Part 2

13.5K 748 21
                                    

Jangan lupa vote dan commentnya yaaa :*

-------------

"Hai, cabin 2!" kepala Nemo muncul dari balik tirai pembatas kabin. Aku sempat terperanjat karena aku sedang berdiri di depan tirai.

"Aduh! Sumpah lo ngagetin gue aja," sungutku sebal. Nemo tertawa puas. Sebenarnya nama pramugara sinting ini bukan Nemo, namanya keren banget loh menurutku, Caesar Giovanno dan ada nama keluarga di belakangnya yang tidak perlu kusebutkan, hehehe. Nemo ini tidak suka namanya disamakan dengan Caesar di tv itu yang kerjaannya cuma goyang-goyang gak jelas. Berhubung dia juga suka main Call of Duty, dia punya ide untuk membuat 'callsign' Nemo. Entah ya apa tujuannya memakai callsign itu.

"Ibu-ibu mah kerjaannya ngomel aja," intonasinya menurun saat Ibu Purser—she's quite old to be called 'Purser' only—melewati kabin dan memincingkan matanya kepada Nemo, "Apa kabar lo, Bu? Udah lama banget gak terbang sama elo."

Aku sih sebenernya ingin menjawab 'Baik banget, lo? Asli, gue kangen sama lo, Nem!' tapi karena aku lebih senior, aku harus bisa jaga muka.

"Baik, lo gimana? Enak gak si pensil terbang?"

"Ah, kabinnya sempit, Bu, Gak cocok banget sama badan gue yang segede gaban kaya gini," katanya, guyon. Padahal badannya juga standar pramugara, kok. Gak terlalu besar dan gak terlalu kecil. Cuma yang aku tahu si Nemo ini agak-agak parno sama tempat sempit, "Eh, gue balik ke kerajaan dulu ya, udah dipanggil sama Mbak MdC."

Nemo menutup tirai pembatas dan Mirna, si Mbak MdC yang tadi disebut Nemo muncul dari balik tirai. Aku tersenyum kepadanya dan dia juga balik tersenyum kepadaku. Aku tidak begitu segan dengannya kalau dari sisi umur (kami hanya terpaut dua tahun saja) tetapi aku tetap menghormatinya sebagai 'bawahan'.

"Ra, kamu sudah selesai check list di galley?" tanyanya. Ya Tuhan, aku sampai lupa kalau aku harus melakukan itu bersamanya.

"Belum, Mbak. Saya akan mengerjakannya sekarang.." aku membungkuk dan segera berjalan cepat ke galley. Kehebatan Mirna yaitu gak pernah nyuruh-nyuruh, dia akan bertanya kepada crew-nya dalam bentuk pertanyaan yang menurutku malah lebih ke sindiran. Tetapi itu sangat membantu daripada aku kelupaan melakukan check list.

£

"Hai, sayang."

Hanya itu yang kudapatkan saat aku masuk ke dalam mobil setelah melakukan penerbangan yang sangat melelahkan. No more kisses, no more 'miss you', everything is flat. Aku tidak tahu sejak kapan hal romantis yang dilakukan Deva hanya sebuah panggilan 'sayang' dan oleh-oleh dari Jepang.

"Landing jam berapa?" tanyaku, mencoba menyindirnya karena dia tidak menelponku sama sekali.

"Jam satu, sori ya aku tidak meneleponmu. Hpku lowbatt,"

Lowbatt atau sengaja gak di-charge biar kamu gak bisa nelpon aku, Dev? Pekikku dalam hati.

Seperti biasa, di dalam mobil seperti ini aku melepas sanggulku karena Deva tidak suka melihat rambutku disanggul saat bersamanya, kecuali kalau kita sedang 'beruntung' ditaruh di penerbangan yang sama. Gak mungkin dong aku melepas sanggulku setiap kali berpapasan dengan Deva?

Tangan kirinya akan menggenggam tanganku sepanjang perjalanan singkat kami ke rumah. Tetapi kali ini berbeda, tangannya dingin, tatapannya tak lagi terfokus untuk melihat wajah lelahku, dan mulutnya tak lagi mengejekku dengan berkata 'Jangan dihapus make-upnya, mukamu jadi kaya tikus gak niat hidup' dan keributan sambil lempar-lemparan botol akan terjadi di dalam mobil ini. Hm, lebay banget.

Devair Part. 2 (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang