Part 17

11K 693 19
                                    

Hai guys! Sorry ya updatenya pendek dan lama, authornya lg meriang huhuhuhu ya.. dibaca dulu lah apa yang ada huehuehueheh

-

Satu pesawat lagi bersama Deva di bulan ini. Ini schedulernya sekongkolan Deva atau bagaimana, ya?

Setelah melewati penerbangan yang cukup panjang, kami mendarat di Surabaya. Deva berjalan paling belakang, mengobrol dengan pilot yang lain, begitupula dengan aku yang mengobrol dengan pramugari lain di barisan paling depan.

"Minggir minggir, kernetnya mau duduk," ujar Deva saat kami sudah ada di dalam bus yang akan kami pakai untuk menuju ke hotel. Pramugari junior yang duduk di sampingku pun diusir oleh Deva, jahat.

"Duduk di belakang 'kan bisa, Dev, jahat banget kamu," kataku sebal. Tapi, melihat reaksi pramugari tadi yang gelagapan—saking mengidolakan Deva—kupikir tidak masalah kalau dia menuruti apa kata idolanya.

"Dia gak marah tuh, iya 'kan?" Deva menyoleknya, pramugari itu tersenyum malu-malu.

"Heh!"

"Maaf, Sayang. Udah ah, aku mau tidur," katanya sambil menutup mata. Aku mencelos, Deva ini paling susah diajak mengobrol kalau pulang terbang, dasar kebo terbang.

Sepanjang perjalanan menuju ke hotel Deva benar-benar tidur. Mulutnya terbuka, tanda-tanda kalau dia bakal susah dibangunin. Pak Supir, tinggal di dalem aja ya nanti. Entah kenapa yang seperti ini fansnya banyak banget.

Pakuwon Food Festival, tempat yang dipilih Deva untuk makan malam sebagai permintaan maafnya karena dia tertidur lelap begitu menyentuh kasur hotel. Seragamnya lecek dan aku yang harus meminta jasa laundry hotel untuk menyetrikan kemejanya.

"Makasih ya, Sayang, udah dilaundry-in. Padahal aku banyak bawa kemeja loh di koper, hehe."

Hai para penggemar Deva, jangan tanya kenapa Deva kesakitan saat dia mengunyah potongan steak, ya. I slapped him hard, hehe.

"Kamu jahat banget, Ra, sakit nih makannya," eluhnya, masih mencoba menggigit makanannya.

"Siapa suruh jahilin aku, kualat!"

"Ini bukan kualat, Sayang. Namanya balas dendam."

"Ya trus kualat sama balas dendam apa bedanya? Rasain, makanya jangan jahilin aku."

"Iya iya, maaf," dia meringis.

Aku menatapnya sambil menyeruput teh panasku, memandangi lekuk wajah Deva dan salah satu sisinya yang sedikit merah karena 'sentuhan' tanganku. Aku terkikik geli. Maaf ya, ganteng.

"Dev,"

"Apa? Kamu mau nampar aku lagi? Salah aku apalagi, Ra?" katanya, dia menyerah setelah berulang kali mencoba mengunyah daging namun tidak juga berhasil ditelan. Aku menukarnya dengan roti prata milikku, "Makasih, Ra..." dia akhirnya tersenyum lega saat roti prata bisa ia telan dengan mudah.

"Ayo punya anak."

Deva langsung menoleh ke arahku, matanya berbinar, namun tak berapa lama kemudian ia menunduk, "Maksudmu kita making love? Habis pulang dari sini ya, Ra,"

"Bukan itu, ayo kita punya anak beneran, Dev."

"Maksud kamu ... punya dedek bayi?" tanyanya dengan wajah polos.

Aku mengangguk, "Tapi aku punya satu syarat."

"Apa?"

"Setelah anak kita lahir, aku mau kerja lagi. Biar aku yang mengatur waktu antara mengurus dia dan pekerjaanku."

Devair Part. 2 (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang