8

248 76 9
                                    

Sejak kehadiran cewek blasteran itu membuat Aira merasa tersisih. Dia merasa waktu Juna untuknya sangat berkurang.

Saat pagi sebelum bel berbunyi, dia memilih untuk mengikuti Nadya di perpustakaan. Saat istirahat dia memilih menemani Nadya yang membawa bekal dari rumah. Saat pulang pun dia memilih untuk mengantar Nadya daripada Aira.

Aira benar-benar merasa kecewa. Bukan karena Juna yang terus menempel di Nadya, tapi lebih karena kenapa Juna lebih suka menghabiskan waktu dengan Nadya yang baru dikenalnya. Dibanding bersama Aira yang sudah bersamanya sejak SD.

"Udah lah, Ai. Lo nggak perlu galau gitu. Setidaknya gue masih setia sama lo," Fera menepuk-nepuk pundak Aira.

"Ck. Siapa juga yang galau," Aira berdecak sambil menatap Fera sebal.

"Udah, lo nggak usah boong sama gue. Gue bisa baca pikiran," kata Fera. Dia menatap mata Aira dalam.

"Njir! Serius lo?" Aira terkejut.

"Nggak. Gue cuma nakut-nakutin lo doang. Hehe," Fera nyengir.

Aira mendengus lalu kembali menatap kesampingnya. Melihat Juna dan Nadya yang tampaknya membicarakan sesuatu yang seru. Terlihat dari bagaimana mereka terus tertawa bersama.

Aira bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju perpustakaan. Aira merasa kesal. Bahkan, sekarang Juna tidak sadar bahwa Aira pergi dari kelas.

'Ckrek'

Aira membuka pintu perpustakaan. Dia mendapati perpustakan itu kosong- oh tidak. Ada seseorang diujung dengan buku menutupi wajahnya.

Aira tidak mempedulikannya lalu mencari novel remaja di rak buku.

'Dug'

Aira jatuh terjerembap. Aira mengumpat lalu menoleh, mencari penyebab dia tersandung.

Dengan langkah diseret dikarenakan pantatnya yang sakit, Aira berjalan menuju cowok yang sedang terlelap itu.

"Heh! Lo bikin- loh Nico?" Aira yang ingin menendang orang itu mengurungkan niatnya.

Mata Nico terbuka perlahan lalu mengerjap bingung.

"Ngapain lo disini? Di sekolah gue?" Aira duduk disamping Nico.

"Hm? Kan gue udah bilang mau masuk kesini," Nico mengucek kedua matanya. Membuatnya terlihat lucu dan menggemaskan.

"Masa? Lo pernah ngomong gitu ya?" Aira menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Nico menegakkan tubuhnya. Mengambil posisi duduk yang benar. "Pernah, mungkin. Nggak tau juga sih. Gue lupa," Nico nyengir.

"Kapan lo mulai masuk sini?"

"2 hari lalu. Lo pasti nggak tau gue udah masuk sini karena gue terlalu rajin ke perpustakaan," Nico tersenyum bangga.

Aira tertawa pelan, "percaya diri yang tinggi. Tapi, gue beneran nggak tau lo ada disini. Lo masuk kelas apa?"

"11 IPS 1."

"Yaelah, pantes nggak ketemu."

"Lo jarang ke perpus, ya?" tanya Nico membuat Aira mengernyit.

"Iya. Kok lo tau? Muka gue keliatan kayak orang bego ya?"

Nico tertawa keras melihat rupa Aira sekarang. Bibirnya berbentuk huruf O, dengan mata yang terbuka lebar dan tangan yang menunjuk dirinya sendiri.

Nico mencubit pipi Aira gemas. "Enggak. Lo itu imut bikin gemes," kata Nico sambil tersenyum lebar.

Aira menekuk wajahnya. Dia tidak suka dibilang imut. Menurutnya, imut itu identik dengan anak kecil sementara dia sudah besar sekarang. Tapi, jika Juna yang menyebutnya imut, itu sebuah pengecualian.

Hidden; ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang