Hi! Maaf ya aku update pendek-pendek, lagi ulum nih huhuhu *telat* sepertinya setiap part aku bakal ngepost 1000<x<2000 kata aja, jadi setiap part gak rumpang-rumpang dan daripada dipaksain nulis dan ngalor ngidul mending singkat padat dan jelas. Ciawww happy reading!
-
Salah satu kebiasaan buruk Deva adalah hemat saat berpergian. Contohnya adalah saat aku dan dia harus menghadiri acara pernikahan Arsaka dan Kei di Bali akhir pekan ini. Sebenarnya dengan gaji yang sudah terpotong untuk ini dan itu kami masih mampu membeli tiket penerbangan kelas bisnis maskapai full service untuk satu kali pulang pergi, tetapi Deva lebih memilih menggunakan maskapai low cost dan berdesak-desakan dengan ibu-ibu berbadan bongsor di sebelah kami.
"Mbak, tadi saya udah order nasi ayam di website. Laper, nih!" seru Deva kepada seorang pramugari. Kalau aku yang menjadi pramugari itu, pasti sudah kutampar wajah tampan Deva. Mau kamu order di website atau minta langsung juga gak akan dikasih, ini masih boarding!
"Pre-ordered meal akan dibagikan setelah take-off ya, Mas, sabar sebentar lagi..." ucap sang pramugari dengan tetap mendempul wajahnya dengan senyuman, padahal sudah dongkol.Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah Deva seperti itu.
Deva baru bisa diam saat makanan yang ia pesan sudah tersedia di depannya. Dengan lahap, Deva menghabiskan seluruh isi kotak plastik itu dan meminum dua gelas kopi susu.
"Gimana, Mas? Enak?" tanya pramugari tadi sambil tersenyum mengejek.
"Enak, Mbak. Rasanya masih sama kaya dulu."
"Mas sering terbang sama kami, ya?"
Aku lama-lama geram melihat ulah pramugari ini, tidak tahu mengapa, "Suami saya sering nerbangin kalian dulu," kataku ikut-ikutan. Pramugari itu terdiam.
"Ya ampun, Mas Deva? Apa kabar, Mas?" salah seorang pramugari lain menyuruh pramugari tadi untuk pergi dan menyalami Deva.
"Baik, gimana kerjaan?" Deva antusias diajak mengobrol olehnya. Hm, aku tidak mengenal pramugari senior ini.
"Baik juga, Mas. Mau liburan ke Bali?"
"Iya."
"Ehem," aku pura-pura batuk, "saya boleh minta tolong beresin ini 'kan, Mbak? Mau tidur nih jadi susah," ucapku sambil memberikan dua nampan milikku dan Deva agar pramugari itu pergi.
Deva menatapku heran, "Kamu kenapa sih?"
"Oh, tadi Mbaknya jongkok-jongkok gitu, kasian mata bapak-bapak penumpang di sebelah," jawabku enteng.
"Ada-ada aja kamu."
£
Malam hari setelah kami menikmati makan malam bersama keluarga besar Arsaka dan Kei, aku dan Deva kembali ke kamar hotel. Deva asyik menonton HBO sedangkan aku terkulai lemas di sampingnya dengan dua lapis selimut sekaligus.
"Ra, nama anaknya Vera bagus, ya? Aku suka."
Aku membuka mataku saat Deva mulai mengajakku berbicara, "Aku juga."
"Ngomong-ngomong soal nama, aku juga udah punya nama loh buat anak kita nanti. Dulu, sewaktu Meva hamil, aku iseng mencari nama laki-laki untuk kuberikan kepada anak di dalam kandungannya, ternyata yang lahir perempuan. Kamu mau tahu?"
Aku menghembuskan nafas hangat dan mengangguk. Suhu tubuku tiba-tiba naik setelah diterpa angin di pesisir pantai sekitar hotel. Mungkin aku hanya kelelahan karena tidak bisa tidur semalaman untuk menyiapkan isi koper kami.
"Aryandera Saka Kaesa. Aryandera itu sebenarnya plesetan dari bahasa Sansekerta Aryendra, Saka aku dapet dari nama temen gengnya Avatar, dan Kaesa itu versi hematnya nama anak presiden kita, gimana? Bagus gak?"
Gelak tawa langsung memenuhi ruangan saat aku mencerna nama tengah yang dipikirkan Deva. Kalau saja Deva agak sedikit bodoh, pasti kalau dia menonton Spongebob, nama anak kami bisa jadi Patrick atau Plankton. Syukurlah Deva hanya menonton Avatar.
"Bagus, tapi kok kesannya kita jadi ngambil namanya Arsaka, ya?"
Deva menatap langit-langit sambil mengetuk dagunya, "Iya juga, sih. Tapi, kalau boleh aku jujur, Arsaka itu hebat loh. Dia pinter banget 'kan, Ra? Jadi ahli di Jepang lagi. Kamu gak pengen anak kita jadi seperti dia?"
"Hm, gak. Aku mau anak kita jadi seperti apa yang dia mau, bukan seperti Arsaka," kataku mencoba menggodanya yang kini sudah memalingkan wajah smabil melipat kedua tangannya.
"Ya, kamu gak ngerti sih, Ra. Masih pusing?" Deva melunak, ia ikut tidur di sampingku dan menghirup hela-helai rambutku yang masih agak basah, mungkin ini juga yang membuat kepalaku makin pusing, "mau aku beliin obat? Kasihan kamu kayak gini terus, besok resepsi loh. Nanti kamu kalah cantik sama pengantinnya."
"Aku cantik kalau jadi pengantinmu aja, Dev."
Deva tersenyum kemudian mencium pipiku sampai basah, "Sayang kamu."
"Kamu sayang," aku mencolek pipiku sendiri, "aku."
"Aku sayang kamu, Aira..."
"Aku juga sayang Aira."
"Ra,"
"Aira here..."
"Kalau kamu gak sakit kayak gini, pasti udah aku terkam."
£
Happy wedding Arsaka dan Keia!
Aku agak minder karena diluar dugaanku, hampir semua undangan adalah kalangan menengah ke atas. Tidak tanggung-tanggung, pebisnis Jepang yang nongkrong di Indonesia juga ikut datang, berikut dengan kaum sosialita teman-tema Keia. Aku hanya bisa duduk di kursi putih yang dihiasi kain putih memanjang, menghadap ke pelaminan tempat Arsaka dan Kei sedang berfoto dengan para tamu. Sambil menggenggam segelas smoothie, aku ikut tersenyum melihat kebahagiaan Arsaka saat ini sambil menahan pusing di kepalaku dan pagi tadi aku tiba-tiba sangat mual dan tidak bertenaga.
Saat malam menjelang, aku ikut membantu Kei untuk mengganti pakaian, karena setelah ini resepsi masih dilanjutkan sampai pukul sembilan malam. Rasa penat tidak kuhiraukan lagi melihat Kei dengan bahagia mengganti gaun pengantinnya dan memperbaiki riasan di wajahnya. Kei sangat cantik hari ini.
Sambil membantu merapikan rambut wanita cantik ini, aku menatap bayanganku di cermin. Mengulang kembali kejadian tiga tahun lalu saat aku menikah, senyumku mengembang setiap kali aku menyadari kalau aku sudah menjadi milik orang lain, sah menjadi istri yang siap mengabdi kepada suami dan juga keluarga. Namun bayangan itu lenyap saat aku sadar kalau aku yang sekarang masih sama seperti tiga tahun yang lalu, masih belum memberikan anak kepada suamiku dan menjadi wanita sesungguhnya.
"Mbak, maaf ya kemarin aku bertanya kenapa Mbak Aira belum punya anak. Mas Deva udah cerita sama aku kalau kalian lagi usaha buat punya anak," Kei berubah lesu, namun masih mencoba tersenyum.
"Gak apa-apa," aku menjepit rambutnya yang sudah selesai kurapikan, "memang begitu kenyataannya. Kalau kamu tahu 'kan jadi bisa ikut ngedoain kita."
"Maaf banget ya, Mbak, aku selalu doa'in Mbak Aira dan Mas Deva yang terbaik," ucapnya, ia mendekat kepadaku dan memelukku, masih dengan posisi duduk di depan meja rias.
"Aku juga doa'in yang terbaik buat kamu sama Arsaka."
Aku memejamkan mataku saat kepalaku tiba-tiba seperti dihantam batu dengan keras, tetapi kucoba sekuat tenaga untuk menahannya dan kembali ke aula tempat resepsi mengantar pengantin wanita ke pelaminan.
Di sana aku menghampiri Deva yang sedang mengambil berbagai macam hidangan yang tersedia dengan antusias.
"Dev, kamu udah makan?"
"Hm? Kamu gak lihat? Aku udah ngabisin banyak nih, kamu mau? Aku ambilin lagi, ya?" Deva baru saja akan bergerak saat aku menahan lengannya,"kamu gak mau?"
Aku tersenyum tipis dan mencengkram lengannya kuat-kuat, kepalaku benar-benar sudah mau pecah.
"Ra? Kamu masih pusing?"
"Dev..."
Pandanganku tiba-tiba gelap, hanya suara Deva dan beberapa orang yang membantunya untuk membawaku entah kemana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Devair Part. 2 (Completed)
RomanceKehidupan pernikahan memang tak selalu mudah. Itulah yang dialami Deva & Aira di kehidupan pernikahan mereka setelah berjuang dengan kisah yang rumit. Masa lalu dari Deva dan juga Aira bermunculan dan sedikit mengubah keadaan rumah tangga mereka yan...