17

230 45 4
                                    

Hari ini, Aira akan pergi. Dia sudah siap di depan rumahnya. Menunggu taksi yang akan membawanya dan Mamanya ke bandara.

5 menit kemudian, taksi datang. Mereka segera masuk dan taksi melaju pelan.

Selama perjalanan, Aira melamun. Terus menatap keluar jendela. Tangannya menggenggam surat. Dia akan memberikannya, jika Juna datang.

Menghabiskan waktu 1 jam di perjalanan, taksi tersebut akhirnya sampai di bandara.

Sang supir membantu mereka mengeluarkan barang. Sesudah membayar, mereka masuk ke bandara. Menunggu waktu mereka dipanggil.

"Ma, jam berapa ini?" Aira bertanya.

Lala melihat jam tangannya. "9 lebih 10 menit."

Aira gelisah. Matanya menatap teliti, para pengunjung bandara. Tak menangkap sosok Juna, dia membuka pesan.

Bagus. Tidak ada balasan. Aira menggenggam suratnya kuat-kuat.

Aira mulai berpikir bahwa dia memang tidak penting. Mungkin, sekarang Juna sedang tertawa bersama Nadya di sekolah.

Aira kembali duduk. Mamanya menyentuh pundaknya dan tersenyum tipis. Meyakinkan bahwa yang dia tunggu pasti datang.

***

Disisi lain, Juna tak kalah gelisahnya. Penerbangan akan dimulai 50 menit lagi. Waktu yang cukup lama jika dia tidak terjebak dalam kemacetan ini.

"Sial," Juna mengumpat pelan.

Tangannya mencengkram surat yang sudah dibuatnya kemarin malam. Dia ingin memberitahu perasaannya yang sesungguhnya melalui surat.

Katakanlah dia pengecut karena tidak berani menyatakan cinta secara langsung. Tapi, usahanya patut dihargai.

"Pak, kira-kira berapa lama macetnya selesai?"

"Mungkin, 30 menitan dek."

"Udah pak. Saya turun disini aja. Ini uangnya," Juna menyerahkan sejumlah uang.

Dia keluar dari taksi ditengah padatnya jalan. Berlari menuju bandara ditengah panas. Berusaha datang tepat waktu untuk Aira.

Juna mendengus. Andai pulsanya tidak habis, dia sudah mengabari Aira sekarang.

***

Penumpang pesawat tujuan Kalimantan sudah dipanggil. Aira menatap pintu bandara, kecewa.

Memang, dia tidak penting bagi Juna. Aira meremas kertasnya, membuang ke tempat sampah, dan berlari menyusul mamanya yang sudah di depan.

Sekarang, dia menyesal. Seharusnya, dia tidak mau bersahabat lagi dengan Juna jika tau akhirnya begini. Ini menyebalkan.

"Seharusnya, gue nggak perlu sayang sama dia," Aira bergumam.

Mungkin, saat sampai di Kalimantan nanti, Aira bisa meminta penjelasan.

Kenapa Juna tidak membalas pesannya, dan juga tidak datang saat hari kepergiannya.

***

Juna mendengus kecewa. Keringatnya terbuang begitu saja. Pesawat menuju Kalimantan baru saja berangkat.

Dia duduk. Menyelonjorkan kakinya. Melemaskan ototnya yang mulai terasa lelah.

"Sorry, Ai. Harusnya gue nggak telat buat baca pesan lo. Dan harusnya gue punya pulsa buat sekedar ngabarin lo," Juna menatap kesal hp-nya yang menunjukkan sms dari provider.

Dia menatap surat di tangannya. Meremasnya lalu membuangnya begitu saja.

Sepertinya, perasaan ini memang harusnya tetap tersembunyi seperti ini.

Hidden; ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang