15

166 56 6
                                    

Setelah pergi ke toko yang diminta Aira tadi, Juna mengajaknya pergi ke taman, tempat dia sering bermain bersama Aira saat kecil dulu.

"Lo masih inget tempat ini, Jun?"

"Masih lah. Ini salah satu tempat bersejarah buat kita," Juna terkekeh kecil.

"Tempat bersejarah, ya? Jadi kayak hidup di jaman penjajahan."

Juna menarik tangan Aira untuk duduk di bawah rindangnya pohon.

"Ai, liat deh," Juna menunjuk batang pohon.

"Apa?"

"Ini. Dulu kita pernah ngukir sesuatu disini. Lo inget?" Juna bertanya.

"Ngukir apaan?"

Juna spontan menoyor kepala Aira. "Liat deh ini. Udah agak kehapus sih."

Aira menajamkan pandangannya pada batang pohon itu. Sedikit, dilihatnya tulisan 'A r d n J n'

"Apa nih tulisannya?" tanya Aira, matanya menyipit.

"Aira dan Juna, bego! Dasar pikun," Juna menghela napasnya.

Aira terkekeh. Biasanya, Aira yang memarahi Juna. Sekarang, Juna yang memarahinya.

"Gue inget, kok. Mau nge-test lo doang," kata Aira.

"Yaelah."

Juna bersandar pada batang pohon. Tangannya diangkat, ditaruh dibawah kepalanya. Matanya terpejam. Menikmati segarnya udara hari ini.

Aira melakukan hal yang sama. Dia ikut bersandar dan menghirup udara.

"Lo suka sama Nadya, Jun?" Aira membuka suara.

"Hah?"

"Lo suka sama Nadya?" Aira bertanya. Kali ini, dia memutuskan untuk bertanya.

"Nggak tau." jawaban Juna membuat Aira sedikit kecewa.

"Lo jawab nggak tau. Berarti, kemungkinan iya, kemungkinan juga nggak."

Juna bungkam. Aira juga memilih diam. Mereka bergelut dengan pikiran masing-masing.

"Jun, kayaknya ini udah sore. Gue nggak dikasi pulang terlalu malem. Kita pulang aja," Aira berdiri, menepuk-nepuk celananya agar bersih dari rumput yang menempel.

"Oke."

Setelah itu, mereka berjalan menuju motor tanpa bersuara. Tetap memilih dalam keheningan. Tak lama, Juna sudah melajukan motornya dengan cepat, menuju rumah Aira.

***

Sepulangnya Juna dari rumahnya, Aira langsung menuju kamar. Mandi, lalu menuju ruang makan. Disana, Lala sudah menunggu.

Kening Aira mengkerut, melihat ekspresi wajah mamanya yang tampak tidak biasa. Wajahnya tampak serius.

"Ada apa, ma?" Aira menarik kursi, dan duduk.

"Kita makan dulu. Habis makan, mama cerita."

Aira menganguk patuh. Diambil piring dan diisinya dengan makanan yang tersedia diatas meja.

Aira makan dengan cepat, tak sabar menunggu cerita dari Lala.

15 menit, Aira sudah meneguk segelas air dingin. Lalu mengelap sekitar mulutnya menggunakan tisu.

"Jadi, kenapa?"

Lala menghembuskan napas panjang. Sepertinya bukan pertanda baik. Aira menatap serius mamanya.

"Kenapa, ma?" dia bertanya sekali lagi.

"Sepertinya, kita harus pindah ke Kalimantan," Lala berkata pelan.

"Pindah? Kenapa?" dia benar. Ini sama sekali bukan kabar baik.

"Biasa. Kerjaan mama."

"Tapi kan, kita baru pindah lima bulan lalu?"

"Ya, mau gimana lagi, Ai," Lala menatap Aira. Dia mengerti kenapa kali ini Aira tampak keberatan untuk pindah.

"Aira ngerti, ma. Jadi, kapan kita pindah?"

"1 bulan lagi, setelah kamu terima rapor."

Percakapan itu ditutup dengan anggukan kepala Aira.

***

Hidden; ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang