7. Kuta Beach

17 3 0
                                    

Udara sore pulau Bali membuatku bersemangat. Hamparan pasir putih bercampur hitam terkikis oleh ombak yang bergulung menarik perhatian siapapun yang memandangnya seakan minta di jamah.

Angin sore yang sepoi-sepoi memainkan anak rambutku. Beberapa anak kecil bule duduk di pasir hangat itu, menunggu rambutnya selesai di kelabang.

Banyak tukang tato yang terlihat menawarkan tatonya. Aku begitu ingin mencicipi bagaimana rasanya berenang bersama para turis asing itu di tempat yang katanya surga pariwisata Indonesia yah selain Lombok tentunya.

"Tik! Ayo renang!" Aku berseru dengan penuh semangat.
"Ntar Vi, aku gak bawa celana ganti." Ucap Putri kepadaku.
"Yah sama aja, gimana ya?" Saat aku sedang berfikir bagaimana nanti aku salinnya.

Dio-teman asrama kami- datang menawarkan apakah aku dan Tika ingin menitip celana untuk berenang. Serempak kami pun mengangguk.

"Ya udah mana uangnya? Kalian tunggi di sini sebentar ya." Ucap Dio, lalu aku menyerahkan selembar uang lima puluhan ribu kepadanya begitupun dengan Tika.

"Oke deh, the best emang Dio ini" kataku sambil tertawa senang.
"Lah kamu gak renang yo?" Putri melontarkan pertanyaan ke Dio yang masih memakai kaos lengan panjang dan celana jeans panjang.

"Enggak, udah tadi di Pandawa. Mau jalan-jalan aja sama Theo cari mi ayam" katanya dengan senyum senang. Yah wajar saja Theo kan tampan, secara ketos gitu. Memang sebelum ke Kuta kami ke Pandawa dulu.

Tapi di Pandawa aku gak berenang kok.
"Oohh, pantesan. Udah sana!" Aku membalikkan tubuh Dio lalu mendorongnya untuk berjalan.

Setelah aku mendapatkan celanaku, aku mengucapkan terima kasih ke Dio. Sedangkan Tika? Entah dia sudah hilang dari tadi. Entah kemana perginya bocah satu itu, mana gak ngomong-ngomong lagi.

Setelah ganti aku mengarahkan pandanganku ke pak Lilo yang melawan ombak. Perlahan ku dekati pak Lilo,
"Sini Via!" Pak Lilo berseru dengan semangat padaku.

"Iya pak, tapi saya gak bisa berenang pak." Ujarku, sebenarnya aku takut tenggelam apalagi aku harus berada agak ketengah berdiri dan pada saat ombak datang aku harus melompat.

Bagaimana jika aku hanyut?
"Ada bapak kok, sini di deket bapak. Eh, itu ada bu Ester" pak Lilo menunjuk ke arah seorang wanita yang berjalan ke arah pantai.
"Hehe.. iya pak. Ibu! Sini bu!" Aku melambaikan tangan ke arah bu Ester.

Lalu berjalan mendekatinya.
"Ibu gak bisa berenang Vi, takut ah." Sahut bu Ester.
"Ayo bu! Gak apa-apa kok buk." Aku menggandeng tangan bu Ester.

Kami memecah ombak bersama-sama.
Tanpa sadar aku sudahberada jauh dari pak Lilo karena banyak orang yang bergabung bermain. Aku menoleh ke samping kiriku dan ternyata ada Tika,

"Hai Vi?" Tika melambaikan tangannya padaku.
"Oh, hai Tik. Cie ikutan main ombak juga" aku membalas sapaan Tika.
"Iya lah seru tau" kata Tika bersemangat. Aku mengandeng tangan Tika dan Rico karena Rico ada di sebelah kananku.

Aku membayangkan bagaimana jika tubuh mungil aku dan Tika tenggelam. Siapa yang nolong ya? Eh tapi jangan tenggelem deh. Aku dan Tika tertawa senang menikmati ombak yang menghempas punggung kami. 

Tapi tiba-tiba ada ombak yang cukup besar, karena bandanku kecil dan semampai jadi lompatanku juga rendah.
Aku tenggelam, ku gerakkan kaku dan tanganku berharap aku bisa berenang, namun tidak. Air asin mulai masuk ke mata dan hidungku membuat perih.

Entah berapa banyak air asin yang telah ku minum lidahku kebas oleh rasa asin dan kerongkonganku seperti terbakar. Telingaku hanya berdengung karena banyak air yang masuk.

Saat aku hendak menyerah ada tangan yang menggendongku menjauhi air asin itu. Tangan itu milik Rico, syukurlah. Ia menggandengku menuju hamparan pasir, sungguh jemarinya terasa hangat dan nyaman.

Beginikah jemari seorang sahabat, raut kuatir terpatri jelas di wajahnya. Beberapa kali ia melihat ke arahku memastikan apakah aku baik-baik saja? Atau ada yang terluka? Mungkin saat ini hidung dan mataku sudah merah juga perih.

"Vi? Lo gak apa-apa kan? Ada sakit?" Ia gelisah memperhatikan wajahku. Hey, memang ada apa dengan wajahku? Aku kan hanya tenggelam bukan di pukuli. Karena tenggoronganku sakit aku hanya menjawab dengan gelengan kepala lemah.

"Ya udah kita ke sana ya," jemarinya di tangan kiri yang bebas menunjuk ke sebuah istana pasir yang baru setengah jadi. Sedangkan jemari kanannya tetap menggenggam tanganku, hangat.

Aku terduduk di atas hamparan pasir sambil menunggu Rico yang membeli minuman. Sebentar lagi akan petang, tak terasa sekali ternyata ini hari terakhir kami di bali.

Suara Rico terdengar jelas di telingaku, ia melambaikan tangannya.

Saat kau tersenyum, menatap, dan tertawa padaku kadang aku berfikir kau menyukaiku. Tapi aku sadar kau juga tersenyum, menatap, dan tertawa yang sama pada orang lain.

secretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang