Drama Empat

89.2K 3.2K 35
                                    

Damar menghentikan mobil kami di depan sebuah rumah minimalis. Aku tersenyum, langsung menyukai rumah ini, rumah yang tidak terlihat mewah dan tidak memiliki banyak kaca.

Aku segera turus saat Damar telah mematikan mesin mobil. Aku membuka pagar hitam yang menghalangi rumah, melangkah masuk ke halaman yang tidak terlalu besar. Rumput hijau dan beberapa pot tanaman menjadi penghias taman kecil yang indah.

Damar membuka pintu rumah, dan masuk dengan aku yang mengekor di belakangnya. Rumah ini menipu. Dari luar ia terkesan minimalis, tapi dari dalam kesan mewah langsung mendominasi penglihatanmu. Luas dan nyaman. Aku tidak mau mendeskripsikan secara detil bagaimana rumah ini, karena kata 'mewah' sudah cukup untuk membuat kalian membayangkan sendiri.

"Suka?" suara Damar tiba-tiba terdengar, membuatku menoleh ke arahnya. Aku mengangguk singkat dan berjalan menuju tangga.

Aku menaik satu per satu anak tangga dengan tenang. Ini rumahku dan Damar. Rumah kami. Ya... Setidaknya, untuk satu tahun tiga bulan. Tiba-tiba aku merasa ada yang tersenyum sinis di kedalaman hatiku saat mengingat aku tidak akan selamanya bersama Damar.

Aku membuka pintu kamar yang berada di samping tangga. Dan lagi, aku langsung menyukai kamar ini. Biarpun kamar ini tidak seluas kamarku, tapi aku tetap menyukainya. Aku memilih kamar ini.

"Damar, aku pilih kamar ini ya?" aku bicara pada Damar yang sedang menaiki anak tangga.

Damar memperlambat langkahnya, dia menatapku sambil mengernyit. "Pilihan yang bagus. Berarti ini kamar kita." ucapnya setelah melongok sebentar ke dalam.

Sekarang aku yang mengernyit, "Kamar kita?" aku bertanya dengan nada bingung yang kentara.

"Iya. Kamu sendiri yang bilang kita gak perlu ribut siapa tidur dimana. Jadi kita sekamar. Toh aku juga gak akan ngapa-ngapain kamu." well, ini kata-kata terpanjang Damar yang ia ucapin ke aku. Jadi, sekamar? Oh, oke gak masalah.

Aku melangkah masuk ke dalam kamar tanpa membalas perkataan Damar. Aku kembali berpikir, kehidupan macam apa yang akan aku dan Damar jalani. Kami hanya tinggal berdua. Berarti, aku yang harus berperan dengan baik sebagai seorang istri, karena di sini, aku istrinya.

Aku menghela napas, membaringkan tubuhku di atas kasur berukuran king size. Enaknya rumah ini sudah lengkap dengan segala macam perabotan, jadi aku benar-benar hanya tinggal pindah raga tanpa lelah mengurus ini dan itu.

Aku mendengar sayup-sayup suara Damar, "Iya, oke. Iya, ini aku mau jalan. Kamu tunggu di sana ya." setelah itu, aku tidak mendengar suaranya lagi. Dengan cepat aku bangkit dari kasur, keluar kamar. "Damar, mau kemana?" tanyaku pada Damar yang sedang menuruni anak tangga. Damar berhenti melangkah.

"Pergi keluar." jawabnya singkat dari balik bahu tanpa mau repot-repot menghadapku. Setelah itu ia kembali menuruni anak tangga dan keluar rumah. Suara mobil yang perlahan semakin menjauh terdengar ditelingaku.

Untuk kedua kalinya dihari ini, aku merasa bodoh. Aku hanya mematung di tempatku berdiri, menatap kosong tempat Damar berdiri sebentar tadi.

Samar-samar aku mulai bisa menebak, atau tepatnya memperkirakan. Kalau kehidupan yang akan kujalani dengan Damar akan persis seperti kebanyakan cerita fiksi yang kubaca.

Aku mengerjap, menarik napasku dan berjalan menuruni tangga. Kakiku melangkah ke pintu kaca yang memperlihatkan air berwarna biru kolam renang. Aku menggeser pintu kaca itu, aroma kaporit menguar ke dalam indra penciumanku.

Sudut mataku menangkap ayunan untuk sendiri yang berbentuk oval, aku berjalan mendekat, duduk perlahan di dalam ayunan yang beralaskan bantalan empuk. Aku langsung yakin kalau ayunan ini akan menjadi tempat favoritku.

Aku mendesah lega, menyandarkan tubuku, ayunan ini benar-benar nyaman. Rasa kantuk merayapiku secara perlahan.

Aku membuka mataku yang terasa berat, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan mataku dengan cahaya jingga yang menyerbu retina mataku.

Aku berdecak, aku tertidur telalu nyenyak sampai sesore ini. Dengan malas aku bangkit, berjalan memasuki rumah. Ini sudah sore, apa Damar sudah pulang?

Ada perasaan kecewa saat aku tidak menemukan tanda-tanda kehidupan lain selain diriku. Aku masih sendirian, Damar belum juga pulang.

Apa aku akan sering sendirian seperti ini?

Lagi-lagi ada yang tersenyum sinis penuh ejekan di kedalaman hatiku. Mengatakan kalau aku terlalu bodoh karena aku masih bertanya seperti itu.

Aku menggigit bibirku, mengusap wajahku pelan sebelum berjalan ke dapur dan membuka kulkas. Tiba-tiba aku merasa lapar. Dan aku bersyukur karena kulkas telah terisi penuh dengan bahan makanan.

Well, bahan makanan. Berarti, dengan kata lain, aku harus memasak.

"Ya Tuhan...." aku menggaruk kepalaku yang samasekali tidak gatal dengan kesal. Aku tidak begitu baik dalam memasak. Tapi dengan keadaan seperti ini, apa boleh buat.

Aku baru saja mengulurkan tanganku untuk mengambil telur dan kornet saat ponsel milikku bergetar. Aku menutu pintu kulkas, merogoh kantung celana denimku. Layar ponselku menampilkan nomor asing.

Aku ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkat panggilan tersebut.

"Hallo, Ariana?" aku memejamkan mataku mendengar suara familier yang sudah lama tidak ku dengar. Dan saat itu juga aku merasa menyesal telah mengangkat panggilan ini.

================================

Hallooo~ Drama Empat dateng. XD

Aaaa~ makasih yaa buat yang udah nunggu, vote juga komen. Dan yang udah masukin ke reading list juga jadi fans. Terima kasih banyak.

Eum, sori ya karena Drama Empat munculnya lebih lama daripada part-part yang sebelumnya. u.u

Eum, ini maap yaa kalo rada gak nyampung sama prolog juga deskripsi. Soalnya aku gampang berubah pikiran. Takutnya nanti cerita ini melenceng dari imajinasi awalku. Hehe.

Oke, see you Drama Lima yaa. ^^

(peluk cium)

Plis vote and komen. Tengkiyu. ^^

Karena Aku MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang