Drama Empatbelas

81.5K 2.8K 14
                                    

Ha-haloooo~~~ aku... minta maap atas ketidak apdetanku selama sebulan lebih ini (ampun) dan maap juga untuk Drama Empatbelas ini. Ini pasti ngebosenin, dan mengecewakan. sangat banyak narasi disini, dan sedikit percakapan. aku mohon maaf membiarkan kalian menunggu, dan alah mengecewakan ketika datang. maaffff~ aku usahakan Drama limabelas akan lebih baik daripada ini #bow

Selamat membaca~

.

.

.

.

Aku... membeku. Bukan karena hal buruk, melainkan karena hal biak. Ya hal baik. Saat suamimu mengatakan bahwa ia mencintaimu, itumerupakan hal baik 'kan? Ya kurasa begitu.

Tapi, yang kurasakan untuk hal baik tersebut bukanlah kebahagiaan. Aku tidak merasa senang sedikitpun. Aku malah... merasa takut. Benar-benar takut sampai rasanya suara Damar saat ia mengatakan bahwa ia mencintaiku, terus berputar dikepalaku... Membuatku merasa tidak pantas.

Aku menggigit bibirku, dengan kasar kulepaskan pelukan Damar yang masih melingkupiku. Tidak, dia tidak seharusnya mencintaiku. Dia pantas mendapatkan yang lebih baik dariku.

"Aku keliatan bodoh... Bodoh banget." kataku sumbang, "dalam situasi ini yang ngerasa gak pantes, kenapa harus aku?" lanjutku. Aku terkekeh sinis, menatap Damar yang terlihat terkejut dengan kelakuanku.

"Aku gak pantes, banyak orang pasti bakal sependapat sama aku kalau mereka tau tentang aku yang gak 'utuh'. Mereka pasti bakal bilang, kalo aku ini gak seharusnya nikah sama lelaki baik seperti kamu. Ah... Kenapa kadang aku ngerasa hidup ini gak adil sama aku ya?" aku mengangkat satu tanganku untuk menyentuh kepalaku, menjatuhkan tas, dasi dan jas Damar yang kupegang, ke lantai begitu saja.

Hidup memang kadang tidak adil 'kan? Atau aku saja yang terlalu sinis memandang hidup, karena banyaknya hal tidak menyenangkan yang terjadi padaku? Tidak, memang hidup yang kadang tidak adil. Bukan aku yang sinis memandang hidup.

"Saskia." Damar memanggilku, ia melangkah mendekat padaku yang sudah menjauh beberapa anak tangga darinya. Ia menaiki undakan anak tangga tanpa sediktpun melarikan tatapannya dariku.

"Aku gak tau kalo cara berpikirmu sinis kaya gitu." ucap Damar, nada bicaranya terdengar dingin. Nada bicara yang sudah tidak pernah kudengar lagi darinya.

"Aku bicara kenyataan, karena memang kenyataannya begitu. Karena--"

"Apa orang banyak perlu tau?! Apa yang menikahi kamu adalah mereka?! Apa yang menjalani hidup sama kamu, adalah mereka?! Apa saat ini ada banyak orang yang melihat kita?! Kamu hidup buat dirimu atau mereka?!"

Aku terhenyak, menatap nanar ke arah Damar yang menatapku dengan amarah. Dadanya naik turun dengan cepat, menandakan gejolak emosi yang melandanya.

Aku mungkin telah mengatakan hal yang salah. Tidak, bukan mungkin. Tapi aku memang mengatakan hal yang salah.

"Apa yang aku ucap, mungkin sebuah kesalahan menurut kamu. Aku sadar aku salah. Tapi apa kamu ngerti, aku ngomong begitu karena aku mikirin kamu. Aku berpikir gimana kamu. Gak seharusnya kamu--"

"Kamu ngejadiin aku alesan untuk hal tidak menyenangkan yang tadi kamu ucapa? Apa gak salah? Kalo memang kamu bener-bener mikirin aku, kamu ak akan berkata seperti tadi. Kalo kamu memang berpikir tentang aku, seharusnya kamu tau, bukan kata-kata seperti tadi yang pengen aku denger dari kaum.

"Kamu gak berpikir tentang aku, kamu cuma berpikir tentang orang-orang dan cara mereka memandang kamu. Memangnya kalo orang-orang tau kamu gak 'utuh' kenapa? Toh yang nikah sama kamu itu, aku. Bukan mereka." ujar Damar. Setelah mengatakan hal-hal yang membuatku bungkam, ia berjalan melewatiku tanpa mengatakan apapun lagi.

Terdengar pintu kamar yang tidak jauh dariku, ditutup dengan keras. Damar marah, dia benar-benar marah. Baru kali ini aku meliatnya seperti itu, berkata dengan emosi yang terlihat nyata. Dan itu karenaku. Aku yang menjadi alasannya samapai ia bersikap begitu.

Aku berjongkok, mengambil barang-barang Damar yang tadi kujatuhkan, dengan tangan bergetar. Aku takut... Rasanya ada banyak bayangan buruk yang terus hilir mudik dalam kepalaku. Kejadian-kejadian tidak menyenangkanyang dipenuhi teruakan dan suara benda-benda dibanting.

Aku mendekap jas Damar, erat. Masih dalam posisi berjongkok, aku menenggelamkan wajahku pada jas Damar yang kupeluk. Berharap mendapat ketenangan dari aroma tubuh Damar yang tertiggal di sana, karena selama ini, setelah kejadian sore itu, Damar yang selalu memeluku saat aku mulai menangis mengingat segalanya.

Tapi kali ini, aku kembali menangis sendiri... Tanpa Damar yang melingkupiku dengan kehangatannya. Rasanya menyedihkan, saat aku harus menangis sendiri begini seperti dulu lagi. Ah, aku terlalu manja, aku terlalu bergantung pada Damar.

Padahal... Hubungan kami membaik belum dalam kurun waktu yang lama, tapi rasanya... seperti kami sudah selalu bersama bertahun-tahun.

Saat ia mengabaikanku seperti ini, ang kurasakan adalah kesesakan. Aku membutuhkannya...

Damar benar, aku hanya memikirkan oranag-orang dan cara pandang mereka terhadapku. Aku hanya takut menghadapi kenyataan kalau mereka akan menghinaku yang bersanding dengan Damar.

Aku... Aku... Entahlah. Aku terlalu egois.

Perlahan, aku bangkit dari posisi berjongkokku. Berdiri dengan lelah, dan mulai berjalan menuju kamar tanpa repot-repot menghapus jejak airmata yang membasahi wajahku.

Sekarang aku harus bagaiman? Apa yang harus kulakukan? Padahal beberapa puluh menit lalu, Damar baru saja mengatakan kalau ia mencintaiku. Tapi situasi saat ini, malah tidak mengenakan. Dan ini semua karena perkataan bodohku. Karena aku... Yang tidak pernah berpikir terlebih dahulu.

Setelah meletakan barang-barang Damar, aku merengsek masuk ke dalam selimut. Berniat kembali menangis mungkin.

Suara shower yang menyala, membuatku yakin kalau saat ini, Damar tengah berada di dalam kamra mandi. Ah, ia belum makan. Tapi, siapa yang mau makan setelah kejadian menyebalkan yang baru saja tercipta karena kelakuanku tadi?

Aku merutuki diriku sendiri, memaki kebodohanku. Sedikit harapan kecil, muncul dalam diriku. Harapan kalau Damar tidak akan marah lebih lanjut. Ia pasti akan bicara padaku setelah keluar dari kamar mandi, ia pasti akan merengsek ke dalam selimut setelah selesai memakai pakaian. Dan dia pasti akan memeluku... Menjagaku saat aku terlelelap. Ya, pasti.

Menit-menit yang berlalu, terasa seperti jam untukku. Aku menunggu, menunggu Damar keluar dan bersikap biasa terhadapku.

Tapi sekali lagi harus kukatakan... Kalu hidup terkadang tidak adil padaku.

Damar memang merengsek ke dalam selimut, berbaring disatu ranjang yang sama denganku. Tapi... ia memunggungiku. Membelakangiku seolah aku tidak ada.

Maaf... Kugigit bibirku untuk meredam suara isakanku.

Aku benci ketika harus melihat punggungnya. Ia terasa begitu jauh, sulit untuk kugapai. Sama seperti awal kami menikah.

Ini menyakitkan.

Dan ini adalah harga yang harus kubayar karena perkataan bogohku.

Karena Aku MencintaimuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang