Drama Dua

116K 4.6K 68
                                        

Aku mengetuk pintu yang menjulang di hadapanku. Tanganku turun memegang hendel pintu untuk membuka pintu itu setelah terdengar suara berat yang memberi izin untuk masuk dari dalam.

Aku hampir saja menghembuskan napasku keras-keras saat melihat sosok ayah yang tengah duduk di sofa hitam bersama seorang pria yang kira-kira berumur hampir sama dengan ayah dan dua orang pria muda lainnya. Aku mengenali salah satunya, Damar. Tapi tidak dengan pria yang satunya. Wajahnya asing untukku.

"Selamat siang. Maaf, apa aku terlambat?" ucapku saat sampai di hadapan mereka. Pria yang seumuran dengan ayah tersenyum padaku, ia memiliki aura yang ramah. Sangat berbeda dengan ayah yang memiliki aura kurang menyenangkan --untukku pribadi.

"Tidak, sayang. Silahkan duduk." ucap pria itu, senyum belum hilang dari wajahnya. Oh, mungkin saja pria ini ayah Damar. Well, aku belum pernah bertemu samasekali dengan orang tua Damar. Jangankan orang tuanya, Damar saja baru ku temui dua hari lalu di kantor ayah, dalam situasi tidak menyenangkan pula!

Aku balas tersenyum, kemudian duduk di sebelah Damar. Bukannya aku sengaja atau apa duduk di sebelah Damar, tapi memang hanya ini tempat yang kosong. Aku berhadapan dengan ayahku dan ayah Damar. Sedangkan pria muda yang tidak ku tahu siapa, duduk di ujung meja. Tempatnya duduk sangat strategis untuk menjadi pusat perhatian.

Aku menoleh pada Damar yang melihat ke arahku dengan tatapan datar. Membuatku menaikan sebelah alisku, lalu kembali meluruskan pandanganku ke depan. Yang berarti menghadap pada ayah.

"Jadi," aku mulai bicara. "Apa yang membuatku di haruskan untuk datang ke sini?" tanyaku pada ayah. Yeah, aku hanya di suruh datang ke kantor yang bukan kantor ayahku tanpa diberi tahu alasan yang spesifik selain alasan, ada yang penting.

"Rizki bisa menjelaskan semuanya sama kamu." jawab ayah tak acuh. Ia melirik pria yang duduk tenang di ujung meja, memberinya isyarat untuk menjelaskan.

Jadi, pria dengan rambut hitam, berkulit putuh dan tinggi yang matanya berwarna coklat terang juga alis tebal itu bernama Rizki. Oh. Tampan menurutku.

Rizki menegakkan tubuhnya, menaruh sebuah map di atas meja. Otomatis, semua perhatian kami tertuju padanya.

"Ini soal perjanjian yang di buat untuk membantu perusahaan om Reihan," Rizki berbicara dengan tenang. "Ini adalah surat perjanjian yang harus di tanda tangani oleh kamu dan Damar. Karena om Reihan dan om Wijaya sudah menanda tangani perjanjian ini lebih dulu." lanjut Rizki. Ia membuka map yang tadi di taruhnya di atas meja dan menyodorkannya kehadapanku dan Damar.

Aku mengernyit, ragu untuk membaca surat itu. Sedangkan Damar tetap bersikap tenang di sebelahku. Sejak tadi, yang suaranya belum ku dengar samasekali adalah suara Damar. Dia belum mengatakan apapun.

"Baca dulu, baru setelah itu kalian berdua tanda tangani." ucap om Wijaya tiba-tiba, ia mengedikan dagunya pada kertas yang sejak tadi hanya ku pandangi.

"Apa setelah membaca, lalu merasa tidak setuju, aku boleh menolak?" tanyaku. Kata-kata itu keluar sebelum aku sempat memerintahkan otakku untuk memprosesnya. Dan, sepertinya perkataanku membuat ayah tidak senang. Karena sekarang, tatapan tajam ayah tertuju padaku.

Suara kekehan terdengar pelan, membuatku menoleh pada om Wijaya yang tengah tersenyum geli menatapku. Lagi-lagi aku mengernyit. Memangnya apa yang lucu? Apa pertanyaanku terdengar seperti lelucon untuknya?

"Apa saat kau mengetahui hal ini kau di beri pilihan untuk menolak?" tanya om Wijaya. Pertanyaannya menjawab pertanyaanku. Sejak awal, seharusnya aku sadar, bahwa tidak ada kata menolak dalam hal ini.

Damar menghembuskan napasnya, bersandar pada punggung sofa sambil menopang kepalanya dengan satu tangannya yang bertumpu pada lengan sofa.

"Cepat tanda tangani, jangan banyak bertanya. Dan berhentilah berpikir untuk menolak." crap! Damar berkata dengan dingin seolah tidak peduli. Oh, bukankah dua hari lalu aku yang berkata padanya untuk belajar menerima? Dan sekarang, di sini, yang masih berpikir untuk menolah adalah aku. Ya Tuhan....

Karena Aku MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang