A Way Back Home (End)

13.4K 734 43
                                    

Haii, sorry ya baru update. Dan aku putuskan buat mengakhiri (?)Devair Part. 2 dikarenakan beberapa alasan tertentu dan salah satunya karena aku sibuk. Lelah juga diteror mulu disuruh update :') kalian gak sabar akunya yang pusing, kalau author gak update bukan berarti leha-leha, tapi mikir harus nulis apa sementara di otak isinya dimensi tiga sama reaksi redoks :') Makasih ya yang udah baca dan support tulisan-tulisanku terutama Devair. Mungkin buat beberapa kalian ceritanya terlalu rumit dan membingungkan, tapi disitulah media belajarnya. Author yang baik itu yang selalu memperbaiki karyanya dan semoga saja kita termasuk golongan itu ya kawan *lap ingus*. Oke, pokoknya makasih banget yang udah rela nungguin cerita abal-abalku ini. Sampai jumpa di Devair Next Gen! *kode* 

"A Way Back Home"


"Dev, bangun." Tiga kali, sudah tiga kali aku membangunkan Deva pagi ini tapi dia tidak juga menunjukkan tanda-tanda akan beranjak dari kasur. Mungkin karena kesal, Deva malah menumpuk dua buah bantal di atas kepalanya dan tidur tertelungkup.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkahnya yang mirip seperti anak-anak. Sejujurnya, dia selalu begini kalau tidurnya terusik. Kalian juga pasti akan memilih untuk tidak pernah melihat penampakannya saat ini. Deva yang sesungguhnya adalah saat dia bangun tidur.

"Dev, bangun cepetan! Udah siang!" Emosiku memuncak, daripada bertingkah lembut tetapi tidak membuahkan hasil, lebih baik kutendang saja punggungnya sampai Deva menjerit kesakitan.

"Aduh, Ra, baru juga tidur sebentar..." eluhnya sambil memungut bantal yang jatuh ke lantai. "Aku tidur lagi, ya?"

"Sebentar? Ini udah jam sembilan, Dev. Cepetan, ah!"

Aku harus menelan ludah saat aku selesai berbicara ternyata Deva sudah menutup matanya lagi. Deru nafasnya begitu teratur menandakan ia menikmati setiap detik kesempatannya untuk bisa menutup mata. Deva menceritakan kebiasaan barunya akhir-akhir ini. Katanya, dia tidak pernah bisa tidur saat sedang bekerja, bahkan di penerbangan yang sangat lama sekalipun. Dia hanya ingin melihat seluruh 'jalan pulang' yang dilaluinya untuk bertemu denganku dan calon anaknya. Walaupun pada akhirnya, sesampainya Deva di rumah, dia akan tidur selama seribu tahun.

Aku menaikkan kedua alisku melihat layar ponsel Deva yang meyala, "Ada sms dari scheduler, tuh. Ada jadwal satu jam lagi."

"Siapa?" Deva mulai bergerak gusar di kasurnya. "Balas aja... scheduler?!" begitu mendapatkan kesadarannya, Deva langsung berdiri dan meraih ponselnya. Aku hanya bisa tertawa geli dan meninggalkan Deva di kamar sendirian.

"Kok gak ada, Ra? Aira!"

£

"Cuma sms dari operator tapi kagetnya sampe kaya gitu."

Aku masih mencoba menahan tawaku saat melihat wajah kusut Deva. Rambutnya masih berantakan bahkan setelah dia mandi.

"Ya, lagian ngapain kamu bohongin aku? Aku masih mau tidur, Ra..." katanya sambil menumpuk kedua tangannya di atas meja dan menaruh kepala di atasnya, memejamkan matanya kembali.

"Ini udah siang, Dev, masa mau tidur terus?" Aku meletakkan sepiring telur dadar dengan campuran sayur di dalamnya. Deva langsung mengambil garpu dan melahap sarapan sederhana buatanku. "Kamu terbang jam berapa nanti malem?"

"Gak mau terbang. Maunya di rumah aja." Tanga kanannya bergerak untuk mengaduk-aduk telur dan saus sambal, sedangkan yang satunya lagi digunakan untuk menopang dagu. Jangan lupakan bibirnya yang maju beberapa senti. What a cute man.

"Nanti siapa yang cari duit?" Aku melotot.

"Ya, kamu?" Dia menunjukku dengan garpunya. Aku memasang mimik wajah tidak mengerti. Dia tahu kalau aku sudah mengambil cuti selama hamil dan tidak akan mendapat penghasilan sampai beberapa bulan ke depan. "Kamu kerja aja jadi istri aku, hehe."

Devair Part. 2 (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang