Drama Duapuluh Dua

74.8K 2.7K 80
                                    

Seperti matahari yang malu-malu mengintip di balik awan, begitulah cara aku melihat ke arah Damar. Tapi plis, aku bukan cuma mengintip malu-malu, melainkan mengintip malu bercampur kesal. Kenapa? Ha! Kenapa? Kalian ingat 'kan insiden apa yang terjadi tadi pagi sebelum masuk kamar mandi? Ingat? Tidak! Ha, bagus, bagus kalau kalian tidak ingat. Dan lebih bagus lagi kalau kalian mau pura-pura tidak ingat.

Sekali lagi, aku melihat ke arah Damar yang sedang santai menghadap laptop dengan secangkir kopi di atas meja makan. Ya, kami memang sedang berada di dapur. Belum beranjak kemanapun sejak sarapan jam 8 tadi.

"Kamu, nggak ke kantor?" tanyaku sambil lalu. Jariku bergerak melingkar, mengikuti bibir gelas cokelat dinginku.

"Nggak." sudah. Itu saja. Cuma kata 'nggak' untuk pertanyaan empat kataku? Tidak ada penjelasan untuk alasan, atau apa-apa? Sepertinya jaman sekarang irit bicara itu perlu ya?

Setelah meng-oh-kan jawaban Damar, aku kembali meminum cokelat dinginku, menikmati setiap rasa manis-pahit yang mengalir ke tenggorokanku. Ah, memang tidak ada yang lebih menyenangkan dari perpaduan dingin dan rasa manis-pahit. Setidaknya, cokelat dingin ini membantu untuk menjaga mood-ku, supaya tetap di taraf normal.

"Apa?" aku mengernyit, saat menurunkan gelasku dan mendapati Damar sudah menatapku dengan pandangan serius. Ini orang kenapa sih hari ini?

"Denger," sekarang Damar sudah menumpuk kedua tangannya di atas meja, dan menyingkirkan laptopnya ke samping. "Papa ngasih kita pegang kontrak nikah kita 'kan?"

Aku memiringkan kepalaku. Tumben ngomong soal surat kontrak nikah. "Iya. Kenapa? Tumben ngomong soal itu." entah kenapa, tiba-tiba aja perasaanku berubah jadi nggak nyaman. Semacam... Takut?

"Kamu yang simpen 'kan?" tanya Damar. Aku mengangguk, rasanya nggak perlu mengeluarkan suara untuk menjawab.

"Dimana? Soalnya aku nggak bisa nemuin surat itu di rumah ini." kata Damar. Sekarang alisnya saling bertaut. Oh... Jadi Damar sudah mencari-cari toh.

Tanpa menjawab, aku bangkit dari dudukku, melangkah menuju kulkas. Bisa kurasakan tatapan heran Damar di punggungku, saat aku membuka kulakas dan membuka laci yang ada di bawah freezer, untuk mengambil surat kontrak nikah kami yang terbungkus plastik dari dalam sana.

"Nggak salah?" tanya Damar dengan wajah heran, ia menggelengkan kepalanya tidak percaya saat aku sudah kembali ke tempat dudukku tadi dan menyerahkan surat tersebut pada Damar.

Aku menggeleng, kemudian meminum cokelat dinginku. Masih enggan untuk mengeluarkan suara. Entah lah, mood-ku sepertinya merosot.

"Dapet ide absurd dari mana buat naro ini surat di dalem kulkas?" ya ampun. Aku tidak tahu kalau Damar punya tingkat yang parah untuk penasaran pada hal yang tidak penting.

"Jiplak dari drama korea." akhirnya aku bersuara, karena pertanyaan Damar tidak bisa kujawab dengan menggeleng atau mengangguk. Iya, drama korea. Tahu drama Full House 'kan? Nah dari drama itu.

Damar memutar bola matanya, jengah karena aku membawa-bawa drama korea untuk hal ini. Sekadar informasi, minggu-minggu kemarin, padahal Damar lho yang menemaniku menonton dvd drama korea setiap malam atau ketika senggang.

"Oke, sekarang aku mau nanya serius ke kamu." Damar menatap surat kontrak nikah kami yang ada di tangannya, lalu beralih padaku. "Kamu mau kita gimana?"

Aku mengernyit. "Apanya yang gimana?" tanyaku. Dasar deh, Damar kalau ngomong sukanya sepotong-sepotong tidak jelas.

"Maksud aku," Damar menarik napasnya dalam. "Kamu mau mau gimana? Cerai atau tetep sama aku. Ayah kamu... Udah lunasin hutangnya dalam waktu lima bulan ini." jelas Damar, suaranya memelan pada kalimat terakhir.

Apa? Apa-apaan sih? Kenapa jadi ngomongin cerai begini? Terus semalem itu apa? Damar tuh apa-apaan sih?

"Kenapa nanya aku? Talak itu adanya di kamu. Aku nggak suka jadi perempuan yang nuntut suaminya cerai. Nanti dikira aku punya selingkuhan. Kalo kamu mau ceraiin aku, kenapa nggak ngomong aja. Nggak usah pake acara nanya segala." tidak, tidak. Aku tidak berteriak. Nada bicaraku tetap terkontrol, biarpun rasanya dadaku mendadak panas, dan rasa panasnya naik ke mataku.

"Sas, bukan begitu maksud aku." sekarang Damar yang kelihatan frustasi, padahal dia sendiri yang memulai topik ini. "Aku nggak mau dan nggak akan cerai kamu. Tapi aku berpikir tentang kamu, gimana kalo kamu mau bebas, makanya aku nanya kamu. Aku nyaman, aku terbiasa, dengan adanya kamu di sisi aku. Tapi gimana kalo kamu nggak begitu. Aku mikir gitu, Sas." kata-kata yang Damar ucap, entah kenapa terdengar menyebalkan. Padahal kalo dipilah-pilah, ada kalimat romantis di sana.

"Bebas? Apa selama ini aku terpenjara? Terbelenggu? Nggak 'kan? Aku nggak pernah merasa pernikahan ini sebuah penjara buatku. Aku seorang istri di sini, bukan tawanan atau narapidana. Biarpun cara kita menikah adalah paksaan, aku ngejalanin semuanya tanpa merasa terpaksa sedikitpun.

"Kamu itu suami aku. Kalo memang aku meminta cerai dari kamu, padahal selama ini kamu jadi suami yang baik, apa bedanya aku dengan orang gak waras? Kamu bilang, kamu berpikir tentang aku? Kalo memang kamu berpikir tentang aku, kamu nggak akan menanyakan hal ini sama aku, melainkan kamu akan berusaha untuk menjaga pernikahan ini sekalipun kontrak itu berakhir." aku berhenti bicara, menghapus kasar airmata yang menetes di pipiku. Ini kenapa jadi begini sih?

Damar mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya, menarik napasnya lamat-lamat sebelum akhirnya kembali menatapku. Aku refleks memalingkan wajah, tidak ada hal menyenangkan yang membuatku ingin menatap Damar saat ini.

"Maaf." kurasakan tangan hangat Damar menyentuh tanganku, menggenggamnya erat. "Sas, maaf. Kita nggak akan lagi membicarakan masalah ini, oke? Udah jelas. Nggak ada yang menginginkan perceraian di antara kita. Jadi, kontrak ini samasekali udah nggak berguna. Sepakat?" ujar Damar, suaranya lembut seperti biasa. Entah kata-katanya, atau suaranya yang memberikan efek ketenangan untukku.

Tangan Damar yang lain, meraih daguku, memaksaku untuk melihat ke arahnya. "Aku minta maaf, oke?"

Aku bergumam, mengangguk kaku. Rasanya, aku melupakan percakapan menyebalkan kami barusan, saat aku melihat senyum Damar yang terlihat lega.

"Saskia, sekarang kamu itu, separuh aku. Kalo kita terpisah, maka aku bukan lagi definisi dari kata utuh."

Dan yang terakhir kulihat adalah sepasang mata cokelat terang, sebelum bibir Damar, menyentuh bibirku.

--

Holla~~~ lululululu~ aku balik bawa pasangan Drama ini gyahahahaha. Kurang greget? Kurang greget? Emang~~ aku juga ngerasa gitu. Maap ya, kalo ini mengecewakan dan jauh dari ekspektasi kalian. *salamin satu-satu*

Tapi cuma ini yang bisa aku persembahkan buat kalian, cinta-cintaku *ceileh bahasa gue*

Udah deh pokonya gitu. Wkwk *apaan.*

Aku jadi mikir, kalo aku cuap-cuap begini, kalian baca gak sih? xD

Udah ah~ babay~

Salam,

Hana Akuma.

Karena Aku MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang