Chapter 18

15.1K 1K 65
                                    

a.n: gue cuman mau kasih tau, mungkin dipart ini kalian bakalan rada bingung atau nggak ngerti dengan apa yang gue tulis. tapi, nanti bakalan ada penjelasan apa yang terjadi sebenarnya. daaann, gue bener-bener nggak tahan untuk update gegara liat komenan kalian hahaha. thank you so much, guys! you mean a lot to meeeee:* di atas itu, fotonya si tokoh baru, ya! hahahaha

***

[18] Try To Move On

Pagi itu, matahari terlihat mengintip dari balik awan gelap yang menggantung di angkasa. Matahari tidak menunjukkan dirinya sepenuhnya, berlindung dibali awan gelap yang seakan-akan melindungi dirinya agar tidak terkena bahaya. Matahari seperti tahu jika akan ada badai yang akan datang setelah ini, membuatnya dengan nyaman berlindung dibalik awan.

Anggita mendesah ketika mendapati lukisannya akhirnya selesai. Ia menatap pada lukisan itu dan tersenyum kecil. Anggita tahu, bukan seperti ini caranya jika dirinya ingin melupakan Hazel—melukis wajah pemuda itu di atas kain kanvas miliknya, membuat Anggita seperti ragu akan pilihannya untuk melupakan Hazel.

Anggita tahu, cara seperti ini justru membuatnya terlihat lemah. Tapi, hanya seperti inilah ia akan merasakan ketenangan. Anggita sudah lelah untuk terus bertahan, terlebih jika ia kembali mengingat bagaimana perlakuan Hazel kepada dirinya. Seorang gadis tidak akan terus bertahan hanya untuk pemuda yang dicintainya, apalagi jika sang gadis terus disakiti. Maka para gadis akan memilih opsi untuk meninggalkan dan melupakan dibanding terus bertahan.

"Nggak baik lho, bengong gitu," ucap seseorang yang membuat Anggita mengerjapkan matanya. Gadis itu membalikkan tubuhnya, menatap pada seseorang yang sedang memberikan senyuman tipis kepada dirinya.

"Esa," gumam Anggita. "Sini, duduk." Ia melanjutkan sembari melirik pada bangku taman yang masih memiliki banyak ruang untuk pemuda itu duduk. Pemuda yang dipanggil Esa itu, berjalan mendekat pada Anggita dan duduk tepat di sebelah gadis itu.

Esa adalah sepupunya yang tinggal di Bandung. Selama Anggita berada di sini, pemuda itu lah yang menemani dirinya. Bahkan, ketika Anggita menangis, pemuda memeluknya dan mencoba menenangkan dirinya. Esa juga tahu alasan apa yang membuat Anggita datang berlibur ke Bandung.

"Kamu ngapain bengong?" tanya Esa sembari memperhatikan lukisan yang Anggita buat. Pemuda itu tersenyum tipis, membuat Anggita yang melihat itu menunduk karena malu. Ia merasa jika sepupunya itu sudah menertawakan dirinya yang berniat untuk melupakan, tapi masih melukis wajah orang yang ingin dilupakan.

"Nggak ngapa-ngapain," gumam Anggita menjawab.

Esa tersenyum. "Nggak usah nunduk gitu, aku nggak akan ngejek kamu karena kamu ngelukis mukanya Hazel, kok. Hahaha..." tawa itu berderai pelan dari Esa, membuat Anggita yang mendengarnya cemberut.

"Kamu nggak ngejek, tapi ngetawain," kata gadis itu sembari membuang pandangannya dari Esa.

Esa terkekeh. "Aku bisa maklum, cewek 'kan emang kayak gitu," ucap Esa yang semakin membuat Anggita kesal. Gadis itu mendengus pelan dan menatapnya dengan tatapan sinis.

"Aku nggak gitu," kata Anggita sembari menatap ke segala arah.

"Emangnya aku bilang apa?" tanya Esa yang membuat Anggita langsung bungkam seketika.

Anggita tidak mengatakan apapun selain terdiam dengan kepala yang menunduk. Esa yang melihat hal itu pun memberikan senyuman miringnya. Ternyata Anggita masih belum bisa melupakan Hazel walaupun gadis itu sudah berusaha sedemikian mungkin.

Esa menepuk puncak kepala Anggita, pelan. "Kamu nggak perlu nutupin hal itu ke aku. Walaupun kamu berusaha untuk nutupin, aku masih tetap tau kok. Kamu masih sayang sama dia," ucap Esa yang tidak mendapatkan jawaban apapun dari Anggita terkecuali helaan nafas lelah dari gadis itu.

CHANGED [New Version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang