesat.

secretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang