Drama Lima

88.5K 3.1K 72
                                    

"Ariana?" panggilan itu berulang. Aku masih diam, aku tidak ingin menjawab apapun. Hanya ada satu orang yang memanggilku dengan nama tengahku, hanya satu orang yang suaranya sangat familier tapi begitu takut untukku dengar.

Dia... Aku masih memiliki ketakutan terhadapnya. Dia... Masa lalu yang bahkan tak ingin ku tengok lagi. Dia mimpi burukku dua tahun lalu.

"Ariana aku tau kamu denger." dia berucap lagi. Entah untuk alasan apa tanganku gemetar. Aku menurunkan ponselku dari telinga, tanpa ragu menyentuh tulisan akhiri panggilan pada layar ponselku.

Jantungku berdegup cukup abnormal, keringat dingin merembasi kulitku. Sudah dua tahun, aku tidak pernah kalau ia akan muncul lagi. Aku pikir, Rian sudah benar-benar pergi dari kehidupanku sepenuhnya. Aku tidak pernah berpikir bahwa kenyataan akan membuatnya kembali hadir. Atau tepatnya, aku tidak pernah mau berpikir tentang kenyataan itu.

Seketika aku merasa takut. Takut kalau ia akan mendatangiku secara tiba-tiba. Tidak. Dia tidak boleh menemukanku. Tidak.

Dengan buru-buru aku keluar dari dapur. Sudah tidak ada rasa lapar lagi yang menuntutku. Langkahku bisa dibilang berlari menuju pintu rumah. Pandanganku tidak fokus sampai akhirnya aku menabrak tubuh Damar yang baru saja membuka pintu rumah.

"Wow!" seru Damar. Ia memegangi tubuhku yang limbung ke belakang. Ia menaikan satu alisnya.

"Rumah ini berubah jadi arena lari, ya?" ucapnya datar. Ia masih memegang kedua sisi lenganku, ia menatapku minta penjelasan.

"Ma-maaf." ujarku. Oh ya ampun, gemetar membuat ucapanku terputus.

"Kamu kenapa?" tanya Damar. Aku melepaskan diri dari pegangannya, napasku yang tadinya berantangan sudah mulai teratur.

"Nggak apa-apa." jawabku singkat. Tapi sepertinya Damar kurang puas dengan jawabanku. Karena ia kembali bertanya.

"Mau kemana lari-lari kaya tadi?"

Kemana? Aku merasa bingung untuk menjawab. Kemana? Iya, aku mau kemana? Kenapa tadi aku lari, aku gak tahu tujuanku kemana. Yang aku tahu, Rian tidak boleh menemukanku. Tapi, bukankah aku baru saja melakukan hal yang tidak masuk akal? Buat apa lari? Karena kemungkinan Rian menemukan aku itu kecil, aku udah gak tinggal di rumah mama, dia cuma tau rumah orang tuaku. Berarti... Aku aman 'kan?

"Saski?" Damar melipat kedua tangannya di depan dada. Aku mengerjap, melirik keluar yang sudah hampir gelap.

"Kamu udah pulang?" tanyaku berusaha mengalihkan pikiranku. Damar kembali menaikan sebelah alisnya, ia menegakan tubuhnya.

"Kamu liat sendiri aku ada di sini." jawabnya santai, setelah itu berjalan melewatiku.

Aku merutuki diriku sendiri yang bertanya bodoh seperti tadi. Tapi itu 'kan basa basi, emang Damarnya aja yang gak bisa diajak basa basi.

Aku berbalik, berjalan mengikuti Damar setelah menutup pintu rumah yang masih terbuka.

"Kamu udah makan?" aku bertanya pada Damar yang sudah menghempaskan tubuhnya ke sofa, ia tampak lelah. Well, memangnya dia abis kerja apa sampe capek begitu?

"Udah tadi siang sama temen." aku hanya berohria mendengar jawaban Damar. Karena aku merasa tidak ada yang perlu aku bicarakan lagi dengan Damar, aku melangkahkan kakiku menuju tangga. Tapi langkahku terhenti saat suara Damar memanggilku.

"Ya?" sahutku, aku hanya membalikan setengah tubuhku. Damar tampak ragu sebentar sebelum akhirnya membuka mulutnya untuk bicara.

"Bisa kita bicara sebentar?" ucapnya. Aku mengangguk mengiyakan dan langsung berbalik ke arah Damar, berjalan menghampirinya dan duduk di sampingnya.

Karena Aku MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang