14

210 63 11
                                    

Hari ini, Aira sudah duduk dengan manis, di ruang tamu sambil menunggu kedatangan Juna.

Kakinya beberapa kali mengetuk lantai. Menghitung setiap detik yang terbuang gara-gara Juna. Sedang apa laki-laki itu sekarang?

Aira menggelengkan kepalanya pelan. Tidak mungkin Juna berdandan selama ini. Dan, tidak mungkin juga seorang Juna berdandan. Memang dia akan datang dengan lipstik merah serta wajah seperti tepung?

"Hai semua! Juna sudah datang!" suara Juna yang berat sekaligus melengking terdengar.

Aira menatap kearah pintu yang baru saja dibuka. Tampak disitu Juna, dengan celana panjang berwarna putih dan kemeja jeans lengan pendek membalut tubuhnya yang atletis. Aira sadar, pesona Juna memang sudah membuatnya jatuh.

"Kenapa baru dateng jam segini? Kita kan janjian setengah jam yang lalu?" Aira mendumel.

"Gue tadi ketiduran," Juna menunjukkan cengirannya, dengan wajah tanpa dosa.

"Alah, tau gitu gue batalin aja tadi."

"Baguslah kalo lo nggak ngebatalin," Juna kembali nyengir, "yaudah. Ayo berangkat. Nanti keburu malem, nggak bisa lama-lama berduaan sama lo."

Aira memutar bola matanya pelan, "lo tunggu diluar. Gue pamitan dulu sama nyokap."

"Gue aja yang bilang," Juna menarik napas panjang, "TANTE LALA! JUNA PINJEM ANAK TANTE SEBENTAR YA. TAPI NGGAK JAMIN SEBENTAR JUGA SIH. BYE, TANTE!" Setelah itu, Juna menarik tangan Aira segera keluar dari rumah.

"Nggak sopan amat lo jadi orang. Dasar bocah," Aira melotot pada Juna.

"Yang penting gue tetep ganteng," Juna menjawab sambil menaik-naikkan kedua alisnya.

Aira mendengus pelan. Sepertinya, dia perlu menyambungkan beberapa saraf yang mungkin saja terlepas dari otak Juna. Lihat saja tingkanya yang aneh itu.

"Ai, cepetan naik," suara Juna membuyarkan seluruh lamunan Aira.

Aira segera naik ke motor Juna lalu mereka segera menghilang di tikungan sana.

***

"Jun, beliin gue boneka dong. Itu yang besar," kata Aira sambil menunjuk sebuah boneka beruang berwarna biru.

"Nggak punya uang," jawab Juna.

"Ah, bohong lo. Kan kemarin lo gajian."

"Gajian apaan. Kerja aja nggak," ucap Juna.

"Gajian bulanan dari orangtua lo, maksud gue," kata Aira sambil tersenyum lebar.

"Kapan-kapan gue beliin. Kalo gue niat tapi," kata Juna.

Aira mendengus. Tak lama, matanya beralih melihat gelang di sudut toko.

"Sini Jun," Aira menarik tangan Juna menuju tempat gelang itu.

"Nih, bagus kan. Beliin ya," Aira mengambil sebuah gelang berwarna hitam, dengan bandul Menara Eiffel.

"Mahal," kata Juna cuek.

"Murah ini namanya. Beliin," Aira merajuk.

"Kalo murah beli aja sendiri."

"Kampret."

Juna terkekeh melihat Aira yang kini mendumel sendiri.

"Kalo gelang yang ini, baru gue mau beliin," Juna mengambil dua buah gelang berwarna hitam. Satu berisi bandul silver dengan tulisan He's Mine. Satunya lagi bertuliskan She's Mine.

"Yaudah, beliin," kata Aira setelah melihat gelangnya.

Sepertinya, lucu jika mereka memakai gelang couple. Eh, tapi, gelangnya untuk dia dan Juna bukan?

"Jun, itu gelangnya kan ada 2. Yang He's Mine punya gue dong. Terus yang She's Mine punya siapa?"

"Punya gue lah. Gitu aja lo pake nanya," Juna menjawab.

"Ya, siapa tau buat orang lain gitu," Aira mensejajarkan langkahnya dengan langkah Juna.

"Lo punya gue. Dan gue juga punya lo. Jadi, nggak ada orang lain yang bakal ngerusak persahabatan kita, lagi."

Aira tersenyum tipis. Agak tersanjung mendengar perkataan Juna yang seolah ingin dia tetap bersama Juna. Tapi, agak miris juga kalau ini hanya sebatas persahabatan.

Kayaknya gue kena friendzone, Aira mengucap dalam hati.

***


Hidden; ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang