Saat jam istirahat Nayla merasa kacau. Popy makan bersama Nico di kantin. Hasya sibuk mengurus kegiatan ekstrakurikuler-nya. Nayla sudah tidak bisa lagi menahan rasa laparnya. Namun, pergi sendirian ke kantin tidaklah menyenangkan bagi Nayla. Ingin bergabung dengan Popy, pastilah di sana ada Adit dan Rafa.
"Kalau lapar jangan di tahan." Farel yang baru saja masuk ke dalam kelas langsung duduk di sebelah Nayla. Lalu menyerahkan roti serta minuman ke Nayla.
Nayla tersenyum melihat perhatian kecil dari Farel, "makasih."
"Sama-sama. Oh ya, lo tahu gak Rafa dimana? Dari kemarin malam dia gak pulang, gue tanya Adit sama Nico, mereka juga gak tahu."
"Raf-Rafa?"
"Iya. Tadi malam dia pergi pakai mobil. Setahu gue dia gak suka keluar pakai mobil. Lo tahu gak dia di mana?"
Nayla diam sejenak, lalu memutar tubuhnya menghadap Farel. "Kemarin Rafa datang ke rumah gue..., dia nembak gue."
Farel menelan ludah saat tahu bahwa Rafa telah menyatakan perasaannya kepada Nayla. "Bagus, lo terima gak?" kata Farel berusaha terlihat baik-baik saja.
"Sebelumnya gue minta maaf Rel. Gue gak punya rasa apa-apa sama Rafa."
"Maksud lo?"
Keduanya saling tatap. Farel sangat terkejut mendengar pernyataan Nayla.
"Gue gak bisa berpura-pura lagi. Gue cuma jadiin Rafa pelampiasan Rel,"
Farel mengepal tangannya kuat lalu berdiri dari duduknya. Rahangnya mengeras, tatapannya tajam. "Pelampiasan?"
"Gue gak tahu kalau sebenarnya Rafa suka sama gue. Gue gak maksud bikin dia sakit hati Rel. Gue dekat sama dia agar lo cemburu, karena gue masih sayang sama lo Rel. Gue gak tahu kalau semuanya bakal kaya gini. Rafa gak pulang gara—"
"Bego!" bentak Farel. Ia memang cemburu saat tahu Rafa dan Nayla dekat. Tapi di satu sisi ia bahagia melihat senyum lebar Rafa tiap kali menceritakan Nayla. Meski berpisah lama, Farel tahu bagaimana Rafa berusaha agar dapat memiliki Nayla. Meski sesak terus saja terasa, Farel ikhlas jika Nayla bersama Rafa. Tapi nyatanya, Rafa hanya menjadi pelampiasan gadis yang kini duduk di hadapannya. Farel tidak dapat membayangkan, betapa sakit perasaan saudaranya tersebut.
"Gue tahu gue bego, tapi sekeras apa pun gue berusaha, perasaan gue ke Rafa semuanya bohong. Semuanya cuma pura-pura. Rafa adalah musuh gue. Gue baik sama dia karena gue tahu dia punya penyakit serius. Gue kasihan sama dia. Gue benar-benar minta maaf karena sudah mempermainkan Rafa gitu aja." jelas Nayla panjang lebar.
"Musuh? Penyakit serius?"
Nayla berdiri dari duduknya dan menatap Farel lekat. "Gue cuma sayang sama lo Rel. Dari dulu gak ada yang gantiin posisi lo di hati gue. Termasuk Rafa, cowo ngeselin yang kerjaannya bikin gue kesel. Setiap hari dia nyicil rasa benci di hati gue. Lama-kelamaan rasa itu penuh, terkunci, gak bisa dibuang apa lagi dirubah dengan rasa yang lain. Gue benci dia."
"Gue gak butuh penjelasan itu. Jelasin soal penyakit serius yang—" Farel menahan ucapannya akibat rasa sakit yang ia rasakan di area perut. Tubuhnya mulai membungkuk, tangannya memegang perutnya yang sakit.
"Rel, lo kenapa?" cemas Nayla lalu membantu Farel untuk duduk. Namun rasa sakit yang Farel rasakan kini benar-benar tak tertahan. Hingga kepalanya jatuh ke meja dan matanya terpejam.
"Farel!!" teriak Nayla sambil menggoncang tubuh pria disebelahnya.
"Rel, lo kenapa?! Farel bangun?!" teriak Nayla lalu segera mengambil ponselnya. Dengan cepat ia menghubungi Popy, memberitahukan keadaan Farel dan meminta bantuan untuk membawa Farel ke UKS.
* * *
Nico berjalan ke sana kemari seperti setrika. Farel tak kunjung sadar. Sementara Nayla terus mencemaskan Farel.
"Kita harus telepon orang tuanya." kata Adit membuat semua mengalihkan pandangan.
"Emang lo ada nomor orang tuanya Farel?" tanya Nico.
"Bukannya kita punya nomor bokapnya Rafa."
"Oh ya, gue lupa mereka saudara."
"Ya sudah, buruan telepon." timpal Nayla—mengundang tatapan sinis dari Hasya.
"Gak diangkat." kata Nico yang baru saja menelpon ayah Rafa.
"Telepon Rafa aja." usul Popy.
Tanpa pikir panjang Nico langsung menghubungi Rafa. Tak menunggu waktu lama, telepon diangkat. Nico langsung menyampaikam hal yang terjadi pada Farel. Belum kelar ia berbicara, telepon langsung terputus. Nico tahu Rafa begitu cemas dengan keadaan Farel.
"Rafa akan segera ke sini."
"Tapi, dia gak takut? Dia kan gak sekolah, masa tiba-tiba datang jemput Farel?" tanya Popy bingung.
"Rafa gak peduli persoalan kecil kaya gitu, yang terpenting Farel cepat ditangani." jawab Nico sambil merangkul pundak Popy.
"Maksudnya..., Farel punya penyakit serius?" tanya Nayla yang sejak tadi berdiri di dekat Farel.
"Iya, ginjalnya bermasalah."
"Apa?! Jadi Rafa sama Farel punya penyakit yang sama?"
"Rafa? Rafa gak sakit, dia baik-baik aja." jelas Nico membuat hati Nayla terasa sesak. Ia menatap Farel yang kini terbaring lemah. Cairan bening mulai memenuhi matanya.
"Jadi, yang cuci darah itu Farel, bukan Rafa?" tanya Nayla lalu menatap tajam Popy.
"Gu—gue nggak tahu." jawab Popy gugup membuat Nico peka kalau pacarnya itu, takut.
"Gue sudah bilang, jangan menyimpulkan sesuatu yang belom jelas kebenarannya!" bentak Nayla membuat Hasya melotot dan menarik lengan Nayla.
"Lo gak lihat Farel lagi sakit." kata Hasya sinis, membuat Nayla semakin emosi.
"Kenapa?! Gara-gara dia, gue harus pura-pura bersikap manis di depan Rafa," Nayla mendekat dan menunjuk wajah Popy. "Gara-Gara dia—"
"Jangan berani nunjuk Popy!" bentak Nico lalu menepis tangan Nayla cukup kuat. Membuat Popy panik dan segera menahan tubuh Nico agar tak terpancing emosi.
"Gue tahu lo orang yang Rafa cintai. Orang yang sahabat gue cintai! Tapi bukan berarti gue gak berani sakitin lo! Sekali lagi, jangan nunjuk Popy kaya tadi."
"Lo belain pacar lo yang super lemot ini hah?!" ucap Nayla meremehkan, membuat Adit dan Hasya geleng-geleng kepala. "Gue sampai heran, kenapa lo bisa suka sama cewe lemot kaya dia. Pemikirannya itu lelet, makannya doang yang cepet." sinis Nayla membuat Hasya tak mampu menahan dirinya.
"Lo sadar gak siapa yang barusan lo katain?!" bentak Hasya lalu mendorong kuat bahu Nayla. "Lo memang baru Nay. Tapi jangan lupa, kita sahabat. Gak peduli cepat atau lama kita bersama—"
"Kalian cuma temen bagi gue. Bukan sahabat."
Cairan bening tumpah dari mata Popy, begitu juga dengan Nayla. Popy merasa sesak saat tahu begitulah Nayla menganggap dirinya dan Hasya. Bahkan perkataan Nayla yang menjelekkan dirinya, begitu menusuk hatinya.
"Gue emang lemot Nay. Makan doang gue cepet. Tapi gue gak—" Popy menahan perkataannya. Air mata terus keluar, membuat Popy tak sanggup dan memutuskan untuk pergi keluar dari UKS. Sementara Hasya tetap menatap Nayla dengan sinis."Gue dan Popy. Bukan sahabat. Bukan teman. Bukan keduanya buat lo." gumam Hasya lalu keluar dari UKS.
Nayla tak bisa lagi menahan air matanya. Air mata yang tadinya cuma setetes, kini menjadi tak terhitung. Terus saja keluar. Membasahi wajah cantiknya. Nayla memaki dirinya dalam hati. Ia tahu yang barusan ia lakukan salah. Ia tahu ia telah menyakiti hati kedua temannya. Nayla merasa menyesal. Ia ingin menarik semua ucapannya, tapi tidak mungkin bisa. Terlebih ia tahu, bahwa Farel mengalami sakit yang cukup serius. Rasa sakit yang Nayla rasakan kini terasa lengkap. Ia membuat rusak pertemanannya, sekaligus membuat rusak hubungan antar dua saudara, Rafa dan Farel. Nayla merasa ada yang salah dengan dirinya. Ia takut, saking takutnya ia kehilangan akal. Ia tak pernah mau seperti sekarang. Tapi Farel benar-benar membuatnya bodoh, karena rasa yang belum hilang.
Rafa datang dengan napas tersengal-sengal. Ia melihat Nayla menangis tepat disebelah Farel. Namun kali ini ia tak mau mempedulikan gadis tersebut. Ia segera bergegas membawa Farel menuju rumah sakit.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hello Nayla [TAMAT]
Teen Fiction"Caraku mencintai bukanlah dengan memilikinya, Tapi dengan cara melindunginya, membuatnya bahagia..., tersenyum. Dan mengobati semua lukanya." - Rafabry Andika(Rafa) [ 1216 ] [ DILARANG MENJIPLAK CERITA INI! CERITA INI MURNI DARI PEMIKIRAN PENULIS...