Sebelas

6.8K 408 14
                                    

Popy sangat kaget saat Nico datang ke rumahnya. Ia sendiri tidak tahu, darimana pria itu mendapatkan alamatnya.
Popy benar-benar bingung. Terlebih Nico mengajaknya jalan. Popy frustasi seketika.
Karena ia tak melakukan persiapan.

Popy keluar dari kamar dengan percaya diri. Menghampiri Nico yang menunggunya di ruang tamu.

"Nic, maaf, ya, PR gue numpuk. Jadi, gue gak bisa jalan sama lo." Ucap Popy, meskipun ia ingin sekali pergi berdua dengan Nico.

"Kalau gitu, gue bantuin, ya?"

"Bantuin... gue ngerjain PR?"

"Iya, anggap aja belajar bareng."

Popy melongo tidak percaya. Alasannya untuk menghindar, gagal total. Bahkan Popy belum siap jika harus berduaan dengan lawan jenis. Terlebih pria seperti Nico. Awalnya Nico biasa saja baginya. Tapi semenjak Nico mulai mendekatinya, Popy mulai sadar betapa tampannya Nico. Sebab itu ia grogi jika harus berduaan dengan Nico. Ia takut, akan terkena serangan jantung, akibat tidak kuat menahan pesona Popy.

"Gue bisa, kok, ngerjain sendiri." Elak Popy, supaya Nico pergi.

"Ya udah. Bilang aja kalau lo gak suka sama gue. Biar gue gak jadi orang bodoh, yang terus-terusan berusaha deket dengan lo. Sementara lo, berusaha menjauh dari gue." Nico beranjak, memakai jaket yang sedari tadi berada di pangkuannya.

Popy terdiam. Perkaataan Nico barusan berhasil mengguncang hatinya. Popy menggigit bibir bawahnya.

"Bilang sama ibu, lo, gue pamit." Ucap Nico singkat, lalu berjalan menuju pintu keluar.

"Tunggu..." cegah Popy, membuat langkah Nico terhenti.

"Gue mau jalan sama lo." Sambung Popy, berhasil menciptakan senyum lebar di wajah Nico.

Nico berbalik. Menunjukkan betapa senangnya ia.

"Gue siap-siap, dulu."

Nico mengangguk, lalu kembali menunggu Popy.
Kurang dari lima belas menit, Popy kembali menghampirinya. Tak mau membuang waktu, Popy dan Nico memutuskan untuk pergi.

Popy sempat tidak percaya, ketika Nico datang ke rumahnya menggunakan mobil. Popy mulai berpikiran jika Nico takut ban motornya pecah karena menggonceng dirinya.
Popy menunduk. Lagi-lagi ia berpikir, bahwa dirinya tak pantas untuk pria setampan Nico.
Popy kembali berpikir, bahwa Nico hanya akan mempermainkannya.

"Stop di sini." Ucap Popy, membuat Nico menoleh.

"Kenapa? Lo berubah pikiran lagi?" tanya Nico, masih tetap menyetir.

"Gue merasa gak pantes jalan sama lo."

Nico menghentikan mobilnya. Dengan cepat Popy membuka sabuk pengaman.

"Lo mau kemana?" tanya Nico, panik, lalu menahan Popy.
Popy tak menjawab. Ia sendiri bingung harus pergi kemana.

"Gue cuma punya satu pertanyaan, lo suka atau gak sama gue?" tanya Nico, lagi.

Popy melirik tangan Nico yang kini menahannya.

"Cowok ganteng seperti lo, mustahil suka sama gue yang tampangnya begini." Tegas Popy lalu menarik tangannya.

"Cuma karena lo gendut, jadi lo beranggapan gak mungkin ada orang yang suka sama lo?"

Popy melotot.

"Emangnya cewe cantik doang yang boleh pacaran sama cowo ganteng? Dan sebaliknya. Semua itu tergantung hati. Kalau cinta diukur dari penampilan, gue gak bakal berusaha nyari alamat lo. Gue gak bakal mau jalan sama lo. Bahkan ngomong sama lo aja gue, ogah. Maaf kalau gue ngomongnya kasar. Gue cuma mau lo ngerti, kalau gue gak main-main dengan perasaan gue. Jadi..., kalau emang lo gak suka sama gue, gak masalah. Gue gak bakal ngejar lo lagi." Sambung Nico.

Hello Nayla [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang